Part 4

4 0 0
                                    


Rea terbangun dan mendapati jam menunjukan pukul tujuh malam, jadi dihitung-hitung dia tidur tiga jam.

Rea tau pasti anggota keluarganya sudah menunggu di ruang makan, mengingat sekarang waktu makan malam.
.
.

"Yah pahanya buat Lean napa," rengek Lean yang diacuhkan Angga, ayahnya.

"Le paha bunda aja noh yang gede hihihi," timpal Angga seraya melirik istrinya yang cemberut.

"Jadi maksud ayah bunda gendut gituh ?" skak mat. Sekarang tinggal Lean yang menonton drama kedua orangtuanya.

Angga gelagapan. "Bu..bu..bukan gitu bun." Lean tak bisa menghentikan tawanya apalagi saat melihat ekspresi ketakutan ayahnya.

"Bunda gendut ?"

"Engga bun, bunda kurusan kok."

"Bohong itu pasti alibi ayah kan? padahal tadi pas bunda timbang berat bunda naik?" Bia menatap tajam suaminya. "Ayah ngomong jujur apa bunda gendutan ?"

Sungguh Angga bingung mesti jawab apa karena perkataan tadi sesungguhnya hanya bercanda.

"Hahaha kita lihat akhirnya pemirsa siapakah yang akan menang tim istrikah atau tim suamikah? dan...." belum sempat Lean melanjutkan perkataanya, teriakan kedua orang tuanya berhasil membuat Lean bungkam.

"Lean diammmm!" dan akhirnya Lean diam melanjutkan lagi makanya tapi dengan satu kemenangan.

"Ayah Lean dapet paha ayamnya," ujarnya pelan dengan mengacungkan paha ayam sengaja meledek ayahnya.

Dari arah tangga Rea terkejut mendapati kakaknya duduk di meja makan.

"Bang Andreas Alean Nugraha ?" Lean menengok ke arah empunya suara.

"Ulu ulu ulu adek cantiku Andrea Azaletta Nugraha."

Rea benar-benar bahagia melihat abangnya, pasalnya ini pertemuan yang entah ke berapa. Karena Lean sedari umur tujuh tahun tinggal di rumah nenek mereka di Singapoer.

Bunda dan Ayah seketika menghentikan perdebatan tak masuk akalnya.

"Rea sini sayang duduk. Oh ya mau tau kabar bahagia ?" bunda mempersilahkan Rea duduk disampingnya.

"Bang Lean bakal pindah sekolah bareng kamu," lanjut ayah tersenyum sumringah.

Jangan tanya gimana ekspresi Rea, dia langsung menghambur memeluk Lean. "Uhuk uhuk, Rea sayang uhuk uhuk," Lean terbatuk-batuk karena eratnya pelukan Rea.

Sedang Rea cuma nyengir kuda.
.
.

"Sini bun nasi gorengnya buat ayah."

"Ayah becanda ? tuh mamam roti biasanya juga itu kan ?"

"Bunda jahat pilih kasih ga adil."

"Bodo amat ini buat anak-anak yah."

Sedang dari arah tangga Rea dan Lean hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan orang tuanya.

"Re gue heran apakah pantes anak secakep kita punya orang tua kek gituh ?" Rea menggeleng sambil menahan tawa.

"Ga pantes bang jangan-jangan kita anak pungut ?" seketika Rea dan Lean tertawa terbahak-bahak.

"Bunda sayangnya ayah ?"

"Udah deh yah makan roti aja biasanya juga gituh."

"Bun siapa cowok tampan itu ?" ayah mengalihkan perhatianya kearah Rea dan Lean.

"Mulai deh drama recehnya udah ah Rea mau berangkat. Ayo bang," Rea menarik Lean pergi.

Tapi,

"Rea Lean makan dulu kan udah bunda buatin nasi goreng."

Be Mine, Please !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang