Ternyata malam itu Jay pulang ke rumah, walau lebih tepatnya dini hari, karena jam menunjukkan waktu pukul 3 pagi. Aku tertidur di ruang tamu karena setelah pulang kerja aku memeriksa ulang resume yang aku persiapkan sore tadi. Kemudian setelah aku asik melihat-lihat katalog kelas yang kira-kira bisa aku ambil kalau-kalau aku tidak perlu lagi kerja sampai malam seperti sekarang, aku pun tertidur kelelahan.
“Sweetie, wake up. Tia, wake up. Kamu gak mau tidur di kamar kamu aja?” bisik Jay lembut di telingaku. Aku orang yang mudah terbangun dari dulu. Terkejut aku melonjak dari tidurku.
“Ouch!” kataku memegang perutku yang tegang tiba-tiba karena rasa kagetku tadi.
“Kamu gak papa, Tia?” Jay terlihat panik.
“Nggak, gak papa. Cuma kaget aja kamu bangunin, perutku jadi terasa keras, jadi agak sakit.”
“Pindah yuk. Kamu tidur ama aku aja ya? Kayaknya semenjak tinggal bareng kamu selalu tidur sendiri di kamar kamu.”
“Gak mau. Udah ah, dah hampir pagi nihhh...aku masih perlu tidur untuk kerja besok pagi. Kamu kalau mau tidur, tidur aja sendiri. Aku sebel banget dibangunin!” kataku merengut.
Jay gak berkata apa-apa. Ia hanya mengambil selimut dari kamarku, menyelimutiku dan gak lama terdengar suara air pancuran di kamar mandi kami.
Kata-kataku ketika berkata bahwa ia adalah orang yang terakhir yang aku pernah “tidur bareng” adalah benar. Sex dengannya yang membuatku hamil pun adalah yang pertama dan terakhir. Semenjak kejadian itu, bahkan kalau ia hendak mencium bibirku pun aku menundukkan kepala atau melangkah pergi. Jay sendiri gak pernah terlalu mempertanyakan kenapa. Dia hanya mengira ini adalah bagian dari perubahan hormon setelah hamil. Mungkin ada benarnya ini karena perubahan hormon walaupun aku yakin bukan karena hal itu saja. Tokh perjanjian kami tinggal bareng adalah untuk membantu tentang kehamilan dan keinginan Jay untuk menjadi bagian dari kehidupan bayinya ini.
Sebelum aku berangkat pagi itu, aku tinggalkan resumeku di atas meja makan kecil kami bersama kotak makan siang Jay dengan catatan kecil meminta Jay untuk memeriksanya. Di catatan itu aku juga berkata hari itu gak bisa menemuinya untuk makan siang karena ada permintaan untuk mentor anak SMA untuk pelajaran matematika dan aku tutup dengan meminta maaf karena kata-kata kasarku tadi malam.
Sepulang kerja malam itu, dengan perasaan lelah yang amat sangat karena telah bekerja di tiga tempat seharian, aku menyeret kakiku masuk ke apartemen. Kutemui Jay di hadapan komputer dengan kacamatanya yang ia selalu pakai kalau bekerja di rumah.
“Hi, Jay... kok cepet hari ini pulangnya?” kataku sambil menaruh kunci di tempatnya dan menggeletakkan tas tanganku. “Ah...capainya badanku. Rasanya mau remuk!”
Jay bangun dari tempat duduknya, membantuku untuk duduk di sofa tua kami.
“Mau minum, Tia?”
“Nggak makasih, Jay. Aku perlu mandi, lengket banget. Panas banget ya hari ini? Tapi aku capek banget, kayaknya bisa tidur berdiri.”
“Mau dimandiin?” celotehnya iseng.
“Ih! Dasar pervert!” kataku sambil melemparnya dengan bantal kecil sofa.
“Tia, kamu bisa minta tukeran shift untuk di gas station gak besok malem? Ada yang perlu aku bicarain ama kamu. Aku kayaknya bisa pulang jam 8-an, kita makan malam bareng aja ya di rumah? Oh iya, ada pesan di mesin telepon, dari Dr.Webb. Kamu dapat kerjaan di kantornya. Katanya kalau bisa kamu mulai minggu depan untuk orientasi dan kerja,” Jay berkata sambil memijat kakiku yang dia taruh di atas pahanya.
“Oh alhamdulillah. Makasih banyak ya, Jay. Tentang shift, kayaknya nanti aku bisa minta Ammar gantiin aku. Dia masih utang favor sama aku, setelah aku gantiin shiftnya dua minggu yang lalu.” Saking lelahnya, kalimat terakhir itu aku katakan setengah tidur. Tanpa mandi, aku pun tertidur di atas sofa. Jay memandangku lembut, meluruskan badanku dan menyelimutiku. Ia kecup bibirku dan mengambil selimut dari kamarnya. Malam itu ia menemaniku tidur di ruang tamu. “Well, Tia... senggak-nggaknya aku bisa menemani kamu tidur disini.”
Aku memutuskan untuk mengambil libur satu hari penuh. Kebetulan hari itu hari Minggu, dan SBS tutup. Aku yakin Ammar akan bersedia menggantikan shiftku di gas station nanti malam. Ketika pagi-pagi aku bangun untuk sholat subuh, kulihat Jay tertidur di lantai, di sebelah sofaku. Tadinya aku berpikiran hendak berjalan pagi, tapi badanku terasa masih patah-patah kelelahan. Kupandang wajah Jay yang terlihat tenang. Betapa jarangnya raut tenang itu di mukanya. Dulu ketika aku tidur di sebelahnya di kota kecil Texas dulu, ia kerap kali terbangun di tengah malam dengan teriakan kasar. Aku hampir selalu tak bisa nyenyak di sebelahnya, karena beberapa kali semalam ia akan bertanya, “Tia? Are you okay? Tia, kamu gak papa?” tanpa alasan yang jelas. Aku hendak menarik selimutku di atas sofa lagi, ketika akhirnya kuputuskan untuk menggelar terpal di atas karpet dan tidur di sebelahnya.
Matahari telah beranjak jauh ke atas ketika aku kembali bangun. Tercium bau telur digoreng dan suara memotong di dapur. Aku beranjak dan tersenyum melihat Jay menyiapkan sarapan.
“Hmm, katanya gak mau tidur ama aku lagi?” godanya ketika melihatku.
“I felt sorry for you, jadi aku temenin,” jawabku.
“Alaaah, bilang aja kamu gak bisa menolak tubuhku yang sexy ini,” kata Jay berpose.
“Ih! Amit deh!” tawaku. “Kamu mau ke lab hari ini?”
“Nggak, kita piknik aja yuk. Kamu ada niat apa hari ini?”
“Aku cuma mau ngisi formulir-formulir aja sebelum sekolah benar-benar mulai seminggu setengah lagi. Gimana kalau menurut kamu aku ngambil satu kelas? Aku takut kalau aku gak ngambil kelas sama sekali selama hamil, aku bakal lupa semuanya. Kamu mau kan bantuin aku belajar?” tanyaku dengan mata memelas. “Beberapa malam yang lalu aku ngeliat katalog, kayaknya banyak juga deh kelas yang bisa ditransfer balik ke Texas,” lanjutku.
“Iya, that’s a good idea. Kamu bisa ngambil kelas paling sore, jadinya kamu kerja dulu sama Dr.Webb. Ah tapi kalau kamu ngambil kelas siang juga pasti boleh ama Dr.Webb. Jamnya dia fleksibel, kan? Yang penting kamu menyelesaikan tugas ngetik dan proof-read, bener gak?”
“He-eh. By the way, masak apa kamu? Baunya enak banget.”
“Masak omelet cara kamu yang pake sayur, mau? Tuh punya kamu udah ada di piring yang itu.”
Aku mengambil piringku dan lahap makan. Dibanding bulan-bulan pertama, sekarang ini nafsu makanku bertambah.
“Hmm, enak Jay!”
“Iya dong!”

KAMU SEDANG MEMBACA
What If?
Novela JuvenilCerita ini ttg perjuangan seorang wanita yg hamil diluar nikah ketika sedang kuliah tehnik di luar negeri. Peperangan akan rasa berdosanya, ditumpuk dengan pengasingan keluarganya yg ia merasa permalukan, dan dicampur dengan pertanyaan mengapa harus...