Chapter 7 - Panic Attack

16.3K 1.3K 396
                                    


NOTES UNTUK YG PO-KEDUA: 

Hae gaes, untuk PO kedua kemarin pengirimannya di hari Senin/Selasa yaashh. Soalnya JNE langgananku ada perubahan jadwal karena Corona. Nanti setelah resi ada, kukirim langsung via email / PM (yy)

NOTES : Fanfic ini akan diupload bertahap dengan menyesuaikan editan di buku cetak sampai chapter 7. Chapter ke-8 sampai ending akan diupload mulai per bulan JUNI. (Saya lupa, Mei itu Ramadhan ya wwww)

Untuk kalian yang sudah menerima bukunya diharap untuk tidak men-spoiler ceritanya yash. 

.

.

LARI dari kenyataan adalah hal yang yang paling Harry inginkan sekarang.

"Potter, sudah berapa kali kubilang, pegang leherku yang ERAT."

Demi celana dalam Merlin, Harry James Potter ingin lari dari kondisi yang menyebabkan tubuhnya panas dingin disertai dengan ganggungan pendengaran yang berkepanjangan.

Ya, kondisi yang mengharuskannya dalam satu ruangan dengan orang yang paling tak ia ingin temui sejagad raya. Dengan jarak tak lebih dari sepuluh sentimeter, desah napas yang terdengar, hangat tubuh orang yang lebih tinggi darinya, dan tatapan yang membuatnya mati rasa.

Bukan, bukan, ia tidak sedang dalam keadaan yang mirip dengan drama siang yang ditonton Sirius, bukan adegan yang mengisahkan kisah romantis antara protagonis dengan kekasihnya yang akan melakukan adegan ini dan anu. Hanya saja, keadaan ini hampir sederajat dengan keadaan adegan itu.

"One, two, three, f─OUCH! Potter! Samakan dengan iramaku, Potty!"

"Siapa yang kau panggil Potty, hah! Kau yang tak bisa menyamai iramaku, Ferret!"

Ya, mereka sedang latihan dansa. Tepatnya di ruang keluarga kediaman Malfoy. Mengapa di kediaman Malfoy? Karena sesuai perjanjian sepihak di rapat dengan Dumbledore itulah, perayaaan tunangan mereka—mengikuti kegiatan turun temurun merayakan khusus tamu-tamu kenalan baik keluarga Malfoy—diberlakukan di libur Natal. Mau tidak mau, ia diharuskan datang untuk menemui kedua orang tua Malfoy.

Meringis meratapi nasib, Harry pun memperhatikan gerak langkah kaki Draco yang sesuai dengan irama lagu. Kaki panjang yang hampir ia tak bisa ia ikuti itu terus melangkah dengan anggun layaknya seorang angsa. Mengutuk keluarga aristokrat yang pastinya mengharuskan anak-anaknya berlatih dansa dan tetek bengeknya, Harry kini merasa sebanding dengan bebek jelek yang tak bisa mengikuti gerakan sang angsa.

Ha.

"Oi Potter, jangan lihat kakiku. Perhatikan wajahku!"

Dengkus Malfoy kesal sambil menaikkan dagu Harry agar tepat menatap di depan wajahnya. Sekilas ingatan di beberapa minggu lalu teringat di otaknya, membuat Harry dengan segera melepaskan diri dari Draco.

"Cukup! Break, break!"

Harry melenggang pergi sambil menarik handuk yang tersedia di kursi dekat gramophone yang masih mengalunkan nada lembut.

"Oi, kita baru saja istirahat, kau masih meminta lagi?" sindir Draco sambil mendudukkan dirinya di atas sofa hijau tua. Mendengkus kesal, Harry memicingkan matanya ke arah Draco.

Memangnya ini semua salah siapa, hah?!' Dengan kesal, Harry meneguk jus labu.

Padahal ia memiliki segudang rencana yang ia lakukan di saat libur Natal. Mungkin mengajak Scorpius dan James ke rumahnya di Grimmauld Place No. 12 untuk memperkenalkannya pada Regulus, atau menggoda Kreacher, atau mungkin berpetualang dengan Sirius dan Regulus menyusuri sudut-sudut kota sihir di balik kota London yang belum dieksplorasi olehnya.

Heir of Malfoy and PotterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang