7

32.9K 1.5K 12
                                    


Seminggu sudah Alana tinggal dirumahku, dan selama itu pula ia menerima penyiksaan dan perbuatan tak menyenangkan dari mama dan Tania. Tak jarang setiap pulang aku memergoki Mbok Yem berlinangan air mata mengobati luka dan lebam-lebam disekujur tubuh Alana.

Seperti siang ini Alana meringis menahan nyeri ditangannya yang melepuh tersiram air panas, dan aku yakin itu pasti ulahnya mama atau Tania.

"Sakit ya Non," tanya Mbok Yem sedih, ia terlihat menahan airmata yang hendak meluncur dipipi keriputnya. Tangannya mengoleskan salep dingin ditangan Alana.

"Iya Mbok, perih," Alana memejamkan mata menahan perih tapi ia tak menangis sama sekali. Sepertinya ia sudah kebal menerima perlakuan buruk keluargaku.

Dengan langkah gontai aku menapaki anak tangga kelantai dua menuju kamarku, membersihkan diri dan merebahkan diri meredakan kelelahan yang membelit tulang-tulangku.

Drrrrt Drrrrrt

Dengan malas kuraih ponsel diatas nakas dan menempelkan ditelinga setelah menggeser tombol hijau, "Halo!"

"Woi bro, kita hange out yuk, gue tunggu lo ditempat biasa, jangan sampai nggak dateng!" suara cempreng dari ujung sambungan memenuhi gendang telingaku, aku menjauhkan ponsel dari telinga meyakinkan pendengaranku tak terganggu suara keras Roby barusan. Dari backsound dibelakangnya aku bisa memastikan dimana pria itu berada.

Setelah berpikir sejenak aku bangkit dari rebahanku, "Oke, bentar lagi gue meluncur!" sahutku dan segera bersiap-siap.

Detik berikutnya aku sudah membelah jalan raya dengan mobil kesayanganku menuju club tempat biasa aku dan Roby kunjungi. Suara dentuman musik dan kilatan lampu disko menyambut kadatanganku, mataku meneliti sekeliling mencari keberadaan Roby dan segera kutemukan ia sedang duduk di meja bartender dengan segelas wine didepannya.

"Hai bro, akhirnya lo muncul juga," sambut Roby sumringah, kami berhigh five ria diudara sebelum aku mendudukkan bokongku dibangku tinggi sebelah Roby dan meminta segelas wine pada Alex sang bartender.

"Sendirian lo?" Tanyaku pada Roby sambil menyesap minuman ditanganku, "Nggak bawa cewek lo?" sambungku lagi.

"Gue baru putus."

"Ha! Kok bisa, perasaan lo pacaran sama Winna baru sebulan masa udah putus?" Aku menaikkan sebelah alis kearah Roby.

"Bosan gue, Winna terlalu posesif segalanya serba dilarang, masak gue musti laporan tiap jam sama dia, emang gue nggak ada kerjaan apa!" sungut Roby kesal membuatku terkekeh, Roby memang suka gonta-ganti pacar rekor paling lama ia bertahan dengan satu cewek paling Cuma tiga bulan sebelum diputuskan dengan seribu satu alasan. Terkadang alasannya mengada-ada dan tak masuk akal.

Dengan sisa senyum dibibir kembali kunikmati minuman digelasku, meski sudah menandaskan dua gelas wine tapi kesadaranku masih dalam taraf normal, dua gelas wine takkan membuatku klenger. Kuedarkan pandanganku kelantai dansa mengamati manusia-manusia yang berjingkrak-jingkrak mengikuti alunan musik yang menghentak. Beberapa wanita berpakaian minim mendekatiku mengajak turun tapi kutolak secara halus, aku tak berminat bergabung ditengah lautan manusia yang bersimbah keringat dan asap rokok.

Tiba-tiba pandanganku membentur sesosok tubuh yang sangat kukenali, meski saat ini dandanannya mencolok dan dress super minim melekat ditubuhnya mataku tak bisa dibohongi, beberapa kali kukucek mataku untuk meyakinkan tapi semua tak berubah.

"Alana!" desisku marah, mataku tak berhenti mengawasi Alana, ia dengan santai berlenggak-lenggok erotis seraya berpelukan dengan seorang lelaki tampan. Darahku mendidih seketika, pemandangan dihadapanku sukses membangkitkan amarahku. Kutatap dengan tajam gadis itu tapi ia tak memperhatikanku, ia terus bergoyang dengan pasangannya bahkan mereka saat ini berciuman panas.

"Shit!!" Kupukulkan pinggir telapak tanganku ke meja tinggi didepanku melampiaskan amarah yang membuncah didadaku. Mama dan Tania benar, gadis itu sok polos dan pura-pura alim didepan keluargaku padahal aslinya binal, jalang dan liar. Dirumah dia berpakaian sopan dan disini apa yang dipakainya berbanding terbalik dengan yang biasa diperlihatkannya. "Dasar munafik!" umpatku lagi dan meringis menahan nyeri tanganku yang menghantam pinggiran meja.

"Kenapa lo?" tanya Roby bingung, alisnya terangkat sebelah menatapku.

"Nggak apa-apa," aku tak berniat memberitahukannya pada Roby, biarlah masalah memalukan ini aku sendiri yang mengetahuinya.

Kembali kulayangkan pandangan ketempat Alana berada, saat ini wanita itu telah berpindah kesofa dan kian intim dengan pasangannya. Sial! Aku yang notabene suaminya belum pernah berlaku seintim itu dengan Alana, tapi lelaki asing itu lebih dulu menikmatinya.

Betapa pintarnya dia berdandan dan me-make over wajahnya, lebam-lebam hantaman mama dan Tania dipipinya tertutup sempurna dengan make up menornya. Yang aku heran kenapa dia bisa keluar malam ini? Apa karena mama dan Tania tak ada dirumah? Mama saat ini lagi menyusul papa dan Tania lagi ke Surabaya ada jadwal pemotretan sehingga ia mendapat kebebasan untuk bersenang-senang.

Alana menenggak minuman yang disodorkan lelaki yang memeluknya sebelum keduanya beranjak meninggalkan sofa yang mereka duduki. Aku ikut menghabiskan isi gelas didepanku dan meluncur turun dari kursi tinggi yang kududuki. Tanpa kusadari ini gelas keempat yang kuhabiskan.

"Mau kemana lo?" tanya Roby.

"Gue balik duluan bro, badan gue serasa remuk." Alasanku yang diangguki Roby sekilas.

Tanpa menunggu waktu lebih lama aku segera menuju parkiran, mataku mencari-cari keberadaan Alana dan kulihat ia tengah memasuki sebuah sedan mewah berwarna putih yang segera melaju meninggalkan parkiran. Segera kugeber gas mobilku mengejar mobil putih yang membawa Alana namun sial aku kehilangan jejak, kedua orang itu bagaikan lenyap ditelan kerumunan kendaraan yang berjubel memenuhi jalanan.

"Shit!!!" kupukul setir kemudi dengan geram, melampiaskan amarah yang meluap-luap dalam dadaku. Kuhempaskan punggungku kesandaran jok dan memejamkan mata menetralisir kemarahanku, saat ini mobilku berhenti dibahu jalan karena aku merasa khawatir terjadi hal yang tak diinginkan jika aku terus memacu mobilku saat emosi. Lebih baik istirahat sejenak dari pada berakhir dirumah sakit, terlebih pusing menyerangku mungkin karena aku kebanyakan menenggak alkohol.

Setelah merasa lebih baik aku memutar kunci mobil dan menjalankannya menuju rumah sambil memikirkan rencana selanjutnya untuk Alana.

Forgive me alanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang