4

288 48 4
                                    

Jika orang mengatakan kau tidak bisa berharap pada 99%, maka berharaplah kau pada 1% nya - Marcus Jo

Mata setajam elang kugunakan untuk mengamati tiap gerakan yang dilakukan oleh Hina. Tak ada bocah manis bernam Jay yang biasanya setia menemaninya. Hanya dirinya yang mengisi ruangan ini.

Tangannya yang terlatih memainkan boneka-bonekanya. Bibir mungilnya bergerak-gerak, berbicara dengan nada yang beda-beda sesuai dengan boneka-boneka yang ia mainkan. Meskipun begitu, kejenuhan tergambar nyata di raut wajahnya.

Kepalanya menunduk, helaan napas kasar ia hembuskan. "Bosaaaaan," gerutunya dengan bibirnya yang mengerucut lucu. "Tidak ada Jay tidak seru," tambahnya disusul dengan sebuah erangan sarat akan bosan.

Tanpa sadar, aku mengulum senyum melihat tingkah menggemaskannya itu. Aku tahu dia akan merasakan bosan yang membunuh karena mulut basahnya itu tidak akan bekerja dengan baik. Tentu saja karena tidak ada orang yang bisa dia ajak bicara seperti biasanya.

Aku terus mendoktrin diri sendiri untuk tetap menjaga egoku dalam posisi yang tinggi. Tak mau menghampiri anak itu karena harga diriku, bukan, rasa pongah yang terlalu berlebihan dalam diriku. Namun, semua aksi menulikan telinga, membutakan mata itu berujung dengan sebuah kesia-siaan. Dinding egoku yang sudah kubangun sebesar dan sekuat mungkin runtuh seketika karena rasa ibaku.

"Ke mana Jay-mu yang menggemaskan itu?" tanyaku dengan nada yang bersahabat. Ya, akhirnya aku menuruti rasa ibaku dan berujung dengan menghampiri gadis kecil itu. Kedua mata Hina membola, membuat kedua tanganku terasa gatal karena keinginan yang amat besar untuk mencubit pipi itu.

"Dia sedang piknik bersama teman-temannya," jawabnya memberi tahu. Kaki panjangku melangkah, mendekati dirinya yang sedang terduduk di atas kasur dengan boneka-bonekanya yang berada di sekelilingnya. Gadis kecil itu mengenakan baju terusan selutut yang berwarna merah muda dengan corak bunga.

Bokongku mendarat di pinggir ranjang. "Mau ikut denganku?" ajakku disertai dengan sebuah lengkungan di bibir. Oh, oke. Aku sudah sepenuhnya gila sekarang.

"Ke mana?" tanyanya bersemangat. Binar kembali menghiasi kedua matanya. Melihatku yang mengajaknya ke luar memberikan sebuah harapan baru baginya untuk segera terbebas dari rasa bosannya.

Kedua bahuku terangkat ringan. "Entah. Yang pasti, aku akan mengajakmu bersenang-senang," balasku santai, namun membuai.

Kepalanya mengangguk cepat, keras, menunjukkan semangatnya yang menggebu-gebu. Tangan kananku terjulur ke arahnya. Tanpa berpikir panjang, dirinya langsung menyambut uluran tanganku. Aku tersenyum untuk kali sekian yang tak dapat kuhitung hari ini. "Pejamkan matamu!" perintahku. Kelopak matanya segera menutup.

Aku melakukan teleportasi. Membawa tubuhku dan tubuhnya berpindah tempat ke sebuah ruangan luas yang gelap, namun beberapa suara-suara indah bak burung saling bersahut-sahutan.

Mataku mengamatinya. Kelopak mata Hina yang menutup bak kuncup bunga musim semi itu terbuka secara perlahan. Reaksi yang pertama kali ia keluarkan adalah ekspresi kagum. "Kita berpindah tempat, Paman?" tanyanya memastikan dengan netra indahnya yang tak henti-hentinya memandangi apa yang sedang berada di depannya, memastikan bahwa pemikirannya tidak salah.

"Tentu saja." Aku menjawab dengan sebuah senyum yang terkulum di bibir. Aku menantikan reaksinya yang lain. Berharap cemas dia tidak akan kecewa karena aku mengajaknya untuk menonton opera. "Kau...kecewa?" tanyaku hati-hati, menyingkirkan segala pemikiran negatif yang singgah di serebrumku.

Pandangannya beralih kepadaku. Dia menatapku aneh. "Tentu saja tidak!" Satu detik kemudian, fokusnya kembali beralih ke panggung yang berisikan para pelakon sedang menjalankan perannya masing-masing. "Menonton pertunjukan tanpa membayar, sudah lama sekali aku menginginkan hal ini," ucapnya dengan kebahagiaan yang menggebu-gebu.

the hidden secret [PRIVATED🔐]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang