Angin sepoi-sepoi seakan meniup wajah Vania. Gadis itu berjalan sambil menggendong tas ranselnya. Poninya ia biarkan menari tertiup angin. Kakinya menjejaki trotoar yang masih basah karena hujan yang baru saja mengguyur kota Jogja. Sayang ia tak sempat menikmati guyuran air yang jatuh ke bumi itu.
Ia berjalan menuju halte bus yang berada di perempatan jalan. Agak jauh memang, tapi itu satu-satunya halte yang paling dekat dengan sekolahnya. Ia melirik jam tangannya. Pukul empat dan hujan sudah reda, jadi Vania berpikir tidak perlu naik ojek online. Anggap saja sedang berhemat.
Vania duduk di bangku halte. Tidak terlalu ramai karena murid di sekolahnya memilih untuk naik kendaraan pribadi atau ojek online. Sudah beberapa kali ia melirik jam tangannya selama sepuluh menit terakhir, tidak ada bus yang datang. Bahkan angkot yang biasanya mondar-mandir juga tidak terlihat. Ia hanya diam hingga suara teriakan menyeretnya kembali ke dunia nyata.
Segerombolan siswa dengan seragam batik merah berlari sambil membawa benda tajam di tangannya. Mereka berlari seperti singa yang siap menerkam mangsanya. Wajahnya memerah penuh emosi. Vania tak bergerak. Kakinya bergetar hebat. Tak lama kemudian, dari arah yang berlawanan muncul segerombolan siswa dengan batik biru seperti yang Vania kenakan. Mereka juga membawa senjata.
Sepersekian detik kemudian, sekeliling mulai ricuh. Warga berhamburan menyelamatkan diri. Siswa berbatik biru dan merah kini saling adu jotos. Makian-makian kasar mulai keluar dari mulut para siswa itu. Dengan sisa tenaga yang ada, Vania berlari. Cairan bening itu menetes menelusuri lekuk pipi apelnya. Pandangannya kabur tertutup air mata.
"Duhh jangan mati dulu. Amal gue belum cukup." Gumam Vania.
Gadis itu tercekat saat sebuah tangan memegang erat pergelangan tangannya dan menariknya secara paksa.
"Jangan bunuh gue. Gue nggak mau mati." Ucap Vania memohon tanpa menatap orang yang menyeretnya secara paksa.
Laki-laki itu menepuk pipi Vania. "Hey jangan ngigau! Ayo lari sebelum mereka liat kita." Ia menarik paksa Vania agar ikut dengannya. Sialnya, mereka dihadang oleh seorang laki-laki bertubuh jangkung yang mengenakan seragam merah. Mungkin mereka berpikir bahwa Mahesa terlibat dengan tawuran ini.
"Wih tawuran kok bawa pacar. Sini pacar lo buat gue aja." Laki-laki itu mengedipkan sebelah matanya. Tangannya terulur nyaris menyentuh pipi Vania yang segera ditepis oleh Mahesa.
"Banci, beraninya sama cewek doang." Mahesa tersenyum sengit.
"Bacot lo!" Laki-laki itu melayangkan sebuah pukulan yang berhasil membuat ujung bibir Mahesa mengeluarkan darah segar.
Mahesa menendang tubuh laki-laki itu hingga tersungkur. Seragam batiknya ternodai dengan bekas sepatu Mahesa. Ia mengeratkan genggaman tangannya pada Vania dan berlari menjauhi tempat itu. Laki-laki itu sempat mengejar mereka berdua, sayangnya ia kehilangan jejak.
Setelah dirasa aman, Mahesa menghentikan larinya. Napasnya terengah-engah. Begitu pula dengan gadis yang ada di belakangnya. Ia menarik Vania untuk duduk di bangku kosong yang terletak di dekat pekarangan rumah warga.
"Capek ya? Nih minum dulu." Mahesa mengambil botol minum di bagian kanan tasnya kemudian menyodorkannya pada Vania. Gadis itu menatap Mahesa penuh selidik.
"Tenang nggak dikasih racun kok, paling cuma pelet." Mahesa menyunggingkan senyumnya.
"Nggak usah, udah bawa sendiri kok. Makasih." Ucap Vania sambil menarik botol minumnya di bagian kanan tasnya. ZONK.
"Lah itu udah habis. Minum ini aja, yang tadi cuma bercanda kok." Mahesa tertawa kecil.
"Nggak usah, nanti beli aja di warung depan." Vania menahan malu. Mungkin saja saat ini pipinya memerah seperti tomat.
"Ohh iya, kenalin gue Ranu Mahesa. Panggil aja Mahesa." Ucapnya sambil mengulurkan tangannya ke depan berniat menjabat tangan Vania.
Gadis itu menerima uluran tangan Mahesa dan menjabatnya. "Gue Va-"
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Mahesa lebih dulu menyahut. "Vania Evarista. Anak kelas XI Bahasa. Dulu ikut karate."
Vania membelalakkan mata. Gadis itu terheran. "Stalker ya?"
"Kebetulan banget kita ketemu. Ada yang pengen gue omongin." Mahesa membenarkan posisi duduknya sedikit menghadap Vania.
Biasanya kalau cowok ngomong gitu dia mau nembak. Heh ya kali mau nembak, barusan juga kenal. Kok jadi deg-degan sih. Duhh Mama, jantungku konser.
"Waktu SMP aktif karate kan?" tanyanya dalam satu tarikan nafas.
"Iya. Emang kenapa?" Vania menatap Mahesa. Bola mata hazel gadis itu bertemu dengan bola mata coklat milik Mahesa. Teduh dan menenangkan. Mata laki-laki itu mengingatkannya pada sosok Papanya.
"Sekarang udah nggak aktif latihan ya? Kamu sabuk apa?" Laki-laki itu balik bertanya.
"Sabuk coklat tapi udah nggak aktif latihan sekarang." Jawabnya singkat sambil merapikan seragamnya.
"Yahh sayang ya." Mahesa mengalihkan pandangannya pada ujung sepatu. Terselip kekecewaan dalam kalimatnya.
"Sayang kenapa?" Gadis itu menolehkan kepalanya agar dapat melihat jelas wajah Mahesa.
"Nggak apa-apa kok sayang." Mahesa tertawa karena berhasil menggoda Vania. Vania berdecak sebal. Tapi hatinya? Sepertinya sedang dangdutan.
"Nggak-nggak bercanda ,Van." Pupus sudah harapan Vania jadi gebetan si cogan. Mahesa menarik napasnya perlahan kemudian melanjutkan kalimatnya. "Lo mau nggak jadi perwakilan SMA Yudhistira buat pertandingan karate di Jakarta gantiin gue? Kalo lo mau nanti gue yang ngelatih."
"Nanti gue tanya sama Mama dulu deh." Senyum gadis itu mengembang sempurna di wajah ovalnya.
"Oke gue tunggu. Tapi jangan kelamaan digantung ya. Digantung itu nggak enak." Mahesa tersenyum. "Gue anter pulang yuk." Tawar Mahesa kemudian.
"Eh nggak usah, gue bisa naik bus atau angkot." Vania berusaha menolak Mahesa secara halus agar tidak menyinggung perasaannya.
"Nggak ada angkutan umum yang lewat. Sopirnya lagi demo di terminal buat nolak ojek online. Lagian kan nggak mungkin lo balik ke halte tempat tawuran tadi." Mahesa membenarkan posisi tasnya.
"Bener juga sih. Pantesan tadi nggak ada angkutan umum yang lewat." Gumam Vania yang masih dapat didengar oleh Mahesa.
"Udah ayo sama gue," Ia menarik napasnya perlahan "Gue nggak terima penolakan." Mahesa bangkit dari duduknya. Ia segera berjalan diikuti Vania yang mengekor di belakangnya. Laki-laki itu tiba-tiba menghentikan langkahnya dan berbalik membuat jidat Vania nyaris menempel di dada bidangnya. Aroma maskulin menjalar di hidung Vania.
Wangi.
"Tunggu di sini ya. Aku ambil motor dulu." Tanpa menunggu jawaban, laki-laki itu masuk ke pelataran rumah tingkat dua dengan gerbang berwarna hitam.
Tak butuh waktu lama, deru mesin motor itu semakin mendekat. Setelah berhenti di depan Vania, cowok itu menyodorkan helm berwarna hitam, mirip dengan yang ia pakai. Helm couple. Gadis itu memakai helmnya kemudian berpikir sejenak.
"Ayo buruan. Kok malah bengong." Cowok berhidung mancung itu mengalihkan pandangannya pada Vania. Gadis yang ditatap hanya memandang ke arah Mahesa dan roknya bergantian. Berkali-kali ia melakukan hal itu.
Yaelah cewek banyak ngodenya. Tinggal ngomong aja susah.
Mahesa membuka tasnya. Ia mengeluarkan jaket denimnya lalu memberikannya pada Vania. "Pake buat nutupin paha."
Gadis itu mengangguk paham.Cowok itu membuka footstep motornya. Ia membiarkan tangan Vania bertumpu pada bahunya untuk naik ke motor sport miliknya. Setelah memastikan Vania sudah nyaman dengan posisi duduknya, Mahesa melajukan motor membelah jalanan kota Jogja. Hari itu senja mempertemukan Vania dengan Mahesa.
❤❤❤
Terima kasih sudah membaca ceritaku. Jangan lupa tambahkan SECRETS di library yaa 😊
Jangan lupa kritik, saran dan vomennya juga, semoga kalian suka 😂
KAMU SEDANG MEMBACA
SECRETS
Teen FictionKau tahu apa yang tersembunyi di balik topengnya? Di balik topengnya tumbuh seribu duka, mengalir sejuta air mata. Ia tersenyum, tetapi sebenarnya tidak. Ia tertawa tetapi sebenarnya Ia menangis. Ia ceria tetapi sebenarnya Ia bersedih. Apa kamu tahu...