Bertemu Lagi

70 6 0
                                    


"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam." Ibu sudah membukakan pintu dan menyambut Devon. Ada kabar gembira katanya.

"Kau tau? itu tuh Teh Ina mau menikah! Akhirnya ya, ibu senang kau tau."

"Ooh.. Selamat untuk Teh Ina. Devon mau ke kamar dulu, Bu."

"Eeh.. Itu teh nggak dimakan dulu kakak?" Logatnya bercampur-campur tak karuan. Dua tahun yang lalu ibu baru kembali ke Indonesia dan kembali belajar bahasa Indonesia. Hidup di keluarga yang Bhineka Tunggal Ika, alias beragam ras dan suku, Ibu akhirnya terbawa dengan logat yang juga sangat beragam.

"Devon capek bu. Nanti saja ya." Ia langsung menuju ke kamar, menaiki tangga kayu. Masuk ke ruang kesayangannya, menutup pintu.

***

Hari sudah malam, sekarang waktunya makan malam. Setelah menyantap hidangan yang sudah disiapkan Ibu, Devon meminta waktu Ayah sebentar untuk berbicara. Tidak terlalu serius memang.

Keduanya menuju teras depan dan Ayah menyalakan seputung rokok disambi menikmati secangkir kopi pahit buatan Ibu.

"Ayah kenal Om Ogi? Yang punya Uniccorn."

"Ogi Wijaya? Teman SMP Ayah?"

"Ya. Anaknya cantik, Yah. Namanya Vara. Matanya, bikin aku kaya kertas yang ku bawa waktu bertemu dia. Jatuh. Tapi kalau Devon pakai cinta."

"Kau mau Ayah kenalkan lebih dekat lagi?"

"Silahkan. Tapi Devon sudah tau, hati Devon sudah dekat."

"Kebetulan sekali kau ini. Ayah sudah lama tidak ketemu sama Ogi dan tadi baru ku telpon dia buat janjian. Besok Ayah kesana. Ke Uniccorn. Mau ikut?"

Devon akhirnya mengiyakan ajakan Ayah. Bukan untuk ikut, hanya mengantar. Tapi tidak tahu nantinya bagaimana.

Bunyi derap kaki di tangga terdengar hingga kamar Ibu dan Ayah karena Devon sedikit berlari ketika menaiki tangga. Devon mendapati Ibu keluar dari kamarnya sambil membawa beberapa lembar kertas.

"Ya, Bu?"

"Sudah Ibu koreksi. Ini dua lembar ada beberapa kata yang salah karena kau kurang teliti. Sudah ibu beri garis di bawahnya. Segera tidur ya kakak, sudah malam."

"Makasih, Bu. Selamat malam."

Seperti biasa, dalam satu minggu, Devon akan menyelesaikan beberapa halaman novel yang ia tulis. Kira-kira lima belas hingga dua puluh halaman, Lalu, ia memberikan ke Ibu.

Ibu adalah mantan guru bahasa Indonesia dan sangat mencintai sastra. Beliau sangat senang dan mendukung ketika mengetahui putranya menulis novel. Setiap hari Minggu, Ibu selalu menyempatkan diri untuk mengoreksi beberapa halaman yang sudah Devon cetak dan berikan kepadanya.

***

Devon sudah menunggu Ayah di dalam mobil SUV yang sudah siap melaju di halaman depan rumahnya. Hari ini Devon akan mengantar Ayah ke Uniccorn. Ia berniat pergi ke sebuah toko buku setelah mengantar Ayah. Tapi sebenarnya ia juga masih bimbang.

Ia lupa mengabari Om Ogi jika dirinya akan ke toko es krim itu.

"Tapi kan Ayah juga udah bilang ke beliau." Seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Setelah Ayah masuk ke dalam mobil, Devon langsung tancap gas. Di antara pria berusia lima puluh enam tahun dan remaja berusia enam belas tahun itu, ada obrolan-obrolan singkat yang terjadi. Layaknya obrolan hangat seperti biasanya yang terjadi di antara seorang ayah bijaksana dengan putranya yang sudah beranjak dewasa.

Sepertinya kedai baru saja buka satu jam yang lalu. Masih sepi.

"Nanti kau ikut Ayah atau ambil meja di tempat lain?"

"Tidak. Aku mau ke toko buku kalau jadi. Kalau Ayah sudah mau selesai, telpon saja. Nanti aku jemput."

"Baiklah. Hati-hati."

Belum sampai masuk ke dalam, sudah ada pria yang usianya sebaya dengan Ayah menyambut dengan riang. Di lain tempat, ada seseorang yang hanya menunggu di dalam mobilnya yang masih dalam keadaan menyala. Ragu mau tancap gas. Ragu mau ke toko buku. Ragu juga untuk telpon Vara.

***

Kawan lama itu sudah tidak bertemu hingga satu tahun lamanya. Papa sangat senang. Wajah semringahnya terpampang ketika menyambut kedatangan Ayah. Perbincangan keduanya belum panjang, keduanya masih sama-sama berdiri. Tiba-tiba ada gadis cantik yang sudah rapi menggunakan outfit serba monokrom. Ia mau pergi mengantar pesanan bibinya.

"Permisi, Papa?"

Kemudian gadis itu menyalimi Ayah. Setelah Papa memperkenalkan putri semata wayangnya, gadis itu langsung pamit kepada Papa.

"Pa, Vara mau antar pesanan bibi dulu. Aku naik Grab saja."

"Wah, kalau gitu coba kamu ke Devon. Tuh, dia masih di mobil. Biar di antar dia."

"Tidak usah repot-repot om, saya samperin aja sebentar. Terima kasih om. Pa, Om, permisi ya. Pergi dulu."

Vara langsung berlari menuju mobil Devon. Orang yang ada di dalam mobil masih asyik melihat-lihat playlist lagunya.

"Selamat pagi menjelang siang mas author!"

Laki-laki yang di dalam mobil itu seperti akan loncat. Ia kaget ketika melihat Vara yang menyapanya dari kaca mobil.

"Waah, Vara udah rapi banget. Aroma-aroma mau keluar nih." Seraya membuka pintu mobil dan keluar dari dalam, Devon balik menyapa Vara.

"Eh! Nggak boleh begitu!"

"Begitu gimana?"

"Jawab dulu salamku, baru aku mau jawab pertanyaan kamu."

Devon merasa Vara adalah perempuan unik yang selalu cheerful dan selalu menunjukkan senyum ceria ketika berbicara dengan lawan bicaranya.

"Selamat pagi menjelang siang juga, nona cantik."

"Hahaha! Bisa aja kamu. Iya, mau keluar. Mau antar pesanan bibi. Terus setelah itu, nggak tau mau kemana. Bingung. Males juga kalau balik ke sini lagi."

"Yaudah, aku antar aja. Tapi kamu jadi google mapsnya. Yuk!" Devon langsung nyelonong kembali masuk ke mobilnya, tapi Vara menarik tangannya.

"Eeeh, jangan jangaan! Nggak usah, ngerepotin nanti. Aku naik Grab saja."

"Aaah, sudahlah kamu ini. Dasar mbak pelukis cerewet, ayo masuk saja!"

Devon langsung membukakan pintu dan sedikit menyeret Vara agar segera masuk ke mobilnya. Akhirnya Vara hanya bisa menuruti laki-laki yang ternyata mengetahui jika dirinya adalah seorang pelukis.

Devara, 2018Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang