Tangkai 4

19 3 2
                                    

Sekeper. Sekeper adalah nama salah satu air terjun di Lombok. Tingginya mencapai 115 meter dan termasuk ke dalam salah satu air terjun tertinggi di Indonesia. Sekeper menjadi destinasi terakhirku selama disini karena esok aku harus pulang.

Enam hari disini ku habiskan dengan mengambil gambar dan membuat sedikir ulasan tentang tempat-tempat yang sudah ku kunjungi. Ada sekitar empat air terjun yang ada di desa ini. Dan semuanya memiliki pemandangan alam yang sungguh menarik. Memang benar adanya, Lombok adalah sepotong surga yang diturunkan ke bumi.

Butuh waktu dua jam perjalanan untuk sampai disana dari parkiran luar karena cukup jauh masuk ke hutan. Selain membuat jalanan menjadi licin dan berlumpur musim hujan juga membuat banyak lintah yang berkeliaran. Harus ekstra hati-hati untuk yang biasa menggunakan celana seperdelapan sepertiku. Kalau tak waspada, tak terasa lintah sudah gemuk kenyang menghisap darahmu.

Tak banyak orang yang terlihat hari ini. Mungkin karena bukan musim liburan. Tapi aku melihat ada sosok yang ku kenali. Ada dia, si gadis marigold. Sepertinya dia datang dengan kelompok pengabdian yang dia ceritakan minggu lalu. Aku melihatnya dari kejauhan dan mengikuti rombongannya.

Dia belum sadar dengan kehadiranku meski jarak kami sudah tinggal beberapa langkah saja. Ku perhatikan caranya bersikap dengan teman-temannya, jenis pakaian yang dia kenakan, dan bagaimana dia tersenyum dan tertawa. Ahhh.. rasanya aku benar-benar menjadi penguntit sungguhan sekarang.

Karena sudah terlanjur basah, ku lanjutkan saja pekerjaanku yang baru sebagai penguntit. Ku pegang kamera yang sudah ku kalungkan di leher. Ku lanjutkan dengan mengambil gambarnya saat dia bercanda, saat dia tertawa, saat dia tersenyum, bentuk wajahnya, cokelat matanya, jenjang kakinya. Dan aku benar-benar tahu sekarang, bagaimana calon istriku itu persisnya.

Aku sedang bermain dengan pikiranku tentangnya sampai aku tak sadar kalau dia dan air terjunnya sudah di depan mataku.

Aku sedang bermain dengan pikiranku tentangnya sampai aku tak sadar kalau dia dan air terjunnya sudah di depan mataku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Aku melihatmu dari tadi, sekarang kamu nggak bisa ngelak lagi. Kamu benar-benar penguntit kan?” kapan dan darimana dia muncul, aku benar-benar tak sadar.

“Kamu jangan ngulangin kesalahan kamu minggu lalu deh, minggu lalu kamu nuduh aku penguntit akhirnya kamu sendiri yang malu” Aku harus tetap bertahan membela diri meski sudah tertangkap basah.

“Minggu lalu aku nggak punya bukti, tapi sekarang aku yakin ada foto aku di kamera kamu.” Dia semakin percaya diri.

Teman-temannya yang lain mulai berdatangan mengikuti alur perdebatan kami.

“Ada apa Nay?” Tanya temannya yang menggunakan jilbab pink.

“Cowok somplak ini ngikutin aku dari minggu lalu, dia ngambil gambarku tanpa izin dan sekarang dia nggak mau ngaku.”

Wahh.. parah!, psikologi korbannya benar-benar diperankan dengan baik.

“Beneran Mas?” Cowok tinggi dengan badan agak berisi (bukan hamil ya maksudnya) mendekat. Sepertinya ini ketua kelompok mereka dan sepertinya aku akan dicincang massal kalau ketahuan.

“Nggak Mas, emang temannya Mas aja yang kegeeran.” Jawabku enteng, padahal jantung sudah debar-debur di dalam.

“Buktiin makanya kamu bukan penguntit. Kasih kita lihat kameranya” Dia makin keras seperti campuran semen, pasir dan air yang diaduk lalu jadi beton.

“Nggak ah, minggu lalu aku kasih kamu pegang mirrolex ku langsung kejang-kejang nggak bisa dipake seharian” ini pembenaran paling bodoh yang pernah aku ucapkan seumur hidup.

“Alasan!!”, dia langsung menarik kamera itu. Aku rebut dari tangannya.

Kemudian terjadilah adegan rebutan seperti di film India sedangkan teman-temannya hanya menonton seperti pemain figuran.

Lama kami berebut hingga akhirnya..

Plunggg… kamera ku jatuh ke aliran air yang ada tepat di samping kaki kami. Aku terdiam sejenak, lalu ku ambil kamera itu dari dalam air. Ku pegang dia dengan genggaman yang erat. Ini kamera yang ku beli dengan uang bulanan yang ku sisihkan. Setelah menghemat selama berbulan-bulan baru bisa ku dapatkan. Kamera ini sudah menemaniku menjelajahi berbagai tempat bertahun-tahun, dan sekarang kamera ini rusak hanya karena gadis traumatis itu. Aku tahu aku salah, tapi dia sangat kekanak-kanakan.

“Maaf, maafkan aku.” Nadanya penuh penyesalan.

Dia mengatakan maaf berkali-kali. Tapi hatiku terasa sudah terkunci dengan kunci ganda seperti motor yang takut dicuri. Aku sudah tak bisa mendengar apapun dari dia lagi.

Aku pergi memunggunginya juga teman-teman figurannya itu. Untuk apa aku lanjutkan perjalanan jika kameraku rusak.

Tujuanku kesini adalah untuk mengambil gambar. Aku ingin sedikit menenangkan diri, tapi tidak disini. Aku ingin segera pulang, memohon pada Abah untuk membatalkan perjodohan yang tak imbang ini. Cukup kameraku yang rusak, hidupku tak perlu.

“Tolong-tolong, ada orang tenggelam…” seorang laki-laki berteriak dari tepi air terjun.

“Tolong-tolong, ada orang tenggelam…” Laki-laki itu berteriak berulang kali.

Pikiranku menjadi abu-abu. Ada orang tenggelam dan aku harus membantunya. Aku segera berlari ke arah suara. Ku lewati gadis traumatis yang sedang mencoba menahanku. Ku lewati juga orang-orang yang hanya menjadi patung tanpa membantu.

Setelah sampai ke tepi sungai ku lepaskan sandal dan kamera yang aku pegang lalu langsung melompat dan berenang menuju lambaian tangan yang mungkin sebentar lagi tak akan terlihat.

Aku harus segera menyelamatkan anak itu..

Sampai di bagian tengah, semburan air begitu keras. Aku berada tepat di dekat penumpasannya. Aku melihat tubuh anak itu. Kemudian meraihnya dengan tangan kiriku dan ku tahan gelombang air dengan tangan kananku.

Entahlah kenapa sulit sekali menarik anak ini. Justru aku yang terasa tertarik. Ada semacam pusaran air yang menarik kami berdua. Seperti angin putih beliung di dalam air.

Ku tahan tubuhku agar tak terseret. Ku tarik kuat-kuat tubuhnya hingga dia lepas dari pusaran air yang ganas. Akhirnya seseorang membantu kami, mengambil anak itu dariku.

Aku berenang hendak kembali ke tepi saat tiba-tiba hujan turun begitu derasnya. Air yang turun dari atas jatuh dengan debit yang jauh lebih besar.

Seketika aku kalah dengan gelombang air yang disebabkan oleh tumpasan air, kemudian aku terseret ke pusaran yang tadinya menyeret anak itu.

Tubuhku dipermainkan oleh air.

Tenagaku sudah habis untuk melawan arus yang sangat kuat.

Kakiku sudah tidak sanggup mendorongku keluar dari pusaran itu.

Teriakan orang-orang di tepian sudah tak lagi terdengar.

Mulut dan hidungku sudah menjadi jalan masuk air.

Ku lambaikan tangan yang mungkin sudah tak terlihat di permukaan.

Paru-paruku rasanya mengembang karena penuh dengan air. 

Aku pasrah, dalam hati ku ucapkan syahadat.

Dan kesadaranku pun hilang…

🌻🌻🌻

Apakah Andra akan meninggal sama dengan cara Danar meninggal?

Apa yang dilakukan Naya melihat kejadian yang sama seperti kejadian setahun yang lalu??

Penasaran kan??

Jangan lupa coment ya 😚😚

Nb: itu bener" pict air terjun yang asli guys

Haza

MARIGOLDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang