Pusiinggg!

6K 169 7
                                    

Pagi harinya dengan rasa lemas yang berkepanjangan kupaksakan berangkat bekerja ke SBS. Malam sebelumnya ku email Eric agar bisa bertemu denganku untuk makan siang. Aku perlu seseorang yang membuatku tak tenggelam di kesedihan ini. Dan lagi aku masih penasaran kenapa dia dipanggil “brother” oleh manajer gas stationku. Hari itu untuk pertama kalinya semenjak tinggal di apartemen yang sama, aku tidak menyiapkan makan siang atau makan malam untuk Jay.

“My Tia, how are you doing?”
“Hi Eric!” paksaku tersenyum
“So what’s up? Ngapain wiken kemarin?” tanyanya.
Mungkin karena aku kangen untuk bicara sama Ben, maka walaupun yang ada di hadapanku Eric, aku bercerita semuanya.
“Aku tau Jay bermaksud baik, Eric...tapi mestinya dia bicara dulu sama aku. Mestinya dia ngebiarin aku menyelesaikan masalah keluarga aku sendiri. Dia kan gak tau culture aku. Dia gak tau gimana dekatnya keluarga aku, gak tau semuanya! Agh! Dia benar-benar bikin aku marah! Aku cuma berharap ayahku gak langsung jatuh sakit karena berita ini... Dan aku pengecut banget, Eric! Aku tau aku seharusnya langsung nelepon orang tua aku sekarang ini, tapi aku gak berani.”
Eric tersenyum dan bertanya, “Emang apa yang orang tua kamu bakal bikin ke kamu?”
“I don’t know...yang kebayang sih kalau ama ibuku kayaknya dicariin tali gantungan buat ngegantung aku.”
Tampangku serius campur sedih, tapi Eric tertawa terbahak-bahak.
“Ih kok ketawa sih?!”
“Ya iyalah ketawa Tia, sesadis-sadisnya ibu kamu, kayaknya dia gak mungkin deh ngebunuh kamu barengan sama bayi di dalam perut kamu? Kalau kamu punya ibu kayak gitu, kayaknya kamu gak bakal jadi orang senormal sekarang.”
“Hmm...I guess you do have a point.”
“Okay, coba kita pikir setenang mungkin. Apa yang kamu paling takutkan untuk terjadi?”
“Udah terjadi, Eric. Yang paling aku takutkan adalah untuk ngecewain mereka, dan itu udah terjadi.” Aku menunduk.
Eric menepuk-nepuk punggungku. “Bukan itu maksudku, Tia. Apa yang paling buruk yang orang tua kamu bakal lakuin ke kamu?”
Aku gak sanggup menahan air mataku. “Disowning me. Aku takut orang tuaku gak mau lagi mengakui aku jadi anak mereka.” Sungguh aku mencoba menahan suara tangisku. Apalagi kami sedang makan siang di tempat umum di tempat terbuka. Tapi sesak semua. Rasanya dada ini sempit, dan nafasku terasa berat.
“Hey, it’s alright... you’re alright,” katanya sambil memelukku. Tak berapa lama punggungnya basah oleh air mataku. Kami seperti itu untuk beberapa saat. Eric kemudian bertanya, “So what’s Jay going to do?”
“Dia menawarkan aku untuk menikahinya.”
“Jawaban kamu?”
“Aku bilang nggak.”
“Kenapa?”
“For personal reasons...” jawabku.
“Gak mau cerita?”
“Nggak.”
“Kamu seharusnya menelepon orang tua kamu secepatnya.”
“Iya, aku tahu. Aku kan udah bilang, aku belum bisa ngumpulin keberanian yang cukup.”
“Mau aku temenin pas kamu nelepon?”
“It’s okay...aku minta Jay temenin waktu saat itu datang.”
“Tapi kamu tetap gak mau nikah ama dia?”
“Iya, dia perlu nemenin aku karena setengahnya kan kerjaan dia,” senyumku getir.
“Are you feeling better now?”
Aku menarik nafas panjang,”Iya. Oh, Eric...tapi ada satu yang aku penasaran.” Aku ceritakan tentang kejadian di gas stationku, dan bahwa ku mendengar ia dipanggil “brother.”
“Oh, that. Waktu aku kesini, aku minta tolong sama temanku di Prairie View kalau dia punya teman di Purdue atau nggak untuk aku bisa nginap di hari-hari pertama sebelum aku punya apartemen. Kebetulan temanku itu orang muslim, jadi dia mengontak asosiasi muslim di Purdue, dan mereka yang menolong aku selama aku pertama-tama sampai disini. Nah mereka manggil aku ‘brother’ karena aku suka ke mesjid, belajar macem-macem aja. Mereka orangnya baik-baik, dan masakannya enak-enak banget!”
“Oh,” kataku mengangguk.
“Kok aku gak pernah melihat kamu di mesjid?” kata Eric tiba-tiba.
“Menurut kamu aku pantas gak masuk ke mesjid?” aku berbalik bertanya.
“Kenapa nggak? Karena kamu seorang pendosa?” mata Eric tajam menatapku.
Aku menunduk dan mengangguk.
Tersenyum tipis Eric menjawab, “Tia, kamu pernah dengar puisi Abu Nuwas?”
“Apa hubungannya dengan obrolan kita, Eric?”
“Aku pertama kali dengar di diskusi dengan brothers lain di mesjid. Aku suka banget sama puisinya, jadi aku hafalin. Mau dengar?”
“Iya, mau.”
“Abu Nuwas dulunya seorang homoseksual, hidup di jaman Kalifah Harun Al Rashid. Ketika di akhir hidupnya, dia diberitakan bertobat, tapi gak ada yang percaya sama dia, karena selama hidupnya puisi-puisinya pun menggambarkan kecintaannya akan kehidupan duniawi. Tapi puisi ini ditemukan di bawah tempat tidurnya ketika ia meninggal:

Tuhanku, bila berat dosaku terus bertambah, maka kutahu bahwa pintu maafMU lebih besar
Bila hanya orang-orang suci memanggil namaMU, maka siapakah yang dapat dipanggil oleh pendosa?
Aku memanggil namaMU, Tuhanku, seperti yang telah Engkau perintahkan, dengan serendah-rendahnya diri.
Dan bila Engkau tepiskan tanganku, siapakah lagi yang mau mengasihani?” (pen--diartikan secara bebas dari versi bahasa Inggris Tawba Abu Nuwas)

Bibirku gemetar dan tak dapat aku tahan air mataku. Ah, Abu Nuwas...siapa pun dia, apa pun yang pernah ia kerjakan, ia seperti menyuarakan hatiku. Sungguh, semoga, semoga...seperti pengharapanku akan maafNYA untuk diriku, ia menemukan pemaafan itu untuk dirinya.

What If?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang