Arya Vishaka -- 4

541 65 9
                                    

Sudah hampir setengah jam berlalu namun kami masih terdiam, larut oleh pesona pemandangan di perbukitan yang baru saja terlewati, atau mungkin larut dalam pikiran kami masing-masing, hingga suara pelayan yang mengantarkan makanan membuatku mengangkat wajah. Aku memang berinisiatif untuk membelokkan mobilku di rumah makan bernuansa Sunda ini. Selain petang mulai hadir dan aku ingin menunaikan kewajibanku, kurasa tempat ini juga nyaman untuk berbicara. Tita sama sekali tak protes. Bahkan yang membuat hatiku terasa sejuk adalah dia tak menolak saat aku mengimaminya di mushola. Baru kusadari ia bertambah cantik saat memakai mukena, hal yang dulu jarang kuperhatikan. Jujur saja saat di Singapura aku sering melalaikan kewajibanku dan itu kutularkan pada Tita. Kadang aku hanya terkekeh jika gadis itu mengeluh tertinggal satu atau dua dari lima waktunya gara-gara aku. Sungguh ironis mengingat aku justru menyeret gadis yang kucintai ke jurang dosa lebih dalam.

"Makan, Ta. Kita coba gurame asam manis di sini lebih mantap dari buatan ibuku atau nggak," kataku mencoba mencairkan suasana.

"Tante Andini bisa bikin?" tanyanya setelah mengambil nasi.

"Jago menurutku kalau bikin masakan Jawa atau Sunda. Setelah menikah ibu jadi rajin eksperimen di dapur. Sampai sekarang sih. Tapi kalau bikin kue, jangan ditanya deh," kugeleng-gelengkan kepalaku.

Tita hanya tersenyum simpul sambil meneruskan suapannya. Kurasa memang ini saat yang tepat untuk bicara melihat suasana hati Tita yang setidaknya lebih tenang. Aku menunggunya hingga selesai makan dan beristirahat sejenak.

"Tita..."

"Ya?"

Aku menarik napas panjang. Bisa kurasakan jantungku yang berpacu lebih cepat.

"Aku minta maaf."

Tita tersenyum samar. "Kamu sudah berulang kali minta maaf."

"Dan kamu memaafkanku tanpa kujelaskan apapun. Itu membuatku makin merasa bersalah. Aku sudah bersikap sangat jahat. Apapun alasannya kamu berhak tahu, Ta. Aku tak ingin menyembunyikannya lagi darimu karena aku mencintaimu. Dan itu juga alasanku menghilang. Karena aku mencintaimu."

Tita mengerutkan keningnya. Mungkin tak mengerti maksud perkataanku.

"Aku buru-buru pulang karena eyang di Jogja masuk ICU. Tadinya setelah tiba aku akan mengabarimu, tapi keadaan eyang menguras pikiran kami sekeluarga.. aku bahkan minta perpanjangan izin dari kampus. Setelah kondisi eyang stabil dan aku berencana menghubungimu, sebuah kenyataan pahit menghantam tepat di depan wajahku. Aib orang tuaku. Entah karma atau apa.. namun aku seakan mewarisi gen buruk dari ayahku..."

Tita makin mengerutkan keningnya. Aku tahu dia justru bingung menelaah maksudku.

"Orang tuaku adalah sepupu. Mereka menikah karena ayahku memperkosa ibu..." ujarku lirih.

Tita langsung menutup mulut dengan kedua tangannya. Matanya pun terbelalak lebar mungkin saking terkejutnya. Mungkin tak pantas rasanya aku membongkar aib orang tuaku sendiri, namun aku butuh meyakinkan gadis yang kucintai kalau masa lalu kelam itu berpengaruh besar dalam hidupku.

"Arya..." panggilnya pelan saat aku mulai terdiam. Terlihat tatapannya yang menunjukkan keprihatinan.

"Aku merasa seperti jelmaan ayahku. Aku menodai gadis yang kucintai. Menjerumuskannya. Aku merusak apa yang seharusnya kujaga..."

"Itu nggak benar!" potongnya sambil menatapku tajam. "Kamu memang menyakitiku. Tapi kamu tidak pernah memperkosaku. Aku yang sukarela menyerahkan diri."

"Apa bedanya? Aku tetap penjahat. Perusak. Aku memang pantas dibenci."

"Aku membencimu bukan karena mengambil milikku yang paling berharga. Aku membencimu karena kamu menghilang begitu saja," ujarnya kemudian.

ARYA VISHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang