PROLOG

846 71 4
                                    

Aku seperti patung; raga ada, namun jiwa tidak.

- Marcus Jo


Kesendirian. Kesunyian. Tak ada yang lebih indah dibandingkan dua kata itu dan kata lain yang memiliki makna yang serupa. Aku sangat menyukai hidup di tengah kegelapan, di mana orang tak akan pernah melihatku, namun aku tetap mampu melihat mereka dengan segala kekuatan yang kupunya.

Dan ketika seseorang mendatangiku, meminta pertolonganku, di saat itu pula, orang tersebut harus merelakan hidupnya untuk diserahkan kepadaku.

Aku menyukai kematian. Aku sangat suka ketika sebuah keluarga menangis tersedu-sedu karena melihat salah satu anggotanya mati. Aku menyukai keputus asaan mereka. Dengan begitu, mereka akan merasa kehilangan. Merasakan kesendirian, sama seperti apa yang kurasakan.

Aku tak memiliki keluarga. Lebih tepatnya, aku lupa dengan keluargaku sendiri. Aku bukanlah tipe anak kurang ajar yang akan melupakan orang tuanya. Bukan pula anak durhaka yang membangkang terhadap kedua orang tuanya. Aku lupa keluargaku dengan sendirinya. Ketika aku terkena firus misterius hasil malpraktek dari suatu penelitian illegal, yang tak pernah ditemukan obatnya itu, aku berubah menjadi sosok misterius yang sangat kuat. Tak hanya aku yang menjadi korbannya, melainkan berpuluh-puluh orang bahkan beratus orang. Hingga kami membentuk suatu kaum sendiri. Gedung opera maupun teater adalah tempat tinggal kesukaan kami. Sebenarnya, ruangan asli kami tak terlihat, tersembunyi di antara dinding. Namun, jika kami merasa bosan, kami akan keluar dari ruangan tak kasat mata kami, menunggu di atap, di lorong gelap, sampai anak Adam dan Hawa menghampiri kami, meminta pertolongan dari kami.

Jika kami sudah merasa benar-benar bosan dan tenaga kami mulai habis, kami akan menyamar sebagai manusia dan pergi ke bar. Dengan segala pesona yang kami miliki, kaum hawa akan menyerahkan tubuh mereka kepada kami dengan mudahnya, secara sukarela. Salah satu kekuatan yang paling kusukai adalah kita mampu menghapus ingatan seseorang.

Malam itu, aku sedang bersantai di atap. Tiduran di balok kayu dengan santainya, tak perlu takut untuk jatuh karena aku memiliki keseimbangan badan yang bagus. Lengan kananku kujadikan bantal. Menikmati suasana sunyi yang menenangkan. Namun, sunyi itu tak berlangsung lama tatkala indra pendengaranku yang setajam singa menangkap suara derap langkah kaki seseorang. Aku perlu menunggu sekitar satu atau dua menit karena keberadaan orang itu masih jauh dariku.

Ya, aku bisa mendengar suara yang cukup jauh dariku. Bahkan, aku bisa mendengarkan suara nyanyi manusia-manusia yang sedang melakukan pertunjukkan di bawah sana. Di sebuah tempat yang terletak di sayap kanan gedung ini. Suara itu masuk begitu saja tanpa diminta sama sekali. Sangat menyenangkan karena aku bisa mengatur kemampuanku yang satu ini. Di saat aku ingin sendiri, aku bisa menulikan pendengaranku dari suara-suara bising itu.

"Apa yang kau inginkan?" tanyaku begitu orang itu menginjakkan kedua kakinya di wilayahku. Orang itu terkesiap, dia berjalan mendekat menuju sinar rembulan yang menembus jendela atap yang telah lapuk.

Seorang pria paruh baya yang masih terbalut oleh kostum panggungnya. Dia mengenakan setelan ala kerajaan Eropa jaman dahulu dengan make-up yang masih menghiasi wajahnya. "Charlie Starling; aktor kebanggaan Song Hall. Perkara apa yang membuatmu berkenan mengunjungiku?" Aku bertanya sepongah mungkin. Ini kali pertama, aktor seterkenal Charlie mengunjungiku. "Apakah kau menginginkanku untuk membunuh seseorang? Membunuh rivalmu, mungkin? Apakah kau ingin membalaskan dendammu?" Aku memanfaatkan kehadirannya itu sebagai suatu bahan hinaan. Tak kusangka, aktor yang terkenal dengan kerendahan hatinya di mata publik, kini mengunjungi iblis untuk meminta bantuan.

the hidden secret [PRIVATED🔐]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang