1. Anak Panah Wira

74 9 2
                                    


          "Gila, kan, dia? Ngapain coba setelah dilamar malah nyariin cinta pertama? Bener-bener ngigau anak itu!" Aku terus menggerutu gusar sambil menceritakan permintaan Risya untukku semalam kepada Nuri, pacarku. Aku masih tak habis pikir apa yang merasuki Risya malam itu sampai punya ide aneh yang terlalu drama semacam itu.

         Nuri tak banyak bereaksi setelah mendengar ceritaku, selain mengerutkan dahi dengan bingung. "Tapi gimana caranya? Emangnya kamu tahu cinta pertamanya Kak Risya siapa?"

          "Ya, tahu lah. Kapan Risya mulai mens juga aku tahu," jawabku asal, membuat Nuri menyodok pinggangku keras. Dia sedang penasaran, sama sekali sedang tak ingin bercanda. Padahal aku tidak bercanda, aku benar-benar tahu kapan Risya mulai datang bulan.

         "Siapa? Temen SMA dulu?" tanya Nuri lagi, menebak-nebak.

          Aku mengagguk, membenarkan. "Iya, Kakak kelas. Gebetan sejuta umat."

         "Hah? Maksudnya?"

         "Ya, semua orang sukanya sama dia," jawabku santai sambil menyedot es kelapa muda di mejaku. "Ganteng. Tinggi. Pinter. Dulunya ketua kelas. Nyaris sempurna lah pokoknya."

                                                                                  *****


         Aku selalu merasa kisah cinta pertama Risya terlalu cheesy dan pasaran. Mirip cerita di komik-komik cantik yang sering dibawa Risya. Tahu, kan? Cerita tentang siswi biasa yang tak menonjol menyukai siswa idola yang paling tampan di sekolah. Aku masih ingat pertama kali Risya menunjuk kakak kelas itu sambil tersenyum malu-malu. "Kakak kelas itu ganteng, ya. Baik lagi orangnya."

         Nama cinta pertama Risya adalah Perwira Radjasta Putra. Panggilannya Wira. Kelas XII IPA 3. Salah satu anggota Geng Tinggi Tampan—sebutan dari para siswi SMA mereka untuk lima murid paling tampan di sekolah, kebetulan mereka berlima memang bersahabat Teman-teman segengnya biasa memanggilnya 'Wira Sableng'. Risya sering sekali menggerutu tiap mendengar panggilan itu. Dia bilang, "Ih, seganteng itu, kok, dipanggil Wira Sableng." Padahal Wira sendiri santai-santai saja dipanggil begitu. Teman-teman Wira memanggilnya begitu dengan alasan, "Biar si Wira ada celanya dikit. Masa jadinya manusia enggak ada celanya."

          Memang dipikir-pikir susah juga mencari cela Wira. Tubuhnya tinggi, cukup atletis untuk anak yang belum 17 tahun, kulitnya putih, hidungnya mancung, rambutnya bagus. Wira punya garis wajah tegas yang membuat semua siswa mau tak mau—walaupun sebenarnya malas—mengakui bahwa dia memang good looking. Dia juga pintar, minimal selalu masuk lima besar kelas. Kemampuan bahasa Inggris dan fisikanya dipuji semua guru. Waktu kelas X, Wira sempat menjabat ketua kelas. Kemudian tahun berikutnya dia menolak posisi itu karena merasa terlalu lelah mengurus semuanya.

          "Komik banget. Tapi dia enggak jago basket gitu, kan?" celetuk Nuri yang tertawa geli di sela ceritaku.

         "Enggak, sih. Tapi dia pernah menang kejuaraan panahan waktu SMP."

          Mata Nuri membulat, kemudian berdecak sendiri. Sepertinya masih tak percaya sosok yang kubicarakan ini bukan fiksi. "Ya, enggak heran sih kalau Kak Risya naksir. Terus gimana? Mereka sempet deket?"

                                                                                       *****

Letter to My First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang