'Biru, maaf. Permintaanku waktu itu enggak usah dipikirin. Kamu bener, permintaanku terlalu konyol. Aku cuma ngelantur, sorry.'
Aku sudah membaca pesan dari Risya setengah jam yang lalu, tepat sebelum aku meluncur dengan motor untuk mengantar Nuri pulang. Sebenarnya, tak ada yang aneh dari pesan itu. Justru aku sedikit bersyukur karena ternyata Risya sadar permintaannya itu memang tak masuk akal dan tak penting. Namun, entah mengapa aku tak bisa berhenti memikirkan pesan itu. Entahlah, rasanya aneh jika dibanding Risya yang terlihat amat kecewa dan marah semalam. Aku amat mengenal Risya. Aku tahu Risya tak semudah itu goyah dan berubah pikiran.
Sebuah motor matic yang sejak tadi berada di samping mempercapat lajunya dan mendahuluiku. Aku sempat melirik dua penumpangnya. Sepasang siswa-siswi berseragam putih abu-abu. Yang siswi duduk miring karena roknya yang panjang. Tangannya menggenggam erat tas ransel siswa di temannya. Aku membatin, pasti mereka berdua bukan sepasang kekasih. Mungkin mereka hanya sahabat. Karena aku dan Risya dulu juga sering naik motor dengan posisi seperti itu. Risya tak pernah memegang pinggang seperti beberapa perempuan lain. Dia memilih ranselku yang terlihat lebih kuat dan aman. Kecuali satu waktu, saat dia tiba-tiba memeluk punggungku erat-erat. Tapi sepertinya sekarang bukan saat yang tepat untuk membahas itu.
Karena bayangan wajah marah Risya kemarin benar-benar membuatku resah sekarang.
"Aku enggak mau salah satu orang yang penting buat aku ngelupain aku gitu aja. Aku enggak mau perasaanku ke dia terlupakan gitu aja bahkan sebelum dia. Buat aku, itu semua penting."
Risya dan segala perasaan insecure-nya. Selalu merasa dirinya tak penting. Tak punya banyak teman. Tak dibutuhkan orang lain. Semua pikiran buruk yang selalu membuatku kesal padanya, sekaligus tak ingin menyakitinya. Perasaan itu yang mungkin sekarang mendorongku untuk memutar kemudi, berbalik arah.
"Lho, kita mau ke mana?" tanya Nuri yang duduk di boncengan, bingung.
Aku mempercepat laju motor dan berseru menjawabnya. "Kita mampir ke SMA-ku dulu, ya. Aku ada urusan."
*****
Tak banyak yang berubah dari SMA kami walau bertahun-tahun telah berlalu. Hanya ada satu bangunan baru yang sepertinya dijadikan ruang komputer, perpustakaan, dan beberapa ruang kelas X, juga cat yang baru—walau dengan warna yang masih sama dengan dulu. Hari sudah cukup sore dan sekolah sudah sepi. Hanya ada anak paskibraka yang masih saja rajin berbaris di lapangan depan dan juga beberapa anak ekskul yang duduk santai di ruang mereka masing-masing.
Aku dan Nuri langsung dibolehkan masuk karena ternyata Pak Mansyur, penjaga sekolah, masih mengingatku. Mungkin karena dulu aku sering makan mie ayam bersamanya, entahlah. Aku segera naik ke lantai dua, menuju kelas kami dulu—mengabaikan para anggota ekskul yang menatap kami dengan penasaran.
"Kelas kamu sama Kak Risya yang mana?" tanya Nuri sambil melongok ke kanan dan kiri.
Aku melangkah ke samping kanan di ujung tangga, menunjuk kelas ukuran sedang yang sekarang sedang kosong. Kelas X-6. Bertahun-tahun berlalu, ternyata kelas itu masih tak berubah fungsi. Plang kayu yang tergantung di depan itu masih bertuliskan sama X-6.
"Aku biasa duduk di pinggir sini, nih, sama Gandhi. Risya di depan sama Maudy," ujarku sambil menunjuk meja yang paling dekat dengan pintu.
Nuri berdecak dan menepuk tangannya, "Wih, anak-anak rajin nih duduknya di depan."
"Bukan," jawabku, cepat. "Risya yang maksa aku duduk di belakangnya. Risya sendiri tujuannya separuh rajin, separuh modus." Aku berbalik, menatap kelas yang berseberangan dengan kelas X-6. Jaraknya cukup jauh tetapi dari bangku Risya isi kelas itu masih terlihat cukup jelas. Kelas itu adalah XI IPA-3. Kelas Wira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Letter to My First Love
RomanceSahabatku itu memintaku menyampaikan surat kepada cinta pertamanya. Di saat hidupnya telah berjalan sempurna. Saat dia telah mendapatkan pendamping yang mau menerimanya sepenuh hati. Saat pernikahan telah berada di depannya. Awalnya kupikir itu han...