Epilogue

17.5K 407 78
                                    

“Sampe dua minggu lagi ya Ma, insya Allah” kataku sambil bersiap menutup telepon. Micah sudah berumur enam tahun. Akhirnya perlahan dengan waktu, rasa marah orang tuaku dan kekecewaan mereka mulai tertutup dengan rasa rindu. Diawali oleh bentakan-bentakan, kemudian dengan telepon yang selalu ditutup ketika suara kami terdengar. Yang memecahkan segala dinginnya dinding di antara kami adalah ketika Micah yang mulai berbicara di umur dua tahun dan dengan tak sengaja memencet nomor memory telepon ibu dan ayahku. Dengan amat sangat perlahan, hingga akhirnya saat ini, enam tahun sesudah kelahiran Micah, orang tuaku bersedia menerima kami kembali. Lengkap dengan Eric yang  lebih memenuhi kriteria ke”tidak normal”an keluarga kami. Bagaimana tidak? Eric dengan kulitnya yang hitam seperti tembaga begitu kontras dengan kulit Micah yang keemasan. Mata kami berdua yang hitam tak ada yang mirip dengan mata Micah yang hijau seperti ibunya Jay.

“Mau nginap di rumah Dad kamu malam ini, Micah?” tanyaku.

“Iya, mom,” jawab Micah sambil dengan lincah meloncat-loncat.

“Mau aku anterin atau Jay yang bakal jemput, Tia?” tanya Eric kepadaku.

“Kamu bisa anterin, hon?”

“Iya, nanti sepulang dari mesjid aku drop Micah di rumah Jay. Are you excited, buddy?” tanya Eric sambil mengangkat Micah tinggi ke udara.

“Yeah!! Lagi, papa, lagi!” tawa Micah pecah di rumah kecil kami.

“Makasih udah nganterin Micah, Eric” sambil tersenyum Jay memeluk tubuh kecil Micah dan mempersilahkan masuk Eric.

Jay tinggal hanya beda beberapa rumah dari rumah kami. Selama empat tahun terakhir kami bertiga: Jay, Eric, dan aku, hampir selalu merapatkan keputusan tempat tinggal dan pekerjaan bersama-sama. Kami sering berdebat, sering bertengkar, tapi kami tahu yang paling penting adalah untuk tidak tinggal terlalu jauh dari satu sama lain demi Micah. Ketika aku ingin meneruskan sekolahku di Texas, Jay mengambil program pHDnya disana, dan Eric bekerja sebagai junior Criminal Profiler di kota besar yang jaraknya sekitar satu setengah jam perjalanan dari kota kecilku. Setiap akhir minggu ia menyetir kembali ke kota kecil kami dan mengurus Micah sementara aku mengejar tugas-tugas sekolah. Tidak ada yang mudah dan simple dalam tahun-tahun itu. Tapi entah bagaimana jalan Tuhan, akhirnya aku dapatkan juga diploma S1 tehnik mesinku.

“Wiken ini kalian gak kemana-mana, kan?” tanya Jay di depan pintu.

Eric tersenyum, “Hmm...aku denger dari Tia tentang professor sejarah di community college itu. Insya Allah kami pasti datang ke barbequemu, Jay. Wanita itu kedengerannya menarik, pantas untukmu.”

“Well, asal dia setuju dengan keunikan keluarga kita, Eric.”

Masih tersenyum Eric menjawab, “I’m rooting for you buddy.”

Di atas tempat tidur malam itu, selesai membacakan cerita sebelum tidur, Jay merebahkan badannya di samping Micah.

“Dad, Daddy percaya gak ada Tuhan?”

Tersenyum sendiri, Jay menjawab, “Kadang-kadang, kalau Micah?”

“Yup. Kayaknya aku gak bisa gak percaya.”

“Kenapa? Karena mommy kamu bilang kamu gak boleh gak percaya?”

“Nope. Mommy gak pernah bilang gitu.”

“Terus kenapa dong?”

“Kadang-kadang kalau malam aku suka kebangun dari tidur, terus aku pindah ke kamar mommy. Dan hampir setiap waktu itu, aku ngeliat Papa dan Mom sholat. Terus aku pernah tanya ke Papa, ngapain dia sholat malam-malam? Dia bilang sholat malam membuat dia lebih merasakan cinta Tuhan. Menurut Daddy, Tuhan pasti ada kan, sampe orang kayak Papa yang selalu dikelilingin cinta, masih juga mencari cinta Tuhan ?”

“Hmm, kamu lebih tua dari umurmu, Micah.”

“Daddy tau gak kenapa aku sering minta nginep disini?”

“Soalnya Micah paling sayang sama Daddy?”

“Iya, itu juga. Tapi lebih dari itu, aku gak suka daddy kesepian.”

Jay terenyuh.

“Kalau aja Daddy percaya Tuhan ada, mungkin nanti kalau aku gak ada terus-terusan nemenin Daddy, Daddy gak akan pernah ngerasa kesepian lagi.” Micah memeluk Jay, dan ia pun menutup matanya, tertidur.

---

What If?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang