Mungkin ini yang dinamakan takdir. Atau jodoh barangkali. Ketika tangan Tuhan ikut bermain tak ada yang mustahil bagi-Nya. Jujur hatiku menginginkan ini, namun aku juga tak berani banyak berharap. Paksaan Tedy agar aku ikut ambil bagian pada persiapan pernikahannya pun akhirnya kusambut. Aku menyusul Tedy ke Bogor, tempat di mana akan digelar pesta pernikahannya. Mungkin memang inilah jalan yang harus kutempuh untuk bisa memperbaiki kesalahanku. Dari Tedy kuketahui kalau hingga saat ini Tita masih sendiri. Semoga saja aku masih punya kesempatan mengungkapkan penyesalanku karena meninggalkannya tanpa kepastian. Begitu meletakkan barang-barangku, aku segera menuju halaman depan. Dan aku melihat gadis itu. Sibuk menyusun dekorasi dengan salah satu karyawan wedding organizer yang disewa Tedy dan Ovi. Aku menarik napas panjang. Membulatkan tekadku.
"Masih butuh bantuan?"
Tita tampak terkejut lalu menoleh ke arah suara. Tak ada jawaban keluar dari mulutnya begitu melihat akulah yang menyapanya.
"Mbak, aku ke toilet sebentar ya. Terusin aja ikatannya kayak yang aku ajarin tadi. Permisi, Mas."
Aku mengiyakan, sementara Tita hanya menjawab dengan anggukan saat karyawan WO tadi pamit.
"Jangan mendiamkanku seperti ini, Tita."
Aku mencoba kembali bicara namun gadis itu terlihat acuh tak acuh dan tetap meneruskan pekerjaannya tanpa mau repot-repot menanggapiku.
"Aku benar-benar minta maaf. Aku nggak bermaksud menyakiti kamu. Waktu itu situasinya begitu sulit."
Tita menatapku tajam. "Aku nggak peduli lagi, Arya. Percuma saja kamu jelasin semuanya."
"Kamu harus percaya sama aku, Ta. Aku serius untuk menikahi kamu. Aku akan bertanggung jawab atas perbuatanku. Ini memang terlambat, tapi aku nggak pernah mengingkari janjiku sendiri."
"Jangan pernah bahas itu lagi!" seru Tita dengan mata yang berkobar.
Aku menelan ludah dengan susah payah. Tita benar-benar masih marah padaku. Mataku melihat sekeliling. Beberapa orang menoleh pada kami dengan pandangan penuh rasa penasaran. Ekspresi Tita menunjukkan dirinya merasa kurang enak sendiri melihat banyak mata memandangnya. Dia pun segera berbalik dan kembali menyibukkan dirinya. Aku hanya mendesah pendek. Begitu sulit bicara dengan gadis itu.
"Ada baiknya kita tunda masalah kita sampai acara pernikahan Ovi dan Tedy selesai," bisikku pelan di telinganya.
Tita tak menanggapi namun aku bisa merasakan tubuhnya yang menegang. Lebih baik aku mengalah dulu. Aku mundur selangkah. Gadis itu hanya menatapku sekilas.
"Tita... bencilah aku... hukumlah aku... Tapi jangan hukum dirimu sendiri karena kesalahanku."
Suaraku memang lebih lirih tapi menilik reaksi tubuhnya yang sedikit terkejut aku yakin Tita mendengar dengan jelas ucapanku. Tanpa bicara sepatah katapun gadis itu langsung bergerak menjauhiku dan bergegas menyibukkan dirinya mengurusi dekorasi di sudut lain.
🍁🍁🍁
"Ada apa nih?" tanya Ovi yang mendadak muncul di hadapan kami.
Aku terkejut dan Tita juga terlihat salah tingkah mengetahui sahabatnya memergoki kami yang tengah adu mulut. Ya! Aku mencoba kembali mendekati Tita namun emosinya justru meledak. Walaupun gadis itu tak bersuara keras tetapi matanya menatapku penuh amarah. Amarah yang sepertinya masih sulit dia keluarkan sepenuhnya.
"Nggak apa-apa kok," Tita mencoba tersenyum, lalu menoleh kanan kiri. "Gimana dekor front-nya? Sesuai keinginan kamu kan?"
Benar saja, ia berusaha mengalihkan pembicaraan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARYA VISHAKA
Short StoryNamaku Arya Vishaka. Dan ini adalah kisahku. Kisah yang dimulai di sebuah kota di negara tetangga kurang lebih dua tahun silam. Kisah yang terus menghantuiku hingga sekarang. Tuhan.. apakah aku memang pendosa? "Bencilah aku... hukumlah aku... Tapi j...