"Mas authornya kok bisa bilang saya pelukis ya? Tau darimana?"
"Rahasia negara, mbak. Saya kan utusan, hehe"
"Ooohhh, stalking ig saya ya? Yah terciduk! Ahahahaha!"
"Apa salahnya kalau aku stalking instagram kamu?"
"Mmmm, nggak ada. Hehehe."
Pembuka obrolan yang cukup asyik bagi keduanya. Diam-diam Devon sebenarnya sering stalking akun instagram Vara. Dari sana, ia mengetahui jika Ara terlahir dari keluarga seniman dan Vara sangat ahli melukis. Terbukti dari banyak postingan tentang kegiatannya dalam menekuni dunia lukis, Vara cukup telaten dan sudah sangat mahir dalam hal itu.
"Nanti di Jalan Sudirman belok kemana mbak?"
"Belok kiri."
"Siap, mbak. Kalau kasih bintang lima, saya kasih lima puluh persen deh."
"Apaan sih, Dev? Dasar!" Vara menyadari jika Devon berusaha menirukan driver taksi online yang memberi customer tawaran-tawaran dengan jaminan bintang lima. Sebenarnya Vara sedikit geli dan merasa aneh ketika Devon melakukan lelucon itu.
Keduanya menikmati perjalanan sambil mengobrol seru tentang berbagai hal. Yang jelas, Vara merasakan hal yang sama seperti Devon.
***
"Kau tau, sudah lama kita tak bertemu!"
"Hahaha, sepertinya perutmu tambah bulat saja, Ndra!"
Panggilan akrab untuk Ayah adalah Indra. Padahal sebenarnya nama Ayah adalah Danendra Wiryawan. Sejak SMP, Papa Ogi dan Papa Indra sudah menjadi sahabat dekat. Tentu saja mereka sangat senang ketika dapat kembali bertemu dengan sahabat lama.
"Aish, kau ini. Aku tak tau lah, bagaimana cara berhenti merokok. Jadi buncit lah ini perut aku."
"Pelan-pelan, Ndra. Ntar juga bisa. Aku sudah satu tahun berhenti merokok. Rajin olahraga lagi, hilang ini anak yang aku kandung. Hahaha!" Papa tertawa sambil menepuk-nepuk perutnya. Maskudnya ingin menunjukkan jika perutnya sudah tidak lagi buncit karena merokok.
"Kau masih ada kerja lain kah selain kelola toko ini?"
"Ya masih suka bantu adik buat desain, Ndra. Kau masih mengurus AdVoNiNe kah?"
"Sudah ku jual ke adekku. Jadi arsitek saja lah, lebih senang. Bisa banyak santai di rumah."
AdVoNiNe adalah perusahaan Advertising yang sebenarnya milik Ayah Indra sendiri. Ia mendirikan usaha itu dari nol hingga menjadi besar dan menguasai dunia periklanan di Jakarta. Tapi ia memutuskan untuk menjual perusahaan ke adiknya agar dilanjutkan. Di usianya yang sudah menginjak setengah abad lebih, ia lebih senang bersantai dan menghabiskan waktu di rumah bersama istri dan anak-anaknya.
Keduanya akhirnya membicarakan tentang kehidupan yang sedang di jalani. Tidak hanya itu, mereka juga sedikit bernostalgia tentang kenangan masa lalu di SMP. Tiba-tiba Papa Ogi menyinggung tentang Devon,
"Eh, putra kau ganteng juga ya. Sekolah dimana dia?"
"SMA 97, Gi. Awalnya ku suruh dia ambil beasiswa, eee ibunya paksa dia di Indonesia. Ambil beasiswa kalau kuliah katanya. Ya sudahlah, dia akhirnya nurut istriku. Anak kau, Ra.. ra..."
"Vara maksud kau?"
"Iya itu. Kau sekolahkan dimana dia?"
"Nurut aku dia, Ndra. Ibunya suruh ke 97 tapi tidak mau, malah ikuti aku ke SMA 67. Seni katanya."
Akhirnya keduanya membicarakan tentang putranya yang sudah beranjak dewasa dan dua tahun lagi akan menerima pendidikan di perguruan tinggi. Tanpa sengaja, Ayah bicara jika Devon naksir dengan Vara.
"Kau tau, kemarin habis makan malam anakku cerita. Jatuh cinta kau tau. Sama Vara! Kau sangka tidak? Hahaha lucu dia kalau bercerita macam diterbangkan ke angksa!"
"Ah bisa saja kau ini! Eh tapi kemarin waktu Vara cerita sama aku, matanya seperti orang jatuh cinta. Comblangkan saja anak kita, Hahahahaha!"
"Eee jangan begitu lah, biar mereka coba sendiri, lebih murni! Hahahaha!"
Tawa menggelegar keduanya mengisi Minggu siang yang santai. Banyak pengunjung yang mulai berdatangan.
"Eh, Devon nanti ada acara kah?"
"Tidak, suruh ajak jalan saja mereka berdua biar segera, aaa! Hahahaha!"
"Siap, calon besan! Hahahaha! Ku telpon saja Vara, ku suruh beli buku, biar sekalian antar Devon. Bagus kan ideku?"
"Eeee, cari toko buku yang jalannya macet saja! Biar mereka harus berdua sampai sore. Hahaha!"
"Pintar kau!"
Setelah menentukan buku dan toko yang harus dikunjungi Vara dan Devon, Papa langsung menelpon Ara. Ada nada sambung dan tidak lama kemudian, sudah ada yang mengangkat panggilan suara itu.
"Halo, Pa?"
"Papa minta tolong boleh?"
"Iya. Kalau Vara bisa tentu boleh. Minta tolong apa, Pa?"
"Devon mau ke toko buku, ayahnya sama Papa juga mau titip buku. Tapi adanya cuma di Plus Pustaka di dekat Thamrin. Bilang ke Devon kalau disuruh ayahnya kesana dan beli titipan kami berdua. Uangnya sebentar lagi Papa transfer."
"Ada lagi, Pa?" Vara mendengar suara dua laki-laki yang masih berbicara, ia tahu jika itu Papa dan ayah Devon.
"Oiya, Devon punya maag. Sama seperti kamu. Jadi sebelum pulang kalian makan dulu, sekalian kamu nanti ganti uang bensinnya. Ingat ya, Plus Pustaka di Thamrin. Tidak ada di tempat lain. Nanti foto bukunya Papa kirim. Sudah ya, hati-hati."
"Siap, ndan! Hehehe, dadah Papa."
"Iya, dadah."
Setelah Papa Ogi memutus sambungan panggilan suaranya,
"Toss! Mantap brooo, hahaha!"
"Pintar kalis sahabatku ini, hahaha!"
Akhirnya Papa Ogi dan Ayah Indra menikmati hidangan yang sudah dipesan dan baru datang beberapa menit yang lalu.
***
"Kenapa? Sudah dicari Papa?"
"Bukan dicari, sepertinya malah tidak boleh pulang. Hft."
Devon kegerahan, ia memutuskan untuk mampir ke mini market dan membeli minuman. Setelah selesai memarkir mobilnya, ia kembali bertanya kepada Vara.
"Lah? Tidak boleh pulang bagaimana maskud kamu?"
"Gini. Papa sama ayah kamu titip beli buku katanya. Papa bilang kalau kamu mau ke toko buku. Benar?"
"Ya!! Eh, bukan bukan!! Bisa jadi!!" seperti menirukan game tebak-tebakan yang pernah trend beberapa tahun lalu.
"Apaan sih, Dev. Aku serius ini. Nggak lagi bercanda."
"Iya, iya, maafin Devon. Aku memang mau ke toko buku. Ada apa?"
"Papa bilang kalau Papa dan Ayahmu mau titip juga buat beli buku. Kata Papa, Ayah minta kamu ke Plus Pustaka di Thamrin. Katanya buku yang dipesan sama Papa dan ayahmu tidak ada di tempat lain. Hfftt, tau kan kalau jam segini arah Thamrin pasti macet parah?"
"Yaelah. Yaudalah nggak pa-pa, lagian kan aku juga sekalian cari buku. Kamu aku antar pulang atau kamu mau ikut ke sana?"
"Papa minta aku mengantarmu. Oiya, terus ayahmu juga pesan kalau sebelum pulang harus makan dulu. Katanya kamu punya maag. Aku juga sih, hehehe."
"Okee, siap komandan! Laksanakan! Tapi janji ya, nanti kamu mau aku ajak jadi penikmat senja. Aku beli minum dulu, mau titip sesuatu?"
"Janji deh! Hehehe. Tidak, terima kasih. Aku tunggu di mobil."
"Oke mbak painter, ehehe."