Prolog

508 78 16
                                    

"Bapak benar-benar tidak habis pikir dengan tingkah kalian."

Suasana di dalam ruang kepala sekolah pagi itu, entah mengapa terasa sangat panas. Empat orang siswa dengan wajah babak belur, duduk berjejer di hadapan Pak Dongho selaku kepala sekolah.

"Kalian tahu kan kalau sekolah kita ini memiliki reputasi yang bagus di mata orang-orang? Menjadi sekolah percontohan SEJAKARTA!"

Pak Dongho menatap marah keempat muridnya, lalu berdiri dari tempat duduk dan berjalan memutari mereka dengan langkah pelan sambil bersedekap. 

"Tahu slogan sekolah kita?"

Keempat siswa itu menelan ludah, satu yang berada di tengah sudah menggigit bibirnya yang terdapat luka di sudut.

"SEKOLAH TERKEMUKA DENGAN AKHLAK MULIA!"

Semuanya terdiam, menundukkan kepala ketika kepala sekolah meninggikan volume suaranya. Tidak ada yang berani memandang wajah lelaki dengan jabatan tertinggi di hadapan mereka. Bahkan Samuel yang paling slengean di antara yang lain langsung ciut.

"Samuel Maulana Zhafran," Jarinya menunjuk seorang yang duduk di sebelah kanan, paling pinggir.

Pak Dongho menatap tajam anak murid di hadapannya, sebelum  telunjuknya beralih ke pemuda di samping Samuel.

"Azril Haknyeon Adiwangsa," 

"Guanlin Agam Pranadipa," 

"Woojin Alfariq,"

Ia menunjuk mereka satu per satu secara bergantian, "Apa kalian tahu kemarin orang tua kalian datang menghadap saya sambil menangis dan memohon-mohon agar kalian tidak dikeluarkan?"

Terjadi jeda yang cukup lama, dengan helaan napas berat yang keluar dari mulut Pak kepala sekolah, "Saya paham kalian murid berprestasi dan sudah memberikan banyak kontribusi kepada sekolah."

"Juara umum lomba Tari Kreasi, Juara pertama lomba Debat Bahasa Inggris tingkat Kota Madya, dan Juara pertama lomba Karya Ilmiah Remaja tingkat Nasional."

"Nak, perjalanan kalian masih jauh. Akan sangat disayangkan jika Prestasi yang telah dicapai harus tertutupi oleh tingkah bodoh kalian."


BRAK


Tumpukan kertas dilempar ke meja di hadapan mereka, membuat keempatnya kaget bukan main karena suara berisik yang ditimbulkan.

"Tawuran, nongkrong, malak adik kelas, merokok. KALIAN PIKIR BAPAK TIDAK TAHU?"

Gurat emosi memenuhi wajah Pak Dongho. Ia tahu, bahwa tindakannya saat ini memang sedang tidak bijak. Namun jika dia terus-terusan bersikap lunak kepada empat murid di hadapannya, mereka tidak akan jera.

"Bapak berikan kalian kesempatan,"


Tok Tok


Kalimat Pak Dongho terpotong, ketika tiba-tiba saja terdengar suara ketukan pintu. Dan sesaat kemudian, wajah Ahmad Jinyoung Rajendra muncul dari balik benda kayu itu.

"Bapak mencari saya?"

Pak Dongho menghela napas, lalu mengangguk. "Masuk, Jendra."

Jinyoung masuk. Ia melirik sekilas empat murid yang sedang memandanginya, sebelum akhirnya berdiri di samping Samuel karena tidak ada bangku yang tersisa.

"Bapak berikan kalian kesempatan," Pak Dongho mengulangi kalimatnya, matanya menatap tajam satu per satu murid yang sedang duduk.

"Jadi anggota rohis sampai kalian lulus, dan poin kalian akan bapak kurangi."

Kompak, lima orang siswa yang berada di hadapan Pak Dongho melotot. Bahkan Agam dan Azril sudah menganga gak percaya.

"Bapak sudah pikirkan baik-baik, dan solusi paling tepat untuk merubah Akhlak kalian adalah dengan hukuman ini." 

Pandangan Pak Dongho beralih ke arah Jinyoung, lalu sebuah senyum terukir di wajahnya, "Jendra, Bapak percaya kamu bisa membimbing mereka."

Kelima siswa itu saling memandang, yang paling tua di antara mereka hendak protes, namun ucapan pak Kepala Sekolah setelah itu membuatnya bungkam.

"Tidak ada yang protes. Lakukan, atau kalian angkat kaki dari sekolah ini."




.



.



.



.



.


.



HOLAAA! Maafin aku yang dengan tidak tahu dirinya ngepublish cerita baru padahal yang lalu lalu blm selesai. Entah kenapa aku lagi ada inspirasi buat nulis begini hehe


is anyone interested? yay or nay?

Dua yang Berbeda ; PD101 S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang