Daddy - 7

112K 2.1K 22
                                    

Hari-hariku semakin sepi saja. Daddy sedang mengurus bisnis keluarga. Setiap bulan pasti begini, aku ditinggalkan di rumah dengan Om David saja dan dijanjikan segera pulang setelah seminggu lamanya.

Aku begitu hampa.

Di kelas yang isinya penghuni kebun binatang, tak akan pernah bisa aku terlelap di jam Matematika yang begitu membosankan. Bukan karena aku tak mengerti apa yang dijelaskan di depan, namun, aku hanya malas dengan guru pengajarnya yang tak dapat menghidupkan suasana kelas. Alhasil, deret bangku pertengahan ke belakang --termasuk aku mengubah kelas menjadi pasar hewan.

Aku bermain ponsel tanpa minat, sesekali menengok guru di depan sana yang tetap menerangkan dengan sabar. Hanya murid barisan depan saja yang kulihat serius dan masih semangat dengan guru membosankan ini.

Anak laki-laki yang mayoritas bertinggal di bangku belakang sibuk dengan game mereka ataupun tidur. Bahkan ada yang ikut merumpi bersama kami para lady. Namanya Josua, tapi kami akrab memanggilnya Jessie. Cabai-cabaian kelas kami.

Di bangku nomor tiga dari belakang ini aku bersama kerumunan anak cewek kelasku ditambah Jessie sedang asyik rumpi-rumpi cantiks. Kami berkumpul menjadi lingkaran besar dan menggosipkan apapun yang dapat dibicarakan. Mulai dari adik kelas hingga kehidupan artis-artis tak luput dari gosipan kami. Lisa masih setia mengepang rambutku dan kemudian mengikatnya, menyisirnya lagi seperti semula, lalu kembali memainkannya sambil terus berumpi ria. Kurang kerjaan memang, tapi di saat bosan menerpa, inilah yang merubah situasi dan kondisi kelas.

"SEMUANYA!" kami tersentak, "DERET KE DUA DARI DEPAN KE BELAKANG KELUAR DARI KELAS SAYA!" Aku terbelalak, namun semuanya malah bersorak, seakan menemukan harta karun berisi emas dan perak. Lisa bahkan bertos ria dengan gerombolan anak cewek di depanku ini. Aku pun hanya ikut-ikutan senang. Kami yang merasa tergusur dengan damai mengantre giliran keluar dari kelas yang membosankan tersebut.

"Akhirnya gue ngerasain yang namanya surga dunia ...." Lisa bermonolog di depanku sambil berkomat-kamit entah apa yang dibacanya, "bahagia itu memang sederhana."

Yeah, bahagia memang sederhana, tapi bagaimana jika kebahagiaan itu tak akan bertahan lama? Sepertinya aku tadi melihat guru BK berkeliling ....

"Woy ada guru! Ada guru! Ngungsi! Ngungsi!" Teriak cewek di depanku dengan panik, semuanya menoleh dan menyiapkan diri untuk kabur.

Hei aku belum pernah berurusan dengan hal seperti ini!

Kuingin berkata seperti itu namun apalah dayaku. "Kantin woy kantin!" Sahut anak cowok mulai berlari dan diiringi kami semua yang nampak setuju dan panik.

Dengan berlari kecil dan sedikit menunduk, kami menuju kantin dengan memutari lorong kelas XI agar tidak ketahuan guru tersebut. Dengan semua yang sudah berkelompok, secara alami ketika ada guru lain yang terlihat maka mereka akan mengamankan diri dengan bersembunyi di kubu lain atau tembok untuk menutupi dirinya. Aku dan Lisa yang berada di tengah gerombolan laki-laki yang kurasa sudah ahli dalam meloloskan diri seperti ini hanya mengekor tanpa banyak protes.

Setelah satu persatu gerombolan murid yang terbuang berkumpul di kantin, kami mulai memesan minuman dan makanan di warung-warung langganan masing-masing.

"Hah ... hah ... gila! Guru yang keliaran banyak banget dah perasaan. Hah ... jantung gue diskoan terus kalau gini mah! Hah ... hah ...." Di sampingku Lisa menaruh kepalanya di meja kantin seperti yang kulakukan. Pelarian kami ini, sekaligus yang pertama untukku memang tidak berjalan mulus seperti pahaku. Namun, aku senang. Nakal sedikit mungkin dapat membuat sisa waktuku di kelas XII ini menjadi berkesan.

Kesetiakawanan.

Setidaknya dampak positif yang dapat dicontoh dari pengungsian ini adalah: sebesar apa pun masalahnya, tetaplah bersama.

Daddy (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang