~4~

5 1 0
                                    

Aku bersandar di tiang sebuah bangunan, mengamatinya dari jauh. Ia kini di taman, di dekat air mancur, di antara bunga-bunga yang secantik dirinya. Gadis itu duduk di kursi rodanya, ia mengenakan pakaian rumah sakit warna hijau pucat dengan kaki kanan yang dibalut perban, rambut coklatnya tergerai indah, sekalipun dari jauh aku dapat melihat binar di matanya. Ia terlampau sibuk melontarkan lelucon untuk beberapa anak yang semuanya di-infus di lengan daripada menelan fakta bahwa ia baru saja kehilangan satu bagian dari tubuhnya dan tidak bisa menari lagi.

Gadis itu memang penyembuh seperti namanya. Dalam pengobatam tradisional Cina, akar bunga Peony kerap dijadikan obat. Tawa dan senyum Peony yang tulus selalu mampu menyembuhkan luka batin. Lihat saja anak-anak di depannya yang terbahak-bahak, mereka seolah lupa bahwa mereka harus disuntik tiap pagi, di-kemoterapi atau di tusuk dengan jarum infus sepanjang waktu.

Padahal beberpa menit yang lalu aku berada di sampingnya, memberikannya sebuket bunga peony merah jambu. Bercakap-cakap dan berkelakar bersamanya lama sekali. Tapi aku masih ingin melihatnya lagi,lagi dan lagi seakan pertemuan tadi belum memuaskan.

"Fan!"

Spontan aku menoleh, Marissa sudah berada di depanku.

"Eh, cepet banget?" tanyaku berbasa-basi.

"Iya lah, untuk apa aku berlama-lama di toilet." Marissa tersenyum miring. "Ranselku?" ujar Marissa sembari meraih ranselnya yang kupeluk. Aku memberikannya, Marissa menariknya.

"Tunggu resletingnya belum tertutup!" ujarku yang kemudian menarik ransel itu lagi. Tepat setelah itu rombongan orang berduyun-duyung di hadapan kami dengan panik, sebagian dari mereka menangis, meronta dan sebagian lagi menabrakku dan Marissa hingga kami terhuyung dan ransel Marissa terjatuh ke lantai dan isinya terburai.

Beberapa paku pines yang berasal dari sebuah dus kecil, bergerak menggelinding di antara buku-buku dan kotak pensil, kemudian satu berhenti di ujung sepatuku.

"Marissa? Untuk apa kau membawa paku?" tanyaku.

Kemudian dalam diam Marissa buru-buru memungutinya beserta isi ranselnya.

"Marissa, kamu...."

Pandanganku dan Marissa bertemu, lalu gadis itu mengalihkan pandang dengan cepat, tapi mataku dapat menangkap kalau air mata terbendung di pelupuk matanya.

"Andai kamu tahu apa yang dikatan Peony kemarin." Ujarku yang tak tahu harus bicara apa lagi.

A Girl Named PeonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang