Tunggu!

140 9 0
                                    

"Hey! Tunggu dulu."

"Siapa kamu?"

"Oh. Ya, nama saya Vara.", seraya melempar senyum. Tidak dibuat-buat, tidak disengaja. Namun manisnya, Deva tidak mampu menahan.

"Ah! Jangan begitu. Nama gue Devon." Seperti ingin membawa suasana lebih cair, agar tidak beku, seperti es batu. Perkenalan singkat dari kedua remaja itu terjadi di sebuah kedai es krim mungil di dekat taman kota.

Laki-laki betubuh tinggi dengan kulit warna sawo matang, ke kedai itu sendirian. Mencari tempat duduk setelah memesan beberapa menu kesukannya dengan membawa beberapa lembar kertas. Ia memilih untuk menikmati udara segar di luar. Ia membawa kertas dan angin cukup kencang. Tertiup angin, kertasnya berserakan, jatuh. Perkenalannya dengan gadis cantik yang lebih pendek darinya terjadi ketika Devon dibantu membereskan kertasnya yang berserakan.

"Kau darimana? Tidak dimasukkan tas?" Gadis itu bertanya selagi menata beberapa lembar kertas untuk diberikan ke Devon.

"Kenapa kamu ini?"

"Kenapa bagaimana?"

"Kamu bukan orang Jakarta?"

"Hanya lahir di sini. Bunda orang Jawa, Papa dari Bali."

"Oh." Devon melanjutkan mengambil kertas-kertasnya yang berserakan lalu berdiri berbarengan dengan Vara.

"Kenapa kok Oh?"

"Tidak. Tidak apa-apa, hehe."

Mungkin masih kaku, tapi tidak begitu beku. Vara akhirnya merasa ada sesuatu yang berbeda dari seorang Devon.

"Aku kesana dulu ya, permisi."

"Ya. Terima kasih, Vara."

Vara menuju teman-temannya yang sudah akan bubar meninggalkan kedai bernama 'uniccorn' itu. Perempuan berzodiak taurus itu berniat untuk kembali menghampiri Devon yang baru saja membuka laptopnya. Tapi dari jauh, Vara mengamati Devon. Devon sudah terlalu serius dan konsentrasi untuk mengetik dan seperti sudah tenggelam ke dalam dunianya.

"Kenapa kembali kesini?" Devon agak kaget ketika mendapati Vara kembali menghampirinya. Ia kemudian melihat bangku yang ada di seberang, ternyata sudah kosong. "Temanmu kemana?"

"Sudah pulang."

"Lah? Terus kamu bagaimana?"

"Tak apa. Mungkin nanti sore aku pulang bersama papa."

"Papa kamu memangnya dimana?"

"Itu." Seraya menodongkan jari telunjuknya ke arah seseorang yang ada di sebelah customer kedai tersebut.

Ia kemudian menceritakan tentang paman dan kedai Uniccorn itu kepada Devon. Pamannya adalah pemilik kedai es krim yang sangat digemari oleh Devon. Namanya Om Ogi. Selama ini, Vara hidup bersama dan dibesarkan Om Ogi dan istrinya. Kedua orang tua Vara sudah tiada. Jadi, Om Ogi dan Tante Eva yang selama ini disebut Vara sebagai Papa dan Bunda.

Sebenarnya Om Ogi dan Tante Eva adalah adik dari ayah Vara yang sudah meninggal karena kecelakaan. Saat Vara asyik berbicara dan bercerita, Devon masih mengetik tapi sebentar-sebentar ia sempatkan untuk menoleh ke Vara. Aneh rasanya, keduanya seperti sudah kenal lama. Tidak canggung untuk saling berbagi cerita.

"Wow."

"Kenapa wow?"

"Tidak. Tidak apa-apa"

"Hmmm, dua kali."

"Apanya yang dua kali?" Devon akhirnya menghentikan kegiatan yang sudah ia lakukan kira-kira sejak empat puluh lima menit yang lalu.

"Kamu sudah bilang 'tidak apa-apa' dua kali. Kamu menulis ya?" Vara sempat melirik ke arah monitor laptop Devon.

"Ya begitulah. Aku mudah bosan dan suka keluar rumah."

"Kalau boleh tahu, kamu kelas berapa?"

"Aku kelas XI, bahasa. Karena dipaksa."

"Sama begitu, aku juga kelas XI. Tapi, kenapa dipaksa? Semuanya kalau dipaksa nanti tidak maksimal. Tapi kalau dinikmati dan ternyata cocok, nanti tidak menyesal."

"Iya. Sekarang aku tidak menyesal. Karena nulis, aku kesini. Terus ketemu denganmu. Tapi banyak cerita lain,"

Devon akhirnya berbagi cerita tentang jalan hidupnya yang lumayan pedih untuk dikenang. Karena banyak keinginannya yang tidak didukung oleh Ayah dan Ibu. Meskipun kecewa, Devon tetap berusaha untuk menikmati.

Akhirnya obrolan sore itu menjadi awal pertemuan bagi Devon dan Vara yang cukup manis. Dengan ditemani dua cangkir mocca latte dan waffle mini, keduanya saling melemparkan beberapa cerita yang didapat dari pengalaman hidupnya.

"Ra, Papa mau pulang. Ikut?" Laki-laki yang Devon kira sebaya dengan Ayahnya berdiri di belakang kursi Vara.

"Pa, kenalin. Teman baru Vara, namanya Devon. Sebaya denganku."

Agak ling-lung, Devon mencoba tersenyum ketika wajahnya seperti diamati secara teliti oleh Papa Vara.

"Deva Ondra Wiryawan?" Tentu saja Devon kaget, bagaimana bisa Papa Vara mengenalinya.

"Wah. Om kok bisa tau nama saya?" Wajahnya seperti bingung tapi tidak sekaku sebelumnya.

Ternyata Papa Vara adalah teman Ayah Devon saat masih duduk di bangku SMP. Namun obrolan keduanya tidak memakan banyak waktu, karena Papa harus segera pulang dan bertemu dengan clientnya.

"Kalau begitu, kabari om ya kalau mau kesini. Salam buat Ayah dan Ibu."

"Siap om, nanti saya sampaikan."

"Ini ya, aku ingin tahu bagaimana kamu menulis." Gadis yang menggunakan longdress casual berwarna biru muda itu meletakkan kartu namanya di meja Devon. Ia segera berpamitan dan menyusul Papanya.

"Nanti aku kabari! Hati-hati, Vara." Melambaikan tangan, tersenyum. Seperti menemukan dunia baru. Teman baru yang baru. Teman berbeda yang berbeda. Devon sepertinya kagum pada Vara.

Entah kagum pakai saja, entah lebih dari kagum.

Ra, Januari 2018.

Devara, 2018Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang