~2~

5 1 0
                                    

Usai bel pulang berdering kali itu aku mengobrol panjang lebar dengan Marissa sembari menyeruput lemon tea dingin yang baru kami beli, membicarakan fotografi. Marissa banyak bertanya padaku, padahal kurasa dia lebih mengerti banyak mengenai fotografi daripada aku. Setelah itu kami membicarakan film-film yang baru rilis sampai gadis bermata cokelat itu datang menghampiri.

"Jam 3 nanti mau nggak nemenin aku latian?" tanyanya polos.

Marissa merespon duluan. "Latian nari? Hari ini nggak ada jadwal ekskul, kan?"

"Iya sih, tapi Kak Suri minta aku latian bareng senior, aku kan bakal tampil di pembukaan pentas seni nanti!" jawab Peony kemudian disusul seringai lebarnya. Marissa diam sejenak.

"Sorry, aku nggak bisa nemenin, nanti aku ada latian biola sama Mas Iwan," Lontarku. "tapi abis latian aku bakal mampir ke ruang tari kok, terus kita bisa pulang bareng!"

"Wah, makasih, kamu emang kakak aku yang paling baik!" seru Peony girang.

"Emang kamu adikku? Nggak sudi aku punya adik cerewet kayak kamu!" candaku, lalu aku terkekeh. Marissa hanya tertawa kecil mendengarnya, sementara Peony berusaha menyerangku dengan menggelitiku, namun aku berhasil mengelak.

"Kamu bisa kan Ris nemenin Peony?" tanyaku.

"Nggak bisa. Maaf ya, hari ini aku disuruh pulang cepet sama Bunda soalnya si Fira lagi sakit."

"I'm sorry to hear that, cepet sembuh ya buat si Fira!" ujar Peony yang kemudian menepuk bahu Marissa.

"Iya, makasih." Marissa tersenyum. "Eh, aku balik duluan, ya?" Marissa meraih ranselnya, lalu beranjak.

"Hati-hati, Ris!" ujarku ketika gadis itu melewatiku. Ia hanya mengangguk lantas bergegas keluar hingga menyisakan aku, Peony dan seglintir anak di kelas.

"Akhirnya aku bisa pakai gaun merah yang panjang!" seru Peony yang beringsut mendekatiku.

"Maksudnya?"

"Kalau latian nari aku kan pakai gaun merah selutut, tapi waktu tampil di pembukaan pentas seni nanti, aku bakal pakai gaun yang panjang!"

Aku hanya manggut-manggut sembari tak henti-hentinya memandangi lesung pipi yang tampak ketika Peony melayangkan senyum.

"Saat pembukaan pensi nanti, aku harus menari sebaik mungkin supaya Marissa nggak kecewa." Lontar Peony. Aku mengerutkan dahi sebagai sinyal bahwa aku tidak mengerti dengan ucapannya dan ia harus menyusun beberapa kalimat penjelas.

"Marissa-lah yang pertama kali membuatku jatuh cinta dengan flamenco. Saat pertama kali masuk SMA, aku melihatnya menari di ruang tari, ia menari diiringi musik yang tumbuh dari imajinasinya. Marissa terlihat sangat mengagumkan meskipun ia masih mengenakan rok putih-biru pendek. Sejak saat itu aku dan Marissa berkenalan, lantas kami berdua mendaftar di ekskul flamenco sekolah. Aku tak menguasai satu gerakan pun saat masuk ekskul, dan Marissa-lah yang mengajariku dari nol."

Peony menatapku. "Jadi kukira inilah cara terbaik untuk berterima kasih kepadanya, yakni dengan mempersembahkan tarian terbaikku sebagai tanda bahwa Marissa sudah berhasil dalam mengajariku." Perlahan senyum Peony mengembang, setelah itu suasana canggung sejenak, yang terdengar hanyalah desau angin yang mengugurkan dedaunan pohon di sebelah kelas kami.

A Girl Named PeonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang