What If Bab 1

45.1K 858 21
                                    

Sore itu aku datang ke apartemenmu, dengan wajah sedikit pucat, ditemani senyuman tipis yang sedih membias di mukaku.  “Hai, Jay,” kataku ketika engkau membuka pintu.  Pick-up truck mu terlihat penuh oleh barang-barang, sepertinya engkau sedang bersiap-siap pergi ke tempat lain. Kuremas tanganku sendiri yang terasa dingin dan tipis.  Di dalam genggamanku ada kartu-kartu indeks yang telah kusiapkan sebelumnya.  Kau tersenyum tanpa beban dan memeluk tubuh kakuku. 

“Udah lama gak keliatan, Tia?  Kemana aja kamu?” 

Aku memandangmu dan mencoba menghafal setiap lekukan di wajahmu.  “Y’know...things...” jawabku tak jelas. 

“Kamu kelihatan berantakan, Tia.”  Selalu, kejujuranmu yang keterlaluan.  Brutal honesty, janji kita dulu. 

“Makasih, Jay. Kamu juga,” jawabku sarkastik.

“Well, you know...emang bener kan?  What’s going on?” sambil engkau mengelus rambutku.  Seperti segala keseluruhanku, adalah hakmu untuk disentuh.  Aku benci itu. 

“Aku harus berbicara denganmu.  Halnya amat penting.  Maaf aku gak jelas tadi pas bicara di telepon.” 

“Oke, duduk dulu?  Kamu mau minum apa?” 

“Nggak Jay, aku gak mau  minum apa-apa.  Makasih.  Tapi kayaknya kamu perlu duduk deh untuk hal ini.” 

“Oooh...seserius itukah?” tanyamu dengan senyum nakal.  “Apa sih yang serahasia ini, Tia?”  Kutatap muka putihmu, hitamnya rambutmu, dan hidungmu yang tak terlalu mancung, untuk seorang kaukasian.  Kuremas lagi tanganku yang berkulit jauh lebih gelap darimu.  Engkau duduk menyeberangiku.  Kedua lutut kita bersentuhan, dan aku membenarkan dudukku agak menjauh darimu. 

“Kok kamu jadi benci aku gitu sih?” tanyamu setengah bercanda. 

Aku luruskan kartu indeks yang telah lecek di genggamanku dan mulai membaca. 

“Untuk apa lagi kartu indeks itu, Tia?” katamu lembut menggenggam kedua tanganku di kedua tanganmu yang terasa lembut untuk seorang laki-laki.  Sepertinya hatiku terasa berdarah.

“Aku harus membaca dari sini agar aku tetap fokus, Jay. Aku harus bisa menceritakan semuanya secara berurutan sebelum aku mulai menangis dan membatalkan semuanya.  Please, let me do this, okay?”

“Okay, aku mendengarkan,” dan pandanganmu mulai terlihat serius. 

“Jay, aku hamil” aku baca dari urutan kartu indeksku. “Dan sebelum kamu nanya aku tahu dari mana, aku udah ambil self-test dan udah ke dokter juga sebelum aku ketemu kamu. Semua hasilnya positif. Dan sebelum kamu mulai nuduh aku cewek murahan yang sering tidur ama laki-laki lain, aku belum pernah ngelakuinnya ama orang lain.  Kamu yang pertama, dan kamu tau itu.  Kamu yang pertama, dan yang terakhir.”  Ketika kalimatku berakhir, mataku telah basah dan pundakku telah berguncang.  Aku telah menangis, tak bersuara.  Engkau duduk terpaku.

What If?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang