Hujan.
Selalu menjadi yang ter-favorite.
Seorang gadis berambut panjang sedang memperhatikan derasnya hujan di depan kelas, di lantai dua. Sehingga ia dapat melihat lapangan sekolah yang tersiram penuh oleh air dari langit itu. Pandangannya kosong, lurus ke depan. Pelan-pelan, ia menutup mata, mencoba meresapi angin hujan yang menyejukkan.
Dingin namun menenangkan....
Ia mengeluarkan handphone dari dalam saku seragamnya, menekan lambang kamera pada layarnya. Nampaklah wajahnya yang datar di layar tersebut. Padahal kan mau fotoin hujannya, kenapa jadi kamera depan, batin gadis itu.
Sebelum ia menggantikannya menjadi kamera belakang, ia melihat suatu kejanggalan pada layar handphonenya. Ada seorang perempuan tepat di belakangnya. Ia mengenali orang itu. Tiba-tiba saja, Cahaya merasa ketakutan saat melihatnya.
"Sekarang udah berani tampil sok cantik ya, Cahaya? Selfie-selfie pas hujan. Kesamber geledek mampus." Kata perempuan itu menyindirnya.
Gadis yang bernama Cahaya itu menoleh saat perempuan itu sudah ada di sampingnya, merebut handphonenya yang ia genggam. Cahaya tersentak dan khawatir miliknya akan kenapa-kenapa oleh perempuan itu.
Detik itu juga, tanpa rasa berdosa, ia jatuhkan handphonenya ke bawah. Cahaya membulatkan matanya dan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Habis sudah handphonenya itu. Sudah jatuh, terkena air hujan pula. Mengenaskan...
Merasa heran kenapa mereka tidak mendengar suara benda jatuh, serempak mereka melihat ke bawah. Seorang laki-laki memegang handphonenya, menyelamatkannya. Laki-laki itu melihat ke atas persis menatap Cahaya. Mata mereka pun bertemu. Cahaya tertegun dan bergegas menghampiri laki-laki itu.
Matanya seperti elang, melihat Cahaya seperti mangsa. Kemanapun Cahaya pergi, ia akan terus mengawasinya bahkan sampai saat Cahaya sudah ada di depan matanya. Tidak ada senyum di bibirnya. Wajahnya datar tanpa ekspresi.
"Ini punya lo?" Tanya laki-laki itu datar.
Cahaya mengangguk pelan, "Iya. Makasih ya, udah nyelamatin hape gua."
"Barang kayak gini tuh disayang, jangan main asal buang aja." Kata laki-laki itu sambil menyerahkan handphonenya ke Cahaya. Lalu, pergi meninggalkan gadis itu sendirian.
Dibawah rintikan hujan yang mulai mereda, Cahaya melihat laki-laki yang tidak ia kenali namanya itu dengan takjub. Bagaimana bisa manusia menangkap barang yang jatuh tanpa tahu kapan waktunya akan terjadi? Cahaya memikirkan itu sedari tadi. Mungkin orang itu memiliki kekuatan supranatural. Ia juga menyadari bahwa laki-laki itu tidak tersenyum sama sekali kepadanya. Namun, matanya amat dalam melihat Cahaya.
Dingin, seperti hujan, batinnya.
●○●○●○●○●
13.45
Bunyi nyaring yang terdengar seperti suara alarm kebakaran itu menggema di setiap sudut ruangan. Matahari mulai menampakan wajahnya lagi setelah hujan pergi meninggalkan bekas di bumi. Ribuan manusia berhamburan keluar dari gedung tempat persembunyian mereka. Terkecuali gadis berambut panjang nan pirang itu yang masih berkutik dengan buku dan alat-alat tulisnya. Tinggal ia seorang diri di ruangan itu. Sepi, hanya suara detak jam dinding dan kipas angin saja yang menemaninya.
Seharusnya udah selesai, tapi kenapa lama banget ya, batinnya yang mulai gelisah dengan kesendiriannya itu.
Ia tidak takut sendirian, hanya saja takut penyakitnya kambuh. Benar saja, detik itu juga ia mendengar suara aneh di sekelilingnya. Entah itu suara tangisan, tertawa, ataupun memanggil-manggil namanya. Ia tau itu bukan suara mahkluk gaib tapi pikirannya tidak bisa mengendalikan suara-suara itu. Gadis itu menutup kedua telinganya rapat-rapat, mencoba meredam suara yang semakin lama semakin jelas terdengar. Sontak gadis itu berteriak dan menangis.
Kapan aku sembuh, Tuhan.....
Ia teringat akan obat yang belum diminumnya seharian ini. Hanya itulah yang menjadi penolong satu-satunya. Segera ia mencari obat penawar itu di dalam tasnya. Dapat!
Cahaya langsung menelan obat berwarna merah itu dan meminum air putih. Seketika suara-suara aneh yang mengganggunya tadi langsung menghilang. Gadis itu merasa lega, tapi juga merasa sedih. Ia tidak mau bergantung dengan obat penawar itu. Ia ingin penyakitnya sembuh tanpa harus meminum obat. Makanya seharian ini ia tidak menyentuh obat itu, walaupun ibunya sudah berpesan agar tidak lupa meminum obat.
Hari ini ia harus menjalankan terapi di tempat psikiater langganannya. Sesuai dengan jadwalnya, Cahaya melakukan terapi sebanyak 2 kali dalam seminggu. Ia sudah menjalankan terapi itu selama hampir setahun, tetapi hasilnya sama saja. Penyakitnya belum juga sembuh.
Cahaya mulai membereskan buku dan alat-alat tulisnya ke dalam tas, menggendong tasnya dan pergi dari ruang kelasnya itu. Berlari menelusuri koridor dan menuruni tangga dengan langkah yang cepat.
Akhirnya ia bisa merasakan udara bebas di alam terbuka. Di lapangan, Cahaya melihat segerumbulan orang yang sedang mengolok-olok seseorang dari arah lantai tiga. Karna penasaran, ia mengikuti arah pandang mereka. Seorang laki-laki dengan gaya rambutnya yang berantakan menatapnya dingin dari sana. Ia langsung teringat dengan orang yang menyelamatkan handphonenya tadi.
Saat ini ia masih mendengar olokan segerumbulan orang itu. Cahaya tidak bisa mendengarnya dengan jelas, tapi sekilas ia mendengar mereka mengatakan gelap, gelap, gelap.
Apanya yang gelap? Jelas-jelas ini siang bolong. Dasar aneh, pikirnya.
Ingin rasanya ia menghampiri laki-laki itu, namun mata elangnya menyuruhnya untuk pergi. Lagi pula, Cahaya bukan tipe orang yang suka ikut campur. Jadi, untuk apa ia masih tetap disini. Membuang waktu saja.
●○●○●○●○●
Gedung putih di depan matanya ini lebih terlihat seperti rumah baginya. Bedanya hanya pada pintunya yang terbuat dari kaca bukan kayu. Tanpa ragu, Cahaya membuka pintu itu perlahan.
Ia melihat seorang wanita muda sedang duduk di sofa sambil menikmati secangkir coffee. Ketika melihat Cahaya yang membuka pintu kliniknya, ia langsung berdiri dan tersenyum. Jas putihnya yang panjang menjuntai ke bawah menutupi sebagian kakinya.
"Halo, Cahaya. Apa kabar? Ayo, silahkan duduk." Sapanya dengan hangat.
Cahaya menuruti perkataan dokter itu, "Baik. Dokter sendiri gimana?"
"Selagi kamu baik-baik saja, saya juga baik kok. Hahaha." Gurau psikiater itu sambil tersenyum. "Sebentar ya, saya ambilkan minum dulu."
"Iya, dok."
Beberapa menit kemudian, wanita muda itu membawa secangkir coklat hangat dan tersenyum melihat Cahaya yang kelihatan sedang tidak mood.
"Katanya baik-baik aja, kok keliatan gak semangat sih? Ada masalah apa, Ya? Cerita sini." Tanya psikiater itu dengan ramah.
"Masalah biasa aja kok. Kambuh lagi penyakitnya, dok. Emang sih salah saya juga gak minum obatnya seharian ini. Tapi saya mau mencoba untuk gak bergantung sama obat itu. Gimana, dok? Saya gak mau selalu minum obat itu. Mungkin dengan memperbanyak terapi bisa kali ya?" Jelas Cahaya panjang lebar.
Wanita muda itu tersenyum simpul, "Ada-ada aja kamu, Ya. Mana bisa seperti itu. Kamu harus melakukan terapi dan tetap diselingi dengan meminum obat penawarnya. Lain kali jangan males ya."
"Tapi, dok. Saya udah ngelakuin ini selama setahun dan kenapa saya belum juga sembuh? Apakah penyakit saya ini permanen?" Kejarnya.
Psikiater itu terdiam sejenak, menatap Cahaya lekat-lekat. Ia mengerti apa yang dirasakan oleh gadis manis di hadapannya ini, "Skizofrenia bukanlah penyakit yang serius tapi bukan juga penyakit yang sepele. Butuh pengobatan khusus untuk menyembuhkannya dan tentu saja waktu yang lama. Jadi, kamu sabar aja ya. Kamu bisa sembuh kok, apalagi kalau kamu semangat dan rutin melakukan terapi dan minum obatnya. Bisa kita mulai sekarang?"
Cahaya tersenyum mendengarnya dan mengangguk penuh semangat. "Bisa. Ayo, dokter."
To Be Continue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Bright
RomanceGelap dan Terang. Siapa bilang Gelap selalu menakutkan? Siapa bilang Terang selalu menenangkan? Kamu akan nyaman bersama Gelap jika kamu bisa memahaminya. Percayalah padanya bahwa Gelap tidak akan membuatmu takut. Dengan Gelap, kamu akan merasa a...