Three • Celaka

120 28 43
                                    

Vania membuka pintu rumahnya yang berwarna coklat dan mendapati seorang laki-laki tengah duduk di sofa bersebrangan dengan wanita yang tengah meminum tehnya. Dia Artha, Mamanya Vania.

"Dek, buruan kesini! Udah ditungguin dari tadi." Artha memanggil putrinya dengan melambaikan tangannya. Vania membelokkan langkahnya, gadis itu berhenti tepat di depan Mahesa. Tangannya dilipat di depan dada sedangkan matanya penuh dengan tatapan kebencian.

"Ngapain kesini?" tanya Vania tanpa basa-basi.

"Van, gue minta maaf. Gue nggak maksud ngomong gitu sama lo. Damai ya?" Cowok itu menjulurkan tangan kanannya bermaksud menjabat tangan Vania sebagai tanda perdamaian. Namun gadis itu justru menepis tangannya dengan sekuat tenaga.

"Aduh. Bales dendam nih?" Mahesa memegangi tangannya.

"Bodo."

Mahesa berdiri tepat di depan Vania. Tanggannya mencengkeram bahu Vania. Matanya menatap lekat mata gadis itu, sementara yang ditatap justru salah tingkah. "Van, gue minta maaf ya. Gue nggak bisa tahan diri, gue takut dan lepas kontrol. Kalau boleh jujur tendangan lo kenceng banget bikin pusing. Ibaratnya nih ketiban durian tapi sama kulitnya. Nyut-nyutan."

Vania membalas tatapan lekat bola mata coklat itu, seakan tengah menelanjangi Mahesa. Ada setitik ketulusan disana. Ia menelisik, dan tak menemukan apapun selain sorot ketulusan itu.

"Au dah. Lepasin." Vania memberontak dan mencoba melepaskan tangan yang mencengkeram bahunya. Namun sepertinya usahanya sia-sia, Mahesa memang lebih kuat darinya.

"Maafin atau gue cium?" Mahesa mengeratkan tangannya dan mendekatkan wajahnya ke wajah Vania. Eksresinya benar-benar tidak bisa dibaca.

"Mama, kak Mahesa mesum." Merasa mendapat tontonan, Artha justru cekikikan melihat anaknya yang salah tingkah itu. Tanpa sepengetahuan Vania, cowok itu telah meminta izin kepada Artha untuk mengancam anak gadisnya. Terbukti bahwa ancaman ini ampuh untuk membuatnya mamaafkan Mahesa.

"Iya iya, udah dimaafin." Vania memilih mengalah dan memaafkan. Akhirnya cowok itu melepaskan genggaman tangannya sambil menampakkan ekspresi kemenangannya.

"Ohh iya, gue nginep sini, Van." Bisik Mahesa membuat buluk kuduknya berdiri.

"Bener, Ma?" tanya gadis itu memastikan.

Mamanya yang hendak pergi ke dapur justru memutar posisi tubuhnya menghadap putrinya. "Iya, biar besok pagi berangkatnya gampang, dek. Rumah Mahesa kan lumayan jauh. Ntar kalo ketinggalan pesawat kan ribet."

"Ma, ini anak orang. Kok disuruh nginep sih. Ntar dia dicariin emak bapaknya." Protes Vania dengan kata-katanya yan sedikit mengejek.

"Tenang, Mama udah Izin sama tante Gita. Aman." Artha mengakhiri pembicaraannya dengan tersenyum. Vania menatap ke arah Mahesa. Cowok itu justru memamerkan wajah polosnya. Sial.

"Lah kok mama kenal sama mamanya sih?" tanya Vania penasaran.

"Temen SMA, kuliah juga sejurusan." Jawab cowok itu mendahului Artha. Vania hanya mengangguk tanda mengerti.

"Udah waktu sholat, kita sholat dulu yuk. Mahesa, kamu jadi imam ya." Pinta Artha yang dibalas anggukan.

***

Setelah sholat dan makan malam, Artha memilih beristirahat di kamarnya. Kini hanya tersisa Vania dan Mahesa yang masih terjaga.

"Nonton apa?" Cowok itu membuka suara. Matanya menatap gadis yang rambutnya terurai tengah asyik menonton drama korea favoritnya.

"Drakor." Jawab Vania singkat. Matanya masih fokus menatap layar berukuran 40 inch yang menampilkan sosok Oppa-Oppa Korea.

Mahesa mendudukkan dirinya di sebelah gadis itu. Ia terpaksa ikut menonton drama korea meskipun sebenarnya ia tidak menyukai hal-hal yang berbau romance.

Seperti sudah menjadi hal yang wajib, dalam drama korea selalu saja ada adegan kissing. Dan saat ini, layar berukuran 40 inch itu menampilkan tokoh utama pria dan wanita tengah melakukan adegan tersebut dibawah payung dengan hujan yang mengguyur.

Mahesa yang ikut menonton justru salah tingkah sendiri. Pasalnya ia hanya berdua dengan Vania. Entah, ia merasa aneh jika menonton adegan seperti ini hanya berdua saja. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan segera bangkit dari tempat duduknya.

"Gue mau ke minimarket. Lo pengen apa?" tanyanya mengalihkan perhatian Vania.

"Nggak." Jawabnya asal. Matanya kembali fokus menatap layar televisinya.

"Masih marah?" Tanya si mata coklat dengan suara pelan.

"Nggak." Gadis itu sama sekali tidak berniat menatap wajah Mahesa.

Mahesa meninggalkan Vania yang masih asyik menonton dan segera berjalan ke minimarket. Jarak rumah Vania dengan minimarket memang tidak terlalu jauh.

***

Waktu menunjukkan pukul 20.30 WIB. Sudah 20 menit dan Mahesa belum juga kembali. Vania mematikan televisi dan berdiri. Sebelum sempat melangkah, suara seseorang yang menggedor-gedor pintu menginterupsi. Tanpa pikir panjang Vania berlari dan membuka pintu rumahnya. Ia mendapati sosok Mahesa dengan ekspresi ketakutan.

"Kamu kenapa?" Tanya Vania. Terselip nada khawatir dalam kalimatnya.

"Itu." Tangannya menunjuk ke arah luar pagar rumah.

Vania menatap sekitar rumahnya. Ia menemukan seekor anjing berjenis husky di luar pagar rumahnya. Mulutnya menganga memperlihatkan deretan giginya yang tajam. Sang pemilik anjing terus berusaha menarik tali rantai anjing itu.

"Maaf ya mbak Vania." Ucap sang pemilik.

"Mboten nopo-nopo, Pakdhe." Vania dan pemilik anjing kini tertawa. Sesekali gadis itu melirik Mahesa yang masih ketakutan. Akhirnya anjing itu berhasil dibawa pergi oleh sang pemilik.

"Nggak usah ketawa." Ucap Mahesa dengan nafas yang terengah-engah.

"Cowok galak ternyata takut sama anjing." Vania terus menertawakan Mahesa.

Cowok itu menghela nafasnya panjang. Ia menempelkan satu kantung plastik yang berisi es krim di pipi Vania. "Tuh dimakan."

"Tau dari mana kalo gue suka es krim? Jangan-jangan stalker beneran ya?" Tanya Vania heran. Matanya menyipit menatap Mahesa. Gadis itu menunggu jawaban.

"Nebak." Jawab Mahesa malas. Tentu saja ini bukan jawaban yanh diinginkan Vania.

Keduanya kini masuk ke dalam rumah dan segera menuju kamar masing-masing. Mereka harus segera tidur karena besok harus berangkat pagi.

***

Artha mengedip-kedipkan matanya. Ia mendengar suara pagar yang dibuka secara paksa. Jantungnya berdegup kencang. Ia yakin ada yang tidak beres.

Artha sempat berpikir untuk keluar rumah dan langsung melihat apa yang terjadi, tetapi ia mengurungkan niatnya. Wanita paruh baya itu turun dari ranjangnya dan berjalan ke arah jendela kamarnya. Matanya mengintip keadaan luar. Sial! Batinnya.

❤❤❤

Happy reading guys 😄
Setelah 2 mingguan baru update yaa, semoga nggak pada lupa sama ceritanya 😂

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 17, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SECRETSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang