Prolog

77K 3.8K 66
                                    

Saya datang dengan cerita baru.

Tolong jangan judge atau maki saya karena belum bisa melanjutkan cerita saya yang lain, yang mana saya tahu kalian ingin kelanjutannya segera di up date.

Tapi ada daya, saya hanyalah manusia biasa yang juga mempunyai keterbatasan dalam berpikir atau melakukan sesuatu. Kebetulan saya belum punya ide bagaimana harus melanjutkan cerita saya yang sebelumnya. Tapi saya sangat ingin menulis lagi, walaupun dengan cerita yang baru lagi.

Sesungguhya dan sebenarnya serta sejujurnya, saya sangat tidak ingin menggantung-gantung cerita saya, tapi kembali lagi seperti yang saya bilang tadi; saya ini hanyalah manusia biasa...

Yang saya inginkan hanyalah kemakluman kalian semua. Dan tetap mendukung untuk semua tulisan saya. Untuk cerita saya yang satu ini, saya nggak mau menjajikan apapun pada kalian. Saya hanya menulis apa yang ingin saya tulis..

Dan tentu saja berharap kalian menyukainya...

Salam 'dianjesika' 😊


___________________________________________________________________________________

Cinta itu seperti usia, tidak dapat disembunyikan...
___________________
__________












"Katakan kalau bukan kamu yang meminta perjodohan ini! Bukan kamu yang mempunyai ide gila ini! Katakan, Nadya!!!" Suara itu penuh penekanan, sarat akan emosi yang tecermin dari sang empunya suara.

Bram hanya tertawa saat mendengar kabar pernikahannya dengan putri Brata Jaya tersebar ke seluruh penghuni kantor. Ia menganggap itu semua hanya lelucon karyawannya sebagai hiburan karena nyatanya dia sendiri tidak tahu menahu soal berita tersebut.

Ia mengenal Nadya, putri bungsu sekaligus satu-satunya dari keluarga Brata Jaya itu, tetapi ia tidak mempunyai hubungan apapun dengan gadis itu sampai bisa menghadirkan isu pernikahan seperti ini. Ia sendiri sudah punya kekasih.

Awalnya ia tak mengambil pusing kabar yang beredar. Pekerjaan yang menuntut harus diselesaikan, membuat Bram tak sempat memikirkannya. Hingga kemudian Brata, direktur perusahan tempatnya bekerja memanggil dirinya.

Bagai disambar petir di siang bolong, itulah yang Bram rasakan tatkala pria paruh baya itu mengemukakan keinginannya. Beliau ingin Bram menikahi putrinya.

Syok. Tentu saja, Bram terperanjat. Hampir berpikir kalau Brata sedang bercanda. Tapi kemudian ia tahu kalau Brata hampir tak pernah bercanda, beliau selalu serius disetiap kesempatan.

Diusianya yang hampir 29 tahun, Bram sudah menghabiskan waktu 7 tahun bekerja untuk keluarga Brata Jaya. Sejak lulus kuliah Bram telah bekerja di BJ Company, hingga sekarang.

Kejujuran dan kerjakeras Bram membuat Brata menyukai pria itu sejak awal bekerja di perusahaannya. Dalam sekali lihat, Brata menemukan dirinya dalam diri Bram. Dan Bram membuktikan penilaiannya. Berawal dari menjadi karyawan biasa, Bram memantaskan dirinya hingga sekarang ia telah menjadi general manager. Semua perjalanan itu tidak mudah, tapi Bram mampu melakukannya.

Karena itulah, ketika putrinya datang padanya satu minggu lalu dan mengatakan menyukai Bram, ia tidak keberatan. Malah ingin menyatukan keduanya dalam ikatan pernikahan. Nadya senang bukan main, gadis itu sampai memeluk dan mencium pipi papanya. Untuk saat-saat tertentu, Brata dapat bersikap lain selain sikap serius. Saat itu adalah ketika bersama dengan putri satu-satunya, Nadya.

Bram menjadi dilema, antara menolak atau menerima permintaan Brata Jaya. Oleh sebab itulah ia menjadi benci dengan putri satu-satunya Brata Jaya itu.

Ia memang tidak mengenal dekat Nadya. Mereka hanya bertemu saat ada acara-acara perusahaan--Yang tidak Bram sadari dirinya selalu mencuri perhatian gadis itu.

Saat ini yang ada didalam benak Bram Yaitu, Nadya adalah gadis manja yang semua keinginannya harus dipenuhi tak peduli apa yang akan terjadi akibat permintaannya itu. Tak peduli dengan pendapat orang lain.

Kembali pada Nadya yang kini duduk didepannya, yang dengan sangat terpaksa ditemuinya untuk mengkonfirmasi keinginan gila gadis tersebut.

"A..aku," tergagap, Nadia tidak sanggup melanjutkan suaranya. Yang ada, ia menunduk sambil memilin-milin gaun hijau toskanya. Terintimidasi dengan tatapan pria yang ada didepannya, ia memilih menurunkan pandangan ke pangkuannya.

Diam.

Keduanya terdiam. Si pria tak putus menatap Nadya, sementara gadis itu masih betah dengan posisi sebelumnya. Dalam kebisuannya, sesungguhnya Nadya ketakutan. Pria didepannya, yang sedang duduk memperhatikannya sekarang, adalah lelaki dengan tempramen buruk. Mudah emosi dan tak segan-segan membentak orang yang tidak disukainya.

Tapi dia menyukai pria itu.

Bukan! Nadya mencintainya.

"Kamu tidak menjawab, berarti memang benar ini semua idemu!!" Kalimat itu adalah sebuah pernyataan dan Nadya tidak menyangkal.

"Apa alasanmu?" tak tahan lebih lama lagi menunggu Nadya bersuara, pria itu bertanya kembali. "Demi Tuhan Nadya," ia menggeram menahan amarah, "jawab atau..." vase bunga yang ada diatas meja hendak melayang sebelum kemudian Nadya berbisik. Lirih, suaranya hampir tak terdengar.

"Aku mencintaimu, Bram," gumamnya seraya terisak. Ia mendongak dengan air mata yang mulai turun membasahi pipinya. "Aku mencintaimu," ulang gadis itu sekali lagi. Masih dengan nada yang sama.

"Apa??" Bram berujar tak percaya, mata pria itu membelalak. "Apakah kamu gila??" Ia membentak. Bram hampir tertawa terbahak-bahak mendengar pengakuan cinta gadis didepannya.

Cinta?
Cinta katanya??

Bagaimana mungkin seseorang bisa mencintai sedangkan mereka tak pernah menghabiskan waktu bersama. Dia sendiri tidak yakin kalau dirinya mencintai kekasihnya.

Senyuman mengejek tersungging dibibir Bram yang kecoklatan.

"Iya, mungkin aku gila! Aku menyukaimu meski kau tidak pernah menatapku sama sekali, aku masih tetap menyukaimu meski kau sering pergi dengan wanita lain, aku menangis karena kau sering membentakku tapi bahkan aku tidak bisa membencimu. Aku mencintaimu Bram, walaupun...," Nadya terisak lebih keras, sampai bahunya terguncak oleh ledakan kesedihannya. "Walaupun kau kekasih sepupuku."

"Aku tidak mencintaimu."

Tikaman rasa sakit yang gadis itu rasakan saat mendengar tiga kata yang baru saja dikatakan oleh Bram sangatlah tak tertahankan. Memang Nadya sudah tahu tentang hal itu, tapi mendengarnya langsung dari pria itu--Nadya tak menyangka kalau rasa sakitnya bertambah berkali-kali lipat. Sampai rasanya ia kesulitan bernapas.

"Aku tahu," gumam Nadya pada akhirnya. "Aku tahu kamu tidak mencintaiku, tapi aku tetap tak bisa berhenti mencintaimu, Bram."

"Itu bukan urusanku."

"Papa ingin kamu menjadi menantunya."

"Aku tidak ingin."

"Papa bisa memaksa kamu menikahiku."

Dengan pengendalaian diri yang hampir habis Bram berdiri dari kursi yang ia duduki lalu berjalan mendekati Nadya. "Kamu ingin menjalani pernikahan yang didasari dengan keterpaksaan??" Pria itu bergumam, suaranya dingin hingga membuat siapa pun yang mendengarnya bisa merasakan kemarahan pria itu. "Pak Brata Jaya mungkin bisa membuatku menikahimu, tapi beliau tidak akan bisa memaksaku mencintaimu."







Tbc...




Take Me Back (Play Store)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang