<2>{Laa}Menolak

16 1 0
                                    

Andai saja aku menolak,

Semua ini tak akan terjadi.

~~~

Hari menginjak petang, langit mulai bermetamorfosa berubah warna dipenuhi jingga. Sungguh, lukisan Allah sangat menakjubkan. Selama tiga jam ke belakang setelah pulang sekolah aku mengahabiskan waktuku di rumah Zaima, sesuai rencana kami mengerjakan tugas fisika dan Zaima menambah hapalannya.

"Makasih banyak ya Zai." Ucapku saat kami berada di halaman rumah Zaima karena aku akan pamit pulang.

"Iya, tenang aja. Oh iya, tadi Mama lagi di toilet, aku sudah sampaikan salam kamu kok, sekalian bilang kamu mau pamit."

"Oh gitu, oke deh."

"Eh, kamu pulangnya diantar Pak Wisnu ya, soalnya langit udah mulai gelap." Zaima memberi tawaran padaku untuk pulang dengan supir pribadinya.

"Gak usah, aku sudah banyak merepotkan kamu." Cegahku.

"Gak bisa gitu dong, kan aku yang minta kamu mampir kesini, jadi aku harus memastikan kamu pulang dengan selamat." Zaima berusaha meyakinkanku dengan keinginannya.

"Enggak apa-apa kok, lagian masih banyak angkot lewat. Udah ya, aku pulang dulu. Bye!" Aku segera beranjak, takut Zaima semakin keukeuh dengan permintaannya. Ya, aku malulah kalau harus diantar sama supirnya segala, lagian masih bisa sendiri.

"Nahla! Langit sudah mau hujan!" Huh, ternyata aku belum hilang dari pandangan Zaima.

"Aku janji! Bakal sampe rumah sebelum hujan! Jangan khawatir!" Aku ikut berteriak pada Zaima, sambil melambaikan tangan dan berlari menuju Terminal angkutan umum.

"Ya sudah! Hati-hati! Hubungi aku kalau sudah sampai rumah!" Ya ampun! Zaima tetap saja berteriak, padahal aku sudah jauh dari pandangannya, entah apa yang akan orang-orang pikirkan mengenai ulah Zaima.

Akhirnya aku hanya mengacungkan jempol, itu pun masa bodoh Zaima tahu atau tidak.

Aku sampai di Terminal angkutan umum, betapa terkejutnya aku saat melihat suasana disana. Suasananya sepi sekali. Biasanya, terminal ini penuh dengan suara para konduktor angkot.

Ya Allah! Bagaimana ini? Padahal waktu sudah menjelang maghrib, tapi aku masih keluyuran di luar rumah, dan hal yang paling parah, aku belum izin ke Ibu akan pulang terlambat karena mengerjakan tugas di rumah Zaima.

Aduh, betapa teledornya aku. Rintik hujan mulai turun, aku semakin panik.

Ya Allah Ya Rabb. Tolong hamba.

Aku terus berdzikir memanjatkan do'a agar masih ada angkutan umum atau taxi yang lewat. Aku jadi merutuki diriku sendiri, kenapa tadi aku menolak kebaikan Zaima. Beginikan jadinya?

Hujan semakin deras, tapi aku masih diam di tempat bingung melakukan apa. Akhirnya aku berlari kecil mencari tempat berteduh. Aku bahkan tak berani mengecek ponsel, karena sudah dipastikan ponselku dipenuhi oleh miscall dari Ayah, Ibu dan Kakak-kakakku. Aku pasti diceramahi mereka berempat. Ah, mungkin tidak dengan Kak Damar.

Aku menginjakkan kaki di halaman super market terdekat, tubuhku mulai menggigil. Aku tambah bingung harus bagaimana agar aku bisa pulang. Kalau hujan deras seperti ini pasti jarang sekali angkutan umum lewat. Saat ini, aku hanya percaya pada Allah saja, aku yakin dia pasti memberi pertolongan. Tapi, lewat siapa?

Kebingunganku terhenti seketika saat seseorang memanggil.

"Nahla?"

Aku menoleh. Sedikit terkejut dan tambah bingung, karena seseorang yang selalu membuat jantungku berdetak tak wajar kini ada di depanku. Ya, dia orang yang tadi siang aku perkirakan melempar senyum pada Zaima. Tapi, kenapa dia ada disini?

La Yas NahlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang