Part 3

5 0 0
                                    


Zian membanting tubuhnya di atas kasur yang berukuran king size itu. Matanya menerawang mengingat hal apa saja yang sudah ia lakukan pada gadis cantik itu, Rea.

Sejujurnya Zian tak punya alasan bahkan tak ada alasan untuk membenci Rea tapi hanya saja Zian tak suka melihat gadis itu ceria seolah tak ada masalah dalam hidupnya.

Sedangkan dirinya untuk tersenyum atau tertawa pun susah dia tak bisa seceria Rea karena masalah keluarga menuntutnya menjadi manusia sedingin es.

Zian sadar bahkan sangat sadar dengan apa yang dilakukanya terhadap Rea tapi, dia bingung.

Gadis itu tetap selalu mendekatinya padahal segala hal telah ia lakukan. Membentak menghina bahkan mencacinya. Terbuat dari bajakah hati Rea ?

Suara ketukan pintu mengejutkan Zian dari lamunanya. Lalu kedua orang tua Zian memasuki kamarnya.

"Zian papah dan mamah akan terbang ke Thailand malam ini juga. Ada bisnis yang harus diurus disana. Apa kamu baik-baik saja sendiri ?" ujar papah Zian, tuan Bara langsung to the point tanpa basa-basi.

Mendengar perkataan papahnya Zian langsung mendudukan tubuhnya bersama dengan lenyapnya segala lamunan tentang Rea.

"Thailand ?"

"Iya sayang," sahut mamahnya.

"Ck! baru pulang udah mau pergi lagi ?"

"Zian ini..."

"Pergi aja sana! Zian ga peduli. Mau ke Thailand kek Inggris kek. Bukanya Zian udah biasa sendiri ?"

"Zian!" bentak papah Zian tersulut emosi.

"Pah," Nyonya Lia ibu Zian berusaha menenangkan suaminya.

Zian acuh dia benar-benar tidak perduli toh sudah biasa baginya sendiri di rumah.

Kadang dia juga bingung benarkah dia anak mamah dan papahnya ? tapi mengapa justru bi Mia pembantunya yang lebih perduli dan perhatian padanya.

"Zian maafin mamah sama papah sayang mungkin kita seminggu disana nak," Nyonya Lia berusaha mendekati Zian dan ingin memeluknya tapi Zian lebih dulu menghindar.

"Pergi sana!" Zian langsung menutupi tubuhnya dengan selimut dan benar-benar mengacuhkan kedua orang tuanya.

Zian hanya berharap dia tidak mimpi buruk malam ini.
.
.

"Bun! ayah ga suka susu," teriak tuan Angga yang kini persis bereaksi layaknya anak kecil yang tidak mau minum obat. Dia menutup mulutnya rapat-rapat.

"Aduh ayah kaya anak kecil deh. Bunda lagi males bikin kopi yah lagian kopi juga udah abis belum beli," sahut wanita yang ternyata adalah istrinya, nyonya Bia.

Tuan Angga terus menggeleng dengan mengunci mulutnya rapat-rapat.

"Tuhan benarkah mereka orang tua Rea," teriak gadis itu yang sontak menghentikan drama kacangan kedua orang tuanya.

"Rea!"

Rea menepuk jidatnya. "Bunda sama ayah nih kaya anak kecil tau."

"Bun siapa gadis cantik itu," ujar tuan Angga dengan ekspresi polosnya. Dia mulai lagi dramanya.

Kini tinggal nyonya Bia yang menepuk jidatnya. "Ayah dia putrimu."

Tuan Angga memasang wajah sok terkejut. "Kapan aku melahirkanya ?"

Astaga! siapapun tolong getok kepala tuan Angga.

"Ayah aku yang melahirkanya," jerit nyonya Bia frustasi. Dia heran sendiri bisa-bisanya dirinya menikahi lelaki konyol seperti Angga.

"Ayah lawakanmu receh. Aku berangkat!" Rea benar-benar bisa gila bila meladeni ayahnya yang receh itu.

"Hati-hati dear!" teriak kedua orang tua Rea.

Rea hanya mengangguk dan tersenyum. Walau keluarganya konyol setidaknya dia bahagia.
.
.

Siluet sosok pria yang berjalan di depanya menghentikan langkah Rea, dan sedetik kemudian.

"Pagi Ziann," menyapa pria yang bernama Zian itulah kewajiban Rea.

Zian yang moodnya udah ancur makin tambah ancur liat kehadiran Rea. "Bisa ga sih lo ga ikutin gue? arghhh," Zian mengacak rambutnya frustasi.

Dengan santainya Rea menggeleng. "Engga bisa Zi gue terlanjur cinta sama lo."

Siapapun tolong bunuh saja Zian yang terlihat begitu stres mendengar pernyataan Rea. Dia bisa benar-benar gila menghadapi gadis keras kepala macam Rea.

"Gue ga peduli! gue benci sama lo!"

"Zi tapi gue.."

"Ga usah ikutin gue!"

Rea hanya menunduk. Dia bisa apa semua perintah Zian itu penting baginya walau sekalipun itu menyakitkanya.

Rea terlanjur cinta.

"Berhenti kejar cowok kutub itu Re."

Rea menoleh dan mendapati Robby berdiri menatapnya dengan penuh rasa iba. "Gue cinta dia obbyt," rengek Rea dengan memamerkan senyum manisnya.

Dan Robby dia bisa apa hanya bisa pasrah cintanya bertepuk sebelah tangan.
.
.

"Gue heran sama lo ian Rea kurang apa coba? tiga tahun boss dia ngejer lo," Axel udah ga tahan lagi untuk berkomentar apalagi melihat tingkah temanya yang super duper dingin itu ingin rasanya rebus hati Zian biar hangat.

"Dia tuh baik banget ian nyesel lo ngacangin dia," Deru ikut nyumbang suara. Dia juga gerah liat sifat Zian yang ga perduli itu kalo ga inget dosa Deru udah banting Zian mungkin, secara dia kan atlet pencak silat.

"Gue benci dia!"

Axel dan Deru saling melempar pandang.

"Gue heran kenapa hidup dia santai banget seolah ga ada masalah gituh."

"Kenapa dia selalu ceria? gue heran sama tuh bocah."

"Tapi gue ? Buat senyum atau ketawa aja ga bisa."

"Keceriaan dia ganggu gue."

Lagi, Axel dan Deru hanya saling melempar pandang.

"Lo iri sama dia," teriak kompak Axel dan Deru. Yang seketika mendapat delikan tajam dari Zian.

'Mungkin Zian lagi ngigo' batin Axel

'Apa Zian mulai stres yah ?' batin Deru

'Gue iri sama si cewek rempong ?' batin Zian
.
.

Ah Rea memang beda mungkin karena pengaruh abnormal keluarganya kali yah, di bentak diusir dicaci tapi dia tetep bisa ceria bahkan seolah ga mikirin itu pernah terjadi. Salut deh sama Rea.

"Ih obbyt rese deh itu gorengan gue!"

"Obbyt cowok mana lagi tuh Re ?" tanya Gery

Rea menunjuk Robby yang asik berkutat dengan gorengannya. "Gue males manggil Robbyt kepanjangan yaudah deh gue pendekin jadi Obbyt."

"Elah re sama aja itu mah panjang, pendek tuh kalo lo manggil si kelinci ini byt kan pendek," timpal Ica disertai kekehanya.

Rea berpikir sejenak. "Elah bocah gitu aja dipikirin. Eh gimana kelanjutan usaha lo ke cowok kutub itu ?" Gery kembali bersuara.

Rea mendadak hilang selera makan. "Seperti biasa Co gue dikacangin."

"Eh Co cowok mana lagi tuh kan lo ngemeng sama gue Re," emang dasar Gery yah nanya mulu kaya emak-emak.

"Lo dol kan nama lo Gery kulit lo coklat jadi gue singkat aja manggil lo Geco Gery coklat," sahut Rea seenak jidatnya.

"Eh nama makanan itu Re," Robby ga tahan buat ga ketawa Rea selalu bisa membuat panggilan yang unik.

Gery hanya mendengus kesal.

Sedang dengan santainya Rea mengangkat bahu cuek. Kini pikirannya mengelana memikirkan cowok tak sampainya. Zian.
.
.
.

Be Mine, Please !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang