Saat ini para murid dibiarkan beristirahat sampai waktu makan siang, jadi Riyan dan yang lain berada di kamarnya masing-masing untuk beristirahat dan mengolah informasi yang baru saja mereka terima. Riyan berbaring di kasurnya sambil menatap langit-langit mengingat rasa sakit yang datang tiba-tiba saat mendengar nama Alestein tadi.
"Apa itu tadi?"
Sejauh yang ia tahu, ia tidak pernah mengalami sakit kepala mendadak seperti itu, karena itulah saat ini ia benar-benar kebingungan. Pikirannya melayang ke sana kemari memikirkan keluarganya yang menunggu dirinya di rumah dengan hidangan makan malam yang telah disiapkan di atas meja. Ia harus meminta maaf kepada keluarganya karena menghilang mendadak tanpa izin terlebih dahulu.
Ia berdiam diri di kamar sambil mengolah informasi-informasi yang ia dapat dari penjelasan panjang lebar Alestein di meja yang penuh dengan kertas dan pena. Kertas di dunia ini terbuat dari bahan dan proses yang sama seperti di dunianya dulu, sedangkan penanya terbuat dari bulu angsa yang telah diolah sehingga dapat digunakan untuk menulis.
Tanpa ia sadari, matahari telah berada di tengah langit menunjukkan puncak siang sedang terjadi. Ia menghabiskan hampir empat lembar kertas untuk menuliskan semua informasi penting yang ia ingat dan meletakkannya di atas meja, lalu membacanya secara perlahan. Pada saat itu juga, Faleon datang memasuki kamarnya.
"Riyan, sudah waktunya makan siang."
"Ya, tunggu sebentar."
Riyan tidak terlalu terkejut akan hal ini karena ia sadar bahwa sebentar lagi memang waktunya makan siang. Ia membereskan kertas-kertas yang berhamburan di mejanya dan menumpuknya menjadi satu agar tidak memakan banyak ruang. Setelah selesai, ia berjalan mengikuti Faleon yang berjalan membimbingnya menuju ruang makan.
Sesampainya mereka di sana, para murid sedang menyantap makan siang mereka dengan lahapnya di meja-meja bundar yang dapat memuat 6 orang sekaligus. Sepertinya mereka telah menerima kenyataan bahwa tidak ada jalan untuk kembali ke dunia asal mereka dan menjadi penduduk kerajaan Alivonia ini. Riyan bergabung dengan mereka di meja lain yang lumayan jauh, tapi seperti biasanya, ia duduk terasingkan oleh teman-temannya karena masa lalunya.
"Riyan, apa kau sendiri?"
Sebuah suara yang menyapanya terdengar dari belakang. Seketika itu juga seluruh perhatian para murid tertuju kepada Riyan dan orang yang berbicara padanya. Yang berbicara dengan Riyan adalah seorang gadis cantik berambut cokelat yang sedikit pirang panjang dengan mata cokelat menawan.
"Tifania?"
Bukan hanya murid yang terkejut, tapi Riyan pun ikut terkejut. Selama ini tidak ada yang pernah menyapa, apalagi berbicara dengannya saat di kelas, jadi ia cukup terkejut melihat gadis tercantik di kelasnya menyapa dirinya yang sedang duduk bersiap menyantap menu makan siang di depannya.
Tifania Raenhill, murid primadona di SMA yang ditempati Riyan. Jika ada kontes kecantikan yang digelar di sekolahnya, maka Tifania pasti akan selalu menjadi juara ataupun runner up. SMA swasta yang ditempati Riyan terdapat gadis-gadis cantik, tapi Tifania berdiri di atas mereka semua. Parasnya membuat semua murid bertekuk lutut, baik itu laki-laki maupun perempuan.
"Apa sebelahmu kosong?"
"Eh? Iya."
"Kalau begitu, boleh aku duduk di sampingmu?"
"Kenapa?"
"Hm? Tempat duduk yang lain sudah penuh, jadi aku tidak dapat duduk di meja dan menikmati makan siang yang telah disiapkan oleh yang mulia Alestein."
Kemudian Riyan melihat ke sekelilingnya untuk memastikan apakah benar yang dikatakannya. Ketika ia memeriksa, tempat duduk yang lain memang sudah penuh. Karena itu, ia menghela nafas dan mengangguk kecil menandakan persetujuan. Lalu Tifania duduk di sampingnya dan mulai mengambil makanan yang terdapat di meja tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tale of Unknown : Hero From Zero [DROP]
FantasyRiyan Klaint, seorang pelajar biasa dengan hidup yang tak biasa. Suatu hari, ia beserta teman-teman kelasnya secara paksa dipanggil menuju dunia lain. Karena dipanggil secara paksa, mau tidak mau mereka terlempar ke dunia lain. Mereka dipanggil ke d...