Baaammm. Sebuah tendangan mendarat sempurna di kepalanya. Tubuh laki-laki itu terhuyung ke belakang dan jatuh terduduk. Fabian –Cowok yang memanggil Mahesa- segera berlari mendekati Mahesa diikuti oleh beberapa siswa yang tadi berada di tepi lapangan. Mampus gue! Pekik batin Vania.
"Aww sakit." Teriak Mahesa memekakkan telinga.
"Aduh ya ampun, maaf. Gue nggak sengaja, sumpah deh." Gadis itu panik, Ia berniat memegang kepala Mahesa. Namun, tangannya lebih dulu ditepis.
"Aw sakit, Mahesa." Vania memegangi tangannya yang sedikit memerah.
"Gue juga sakit, Van. Kontrol tenaganya." Cowok itu membentak Vania, dalam kalimatnya terselip nada ketakutan. Kejadian hari ini membuatnya takut, Ia takut jika kejadian dua tahun silam juga menimpa dirinya. Tangannya masih memegangi kepalanya yang terasa berdenyut nyeri. Gadis itu terdiam, matanya berkaca-kaca.
"Serius, gue nggak sedikitpun ada niat buat nendang lo. Lagian lo tiba-tiba nengok dan pertahanannya juga nggak ada." Ucap Vania membela diri.
"Nggak usah membela diri. Kalo emang dari awal nggak niat ikut pertandingan mending nggak usah. Nendang aja nggak becus mau ikut tanding. Bego. Malu-maluin." Mahesa mencecar gadis itu dengan penuh amarah. Semua siswa yang menyaksikan bergidik ngeri dan menatap iba ke arah Vania.
"Heh Mahesa lo ngomong apa sih. Nggak pantes lo ngomong gitu." Fabian membuka mulut dan mencoba menenangkan sahabatnya.
"Iya, gue emang bego. Lo yang lebih pinter harusnya nerima tawaran buat ikut pertandingan besok. Tapi akhirnya justru nolak dan lo yang minta gue buat ikut tanding. Itu karena lo nggak punya nyali, IYA, LO NGGAK PUNYA NYALI!" teriak Vania dengan suara lantang.
Gadis itu kemudian bangkit mengambil tasnya. Sebelum pergi, ia menoleh ke arah kerumunan. "Ohh ya satu lagi, gue nggak mau ikut tanding, lo aja yang berangkat!"
Setelahnya, gadis itu berlari meninggalkan lapangan. Mahesa yang sadar akan perkataannya yang membuat Vania marah hanya memandangi kepergiannya dengan tatapan kosong.
"Itu cowok nggak punya perasaan apa gimana sih? Gue kira baik, ternyata semua cowok sama aja." Ucap Vania pada dirinya sendiri. Ia berusaha mati-matian untuk tidak menangis. Namun akhirnya pertahanannya runtuh juga... membiarkan tetesan demi tetesan air matanya menyusuri lekuk pipi apelnya. Sakit, dadanya sesak.
Ia terus melangkahkan kakinya meninggalkan lapangan menuju ke parkiran. Ia masuk ke dalam mobilnya dan melempar tasnya di kursi penumpang. Handphonenya ia lemparkan ke dasbor dengan kesal dan mulai meninggalkan sekolahnya yang sudah mulai sepi.
Untung dibolehin Kakak bawa mobil, kalau naik angkot kan malu. Udah nangis, ingusan pula.
Handphone Vania berdering membuat gadis itu spontan melirik nama si penelepon. Ia segera mengalihkan panggilan pada earphone bluetoothnya sambil tetap menyetir.
"Van, lo dimana?" tanya gadis di telepon tanpa basa-basi.
"Otw balik, ngapa?"
"Puter balik! Gue di Blackbone Coffe deket sekolah." Perintahnya kemudian.
"Pesenin matcha latte ice sama rotbak coklat kacang."
Belum sempat menjawab, Vania lebih dulu memutuskan sambungan teleponnya. Ia sontak menginjak rem dan mengendalikan kemudi, langsung memutar arah dengan mendadak membuat beberapa pengendara lain membunyikan klakson mereka sambil membuka jendela untuk mengumpat padanya. Namun gadis itu tidak mempedulikannya.
❤❤❤
Mahesa mengusap wajahnya kasar. Ia takut jika Vania marah dan membatalkan niatnya untuk mengikuti pertandingan besok. Ia mengeluarkan handphonenya lalu mengumpat pelan karena tidak menemukan kontak line Vania. Sial langsung diblock.
KAMU SEDANG MEMBACA
SECRETS
Fiksi RemajaKau tahu apa yang tersembunyi di balik topengnya? Di balik topengnya tumbuh seribu duka, mengalir sejuta air mata. Ia tersenyum, tetapi sebenarnya tidak. Ia tertawa tetapi sebenarnya Ia menangis. Ia ceria tetapi sebenarnya Ia bersedih. Apa kamu tahu...