Part 2

17 0 0
                                    

Dingin dan tak berperasaan, mungkin itu julukan yang pantas untuk Zian.

Menyapa, tersenyum semanis mungkin, memberikan perhatian dan menguntit kemanapun Zian pergi. Okeh ini terlihat berlebihan tapi tidak bagi Rea.

Setiap hari melakukan hal yang sama tapi tetap tak pernah di respon oleh Zian. Dia terlalu tak perduli.

Rea. Dia tetap sabar walau hanya bentakan dan hinaan yang ia terima, setidaknya Zian merespon. Itu pikirnya. Dan hal itu selalu diterima Rea selama tiga tahun mendekati dewa penolongnya. Dia kuat.
.
.

"Ziannnnnnnn," teriak Rea penuh keceriaan. Dia kini mensejajarkan langkahnya dengan Zian.

Zian menghentikan langkahnya dan langsung menatap horor gadis pengacau disampingnya.

Rea ? Dia sudah biasa mendapatkan tatapan seperti itu.

"Ngapain lo ngikutin gue!" bentaknya.

Rea tersenyum. "Gue mau ke kelas bareng lo Zian."

Zian berdecak kesal. "Gue ga suka sama lo gue benci elo dan gue ga sudi jalan bareng lo!"

Tenang. Hati Rea udah kuat kok mendapatkan perlakuan seperti itu.

Lagi Rea hanya tersenyum. "Okeh lo jalan duluan Zi dan gue jalan agak jauh dibelakang lo."

Zian memutar bola matanya jengah. Ia pun langsung berjalan pergi mengacuhkan Rea.

Bohong kalau Rea tida terluka, tapi sekali lagi hati dan fikiranya dibutakan cinta.
.
.

"Re!"

Rea langsung memutar bangkunya mengahadap ke arah dua sahabatnya yang duduk tepat dibelakang dirinya dan Ica.

"Apa sih Robbyt?" jangan heran kenapa Rea panggil sahabatnya Robbyt, padahal nama cowok berwajah tampan itu Robby. Tapi ngeliat dua gigi besar Robby, Rea sengaja mempelesetkanya menjadi Robbyt. Dasar bocah.

"Lo masih usaha deketin sih manusia kutub itu?" dan jangan heran pula kalau Robby panggil Zian manusia kutub, ini dikarenakan sikap dingin Zian yang sedingin kutub utara itu.

Rea hanya mengangguk singkat dengan mengalihkan pandanganya kearah Zian yang duduk dikursi paling belakang.

"Ck! gue kasian ama lo Re,"Gery menimpali.

"Iyah tau Re mending lo mundur deh. Masih ada tau cowok yang nunggu lo," Ica ikut berkomentar dengan sedikit menyindir seseorang yang kini telah memelototkan mata tajamnya ke arah dirinya.

Rea termenung. Haruskah mundur ? tapi tidak mungkin ini sudah tiga tahun berjalan Rea ga mungkin mundur gitu aja.

Kalaupun ia mundur sekarang berarti semua usahanya sia-sia. Waktu dan tenaganya terbuang percuma.

Rea berdecak kesal menatap tiga sahabatnya. "Lo bertiga mending diem deh gue masih usaha tau."
.
.

Ini yang dibenci seluruh siswa dimanapun ia bersekolah tak terkecuali Rea.

Dia suka mata pelajaran sejarah, karena menurutnya kita lahir dari sejarah jadi penting untuk kita mengetahui sejarah. Alasan yang absurd.

Tapi kali ini lain lagi ceritanya karena pelajaran membosankan itu, ada di jam akhir sebelum pulang. Bayangkan bagaimana wajah penghuni kelas XI Ipa 1. Mereka mendadak jadi zombie.

Hingga akhirnya suara bel kemerdekaan berdenting. Yang seketika wajah para zombie jadi-jadian itu berubah sumringah.

The power off bel pulang.
.
.

Rea berjalan riang menyusuri koridor sekolah yang mulai sepi.

Bel pulang sudah berbunyi beberapa menit yang lalu, tapi Rea enggan pulang karena sang dewa penolongnya belum pulang.
.
.

"Hay Zian," sapa Rea ramah yang kini telah duduk disamping Zian.

Zian membuang napas kasar. "Ngapain lo disini," tanyanya sinis.

"Gue mau ngasih minuman ini buat lo Zi," seraya menyerahkan sebotol air mineral.

Rea tau Zianya pasti haus apalagi setelah berlarian kesana kemari mendrible bola.

"Pulang sana!" usirnya tegas tanpa menghiraukan air yang disodorkan Rea.

"Tapi Zi.."

"Pulang!" teriak Zian sekali lagi dengan tatapan penuh intimidasi, lalu melenggang pergi.

Rea hanya terdiam. Bahkan Zianya tidak mau menerima air pemberianya. Sadis sekali lelaki itu.
.
.
.
.

Be Mine, Please !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang