Jantungnya berdegup kencang, tangannya yang berkeringat memegang erat tali tasnya, kakinya gemetar sedangkan pandangannya masih fokus menatap laki-laki dengan tinggi 181 cm yang berdiri beberapa meter di depannya. Cuaca yang cukup panas sukses membuat keringatnya semakin deras mengucur di dahinya yang sedikit tertutup poni. Ia melangkahkan kakinya berat sambil bersusah payah berusaha menelan salivanya.
Tentu saja ia merasa tidak enak hati karena hari ini adalah pertama kalinya ia telat datang latihan. Padahal besok ia akan mengikuti pertandingan Karate 1 Premier League 2017 di Jakarta sebagai perwakilan SMA Yudhistira.
Vania akan mewakili sekolahnya dalam pertandingan kumite. Kumite merupakan jenis latihan pada seni beladiri karate dimana dua orang karateka disituasikan sebagai musuh.
Vania menghentikan langkahnya ketika ia sudah berdiri di hadapan pelatihnya yang sebenarnya juga seumuran dengannya.
"Maaf ya, gue telat." Ucap Vania membuat si pelatih beralih menatapnya.
"Santai aja, gue juga baru sampai kok." Jawab Mahesa yang berhasil membuat Vania menghembuskan nafasnya lega.
"Lari keliling lapangan dulu yuk." Ajak Mahesa yang hanya diangguki oleh Vania.
Vania segera meletakkan tasnya di tepi lapangan kemudian mulai berlari sementara pelatihnya itu masih setia berdiri mengamati Vania. Lah dia yang ngajak tapi malah diem aja. Batin Vania
Sejujurnya laki-laki bertubuh jangkung itu tidak ingin berurusan dengan hal-hal yang berbau karate lagi. Hal ini hanya akan membuat kenangan-kenangan buruknya berputar di kepala. Jika bukan karena Kepala Sekolah yang secara pribadi menemui Mamanya, ia tidak mungkin berada di lapangan ini untuk melatih Vania. Yah setidaknya lebih baik menjadi pelatih dari pada menjadi peserta. Hal itu hanya akan membuatnya mengingat masa lalunya.
Pelatih itu adalah laki-laki yang menyelamatkan Vania dari tawuran. Ia memegang sabuk hitam tingkat tiga dalam beladiri karate. Wajah oval, mata coklat dan rambut model fringe membuatnya terlihat mirip dengan Oppa-Oppa Korea.
Mahesa segera berlari menyusul Vania yang wajahnya mulai basah karena keringat. Ia menyejajarkan larinya dengan Vania. Matanya masih saja memandangi gadis itu. Mata hazelnya selalu menarik perhatian Mahesa.
"Cepetan, lelet." Bisik Mahesa tepat di telinga kiri Vania. Sedetik kemudian ia menjulurkan tangan kanannya dan mengacak-acak rambut gadis itu. Setelahnya ia berlari meninggalkan Vania yang wajahnya tampak memerah sementara gadis-gadis yang ada di tepi lapangan memekik tak karuan. Untung ganteng! batin gadis itu.
Setelah menyelesaikan tujuh putaran larinya, Vania berjalan mendekati Mahesa yang lebih dulu selesai. Ia segera duduk dan meluruskan kakinya.
"Lima menit lagi kita latihan. Jangan lupa pakai alat pelindungnya." Mahesa akhirnya berbicara setelah sekian lama hening.
"Iya." Vania menghela napasnya perlahan kemudian segera berdiri tegak dan memakai alat pelindung.
Tiba-tiba seorang gadis datang mengejutkannya dari belakang. Ia terlonjak kaget, refleks membalikkan badan menjauhkan dirinya dan memasang kuda-kuda sambil kedua tangannya mengepal di depan dada.
"Santai aja kali, Van." Ucap si gadis berambut hitam sebahu.
"Aya bego. Kaget nih." Vania melayangkan sebuah jitakan tepat di jidat Aya. Gadis itu hanya meringis kesakitan sambil memegang jidatnya yang sedikit memerah.
"Besok jam 5 pagi lo berangkat ya?" Tanya Aya yang hanya dibalas anggukan oleh Vania.
"Sama kak Mahesa?" Aya menatap Vania dengan serius, Ia tampak menunggu jawaban. Sahabatnya yang satu ini memang paling kepo, apalagi jika sudah membahas masalah cowok.
"Hooh lah, dia kan pelatih gue." Jawab Vania malas. Ia kembali melanjutkan kegiatannya memakai alat pelindung sementara Aya masih terus melontarkan pertanyaannya.
"Hmm jadi cuma pelatih nih? Nggak lebih?" Gadis itu tersenyum girang menatap Vania.
"Sekarang sih iya, nggak tau deh kalo besok-besok." Celetuk Vania sambil merapikan poninya yang sedikit menutupi dahi.
"Dia baik kok, ganteng lagi," Aya terkekeh. "Eh ngomong-ngomong berdua doang perginya? Mau gue temenin? Kan nggak boleh berdua-duaan sama yang bukan mahram." Aya tersenyum jahil.
"Yeee si upil pinter banget nyari alesan. Nggak boleh lah. Gue sama kak Mahesa ke Jakarta buat lomba, bukan buat main. Lagian kan transport dan keperluan disana didanai sama sekolah. Mau ongkos sendiri?" Gadis itu memutar kedua bola matanya malas.
"Haha iya selow, gue tau kok lo cuma mau berduaan sama kak Mahesa." Goda Aya. Entah kenapa Vania jadi salah tingkah.
"Iya, dia cuma pengen sama gue. Lo nggak usah ikut, bawel sih." Suara berat itu menginterupsi. Vania dan Aya seketika memandang Mahesa yang berdiri dengan tangan yang menggenggam botol air mineral. Ia maju satu langkah lalu menempelkan air dingin tersebut ke pipi Vania yang langsung diterimanya.
"Lah si Vania doang yang dikasih. Ranu Mahesa emang sepupu gue yang paling jahat." Aya mendengus sebal lalu diiringi tawa. "Sorry ganggu latihannya. Gue duluan ya, Van, ada rapat. Semangat tandingnya." Aya segera berlari meninggalkan Vania dan Mahesa yang masih mematung di lapangan.
"Udah kan? Latihan sekarang ya."
Vania bangkit lalu memposisikan dirinya dan memasang kuda-kuda kemudian melompat kecil-kecil diikuti Mahesa yang melakukan hal yang sama. Matanya fokus menatap bola mata coklat milik si pelatih. Ia tidak mau kecolongan jika sewaktu-waktu cowok itu menyerangnya.
Gadis itu mengarahkan pukulannya ke arah kepala Mahesa, namun berhasil ditangkis. Lagi, satu pukulan ke arah ulu hati mampu dihindari. Ia terus melancarkan pukulan dan tendangannya namun Mahesa dengan mudah menghindarinya dengan langkah mundur dan menyamping. Ia tidak berminat membalas pukulan atau tendangan Vania, yang ia lakukan hanya menghindar hingga membuat gadis itu kewalahan.
"Van fokus! Lo mukul sama nendang kek nggak ada tenaganya." Protes Mahesa.
"Iya iya." Vania menghela nafasnya berat.
Gadis itu kembali memasang kuda-kuda dan melompat kecil-kecil. Nafasnya sedikit tersengal. Keringatnya mulai bercucuran membasahi wajahnya, tangan kanannya mengepal erat. Ia melancarkan serangan dengan tiga kali pukulan secara berturut-turut, sialnya cowok bertubuh jangkung itu mampu menghalaunya. Vania lantas memutar badannya dan mengarahkan tendangan ke bagian kepala Mahesa.
"Mahesa!!!" teriak laki-laki dari tepi lapangan. Cowok yang dipanggil refleks meneloh ke arah sumber suara.
Baaammm. Sebuah tendangan mendarat sempurna di kepalanya. Tubuh laki-laki itu terhuyung ke belakang dan jatuh terduduk. Fabian -Cowok yang memanggil Mahesa- segera berlari mendekati Mahesa diikuti oleh beberapa siswa yang tadi berada di tepi lapangan. Mampus gue! Pekik batin Vania.
❤❤❤
Part satu sudah diupdate yaa
Jangan lupa vommentnya, krisan juga boleh 😂
Hope you like it 😄
KAMU SEDANG MEMBACA
SECRETS
Roman pour AdolescentsKau tahu apa yang tersembunyi di balik topengnya? Di balik topengnya tumbuh seribu duka, mengalir sejuta air mata. Ia tersenyum, tetapi sebenarnya tidak. Ia tertawa tetapi sebenarnya Ia menangis. Ia ceria tetapi sebenarnya Ia bersedih. Apa kamu tahu...