8

35.2K 1.6K 24
                                    

Setelah memarkirkan mobilku digarasi aku masuk kedalam rumah dengan langkah sempoyongan,rupanya wine yang kusesap tadi berangsur mengambil kesadaranku namun aku masih bisa mengontrol arah kakiku.

Kuputar tumitku yang hendak menaiki anak tangga menuju kedapur, membuka pintu kulkas dan menikmati segelas air dingin. Meski saat ini dinihari dan hujan mulai turun rintik-rintik tapi aku merasa gerah, dua gelas air dingin menyegarkan telah meluncur melewati tenggorokanku menghilangkan dahagaku yang sedari tadi menyiksaku. Entah kenapa rasa penasaran kini menguasai hatiku dan untuk menjawab rasa penasaran itu aku membuka pintu penghubung ketaman belakang dan berdiri didepan kamar Alana.

Emosiku yang tadinya telah teredam tiba-tiba kembali memuncak melihat wanita itu tengah meringkuk dikarpet tipisnya. Secepat itu ia kembali kekondisi semula? Bahkan tak terlihat sisa-sisa make up tebal diwajahnya yang ada hanya lebam membiru disudut matanya dan piyama biru muda tertutup membungkus tubuhnya. Rahangku mengeras dan tanganku mengepal menahan emosi, begitu mudah ia merubah penampilannya. Saat ini ia kembali menjadi wanita alim yang teraniaya.

"Hei bangun!!" Kutendang kakinya bermaksud membangunkan Alana.

Wanita yang tengah meringkuk itu terkejut dan sontak terduduk, matanya membulat dan terkesiap melihatku, "A....ada apa Aras?" tanyanya dengan suara serak.

Aku mendengus, ada apa? Aku tak tertipu dengan sikap pura-pura lugunya itu, dengan kasar kutarik tangannya dan menyeretnya kedalam rumah, tak kupedulikan ia yang meronta dan memintaku melepaskannya.Alana terseok-seok dan nyaris tersungkur dianak tangga akibat kuseret.

"Den Aras apa yang aden lakukan? Kenapa Non Alana ditarik begitu?" langkahku terhenti dan menoleh keasal suara, rupanya Mbok Yem dan Pak Aman terbangun mendengar suara ribut. Kedua orang itu menatapku cemas dan ada raut iba diwajahnya yang ditujukan pada gadis yang lengannya dalam cengkramanku.

"Jangan ikut campur!!! Ini urusanku dengan wanita ini!!" geramku dengan telunjuk terarah pada keduanya.

"Tapi den,kasihan non Alananya, ia kesakitan Aden cengkram begitu!"

Langkahku kembali terpending dengan suara cemasnya Mbok Yem, kutatap kedua orang itu lekat dan keduanya menundukkan kepala, "sudah kubilang jangan ikut campur, ini urusanku kalian paham? Atau kalian berdua mau kupecat ha!!!" suaraku menggelegar memenuhi seantero rumah, untung mama dan Tania tak ada dirumah saat ini dan itu satu keuntungan buatku.

Keduanya kian mengkeret ketakutan dan beringsut mundur kedalam kamar mereka, kulihat Alana menatap keduanya sendu seolah minta pertolongan tapi untuk kali ini tak akan ada yang bisa menolongnya. Kembali kulanjutkan langkahku dan menghempaskan tubuh ringkih Alana ke ranjangku.

Gadis itu meringis menahan sakit dipunggungnya, segera ia bengkit dan berlari kesudut kamar, meringkuk disana seperti mangsa yang ketakutan melihat predatornya, "a..apa yang mau kau lakukan Aras?" tanyanya dengan suara bergetar, sorot matanya memancarkan ketakutan.

Aku menyeringai, "kemana saja kau tadi ha? Kenapa kau bisa sampai diclub itu dan berpesta pora dengan lelaki asing? Dasar jalang!!" umpatku dan amarahku kian membuncah mengingat kejadian diclub tadi.

"Aku tidak kemana-mana,kau pasti salah lihat," elaknya dengan suara bergetar.

Huh! Aku mendengus, salah lihat? Dikiranya mataku rabun? Jelas-jelas dia berada satu club denganku dan ia masih mengelak? Kugerakkan kakiku menghampirinya dengan mata menatapnya tajam, ia kian ketakutan dan mengkerut didekat dinding.

"Aku tak buta Alana? Aku bisa membedakan kau dengan wanita lain meski kau merubah penampilanmu, ternyata Tania benar kau wanita jalang dan munafik! Kau pikir kau bisa membodohi aku ha??" kucengkram kuat dagunya dan mengarahkan wajahnya kearahku. Tubuhnya menggigil dan sorot ketakutan terpancar jelas dimatanya.

"Aku tak bohong aku tadi tak kemana-mana, bahkan semenjak datang kerumah ini aku tak pernah keluar, percayalah."

"Lalu yang tadi siapa? Hantu? Bayangan?"

"Yang kau lihat bukan aku, dia pasti....awwww."

Plak...Plak, suara Alana terpotong tamparan telak yang kuhadiahkan dipipi mulusnya, ia meringis menahan sakit dan bekas tamparanku tercetak jelas dipipi putihnya.

"Masih mau menyangkal ha?" kuhempaskan tubuhnya kedinding dan ia kembali meringis menahan sakit dipunggungnya yang membentur tembok beton itu. Aku seperti kalap dan kerasukan setan, berkali-kali gadis itu berteriak kesakitan akibat perlakuan kerasku. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya yang pecah akibat tamparanku, wajahnya sudah tak berbentuk lagi dengan lebam dan memar yang menghiasinya.

Emosi yang memuncak membuatku gelap mata, bayangan ia bercumbu di club mampir diingatanku dan kian membangkitkan amarahku. Kubuka kancing kemejaku satu persatu dan membuangnya kelantai.

"M...mau apa ...kau?" tanyanya serak dan terus menatapku dengan sorot ketakutan dari balik lututnya yang ditekuk.

"Mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hakku," geramku seraya menurunkan celanaku, dengan half naked kudekati Alana dan kubanting ke atas ranjang dan menindihnya, "sudah berapa orang yang mencicipi tubuh menjijikkanmu ini ha? Aku yang berstatus suamimu bahkan belum pernah mendapatkan hakku tapi kau malah mengumbarnya pada lelaki lain." Geramku dan menatapnya yang ketakutan dibawahku.

"Jangan lakukan ini Aras, kumohon, kau sedang mabuk, sadarlah," ucapnya disela tangisannya, air mata mengalir deras dari pelupuk matanya yang membengkak. Ia menatapku dengan tatapan terluka.

Aku mendengus, jangan dipikir air mata buayanya akan meluluhkan hatiku dan melepaskannya, tidak akan! Dengan sekali sentak seluruh kain penutup tubuhnya terlepas, mataku terpaku dan aku menelan ludah melihat tubuh polos dihadapanku. Pemandangan indah ini kian membakar gairahku, auraku menggelap dan dengan kasar segera kulumat bibirnya, tanganku bergerilya menjelajah aset pribadinya. Juniorku sudah menegang menuntut pelepasan.

Alana meronta dan berusaha menyadarkanku, aku yang terbakar gairah tak mempedulikan tangisan pilunya yang memohon padaku. Rontaan dan tangisannya malah kian membangkitkan libidoku dan dengan paksa kuterobos benteng pertahanannya.

Aku mengernyit menyadari ada penghalang yang kurasakan, tapi detik berikutnya tuntutan pelepasan lebih mendominasi otakku. Diiringi tangisan menyedihkan Alana kulewati malam panjang yang kuyakin menjadi malam paling menakutkan baginya. Aku terus mempercepat gerakanku tanpa kusadari wanita dibawahku tak bergerak sama sekali, ia pingsan.

***


Forgive me alanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang