June 7, 2003

587 77 2
                                    

Anyang, June 7, 2003

Suara hingar bingar menggema di sepanjang jalan kecil itu. Lampu berwarna-warni menerangi di tepi jalan. Tak banyak orang yang bekeliaran di jalan itu. Mereka lebih memilih berada di dalam rumah-rumah yang ada di sekitarnya. Beberapa laki-laki dan wanita– yang berpakaian minim sekali – bagaimanapun lebih menyukai duduk di pelataran depan rumah sembari bermain kartu. Suara tawa yang menggelegar dari mulut pria berperut buncit dengan setelan jas mahal menambah semarak suasana.

Bau alkohol dan nikotin mengudara di lorong sempit itu. Terasa sesak memang, namun membuat siapapun yang keluar dari lorong itu merasakan kebahagiaan – meski kantung mereka harus terkuras hanya demi kepuasan sesaat.

Walaupun dentuman musik, suara tawa, bahkan suara desahan yang mengisi tempat itu benar-benar bising, hal itu sama sekali tidak mengganggu seorang bocah kecil yang tengah mengerjakan tugas sekolahnya. Ia dengan tekun mengerjakan soal-soal, seakan ia tuli dan tidak mendengar segala umpatan kenikmatan yang terlontar dari kamar ibunya.

"Sudah selesai." Ucap nya bahagia. Ia merentangkan kedua tangannya, lalu dengan cepat membereskan buku-buku dan alat tulisnya sebelum ibunya keluar dan memarahinya.

Kim Mingyu kecil menatap pintu kamar ibunya yang tertutup rapat dengan pandangan nanar. Ia memutuskan untuk keluar dari rumah kecil itu – sudah tidak tahan mendengarkan apa yang dilakukan ibunya di dalam sana, untuk ke sekian kalinya.

Mingyu mendudukkan dirinya di bangku depan rumahnya. Memandang sekeliling dan lagi-lagi ia mendapakan pemandangan yang tidak harusnya sang bocah terima di umurnya yang baru menginjak angka enam saat itu. Ia menghembuskan nafasnya dan memalingkan wajahnya ke arah langit. Setidaknya ia bisa menikmati keindahan langit malam dari sini. Senyuman terulas di wajahnya kala ia menatap bintang-bintang yang bertaburan dan bulan sabit yang menerangi langit malam yang kelam.

"Permisi." Suara itu mengalihkan pandangan sang bocah laki-laki dari hamparan hitam di atas sana.

"Apa yang kau lakukan di sini?!" Balas Mingyu terkejut dengan kedatangan seorang bocah kecil – mungkin seumuran dengannya– berada di tempat yang tidak seharusnya di datangi anak kecil.

"Aku mencari ayahku. Apa kau melihatnya?" tanya anak laki-laki itu lugu.

"Kau tidak harusnya ada di sini. Ikutlah denganku."

"Tapi ayahku—"

"Nanti saja. Kau tidak boleh ada di sini!" ucap Mingyu sembari menarik tangan sang bocah.

Tidak jauh.

Mingyu menarik sang pria kecil untuk keluar dari lorong dan pergi ke atap salah satu bangunan kosong di sana.

"Kenapa kau mengajakku ke sini? Aku ingin bertemu ayahku!" teriak pria kecil itu.

"Kau yakin ayahmu masuk ke sana?" balas Mingyu. Tangannya menunjuk ke arah lorong di bawah sana.

Bocah itu mengangguk lucu.

"Aku sudah menunggu ayah lebih dari dua jam. Aku lelah. Aku ingin pulang."

Mingyu membelalakkan matanya. "Ayahmu menyuruhmu menunggu?"

Lagi-lagi sang bocah hanya menganggukkan kepalanya.

"Namaku Kim Mingyu. Siapa namamu?" tanya Mingyu.

"Wonwoo. Jeon Wonwoo."

Wonwoo duduk di tepian atap dengan mata yang tak lepas dari lorong di bawah kakinya. Mingyu di sisi lain menatap Wonwoo dengan pandangan yang lembut dan penuh rasa ingin tahu. Sebelumnya, ia tidak pernah menyangka seorang ayah bisa tega meninggalkan putranya di tempat seperti ini. Mingyu mungkin masih kecil dan tidak bisa menjawab pertanyaan nya yang berputar di kepalanya sendiri, namun satu yang ia tahu, hal itu tidak pantas untuk dilakukan, tidak di tempat ini.

"Itu ayah!" teriakan lelaki mungil itu memecah lamunan Mingyu. Mingyu menoleh mengikuti arah yang di tunjuk Wonwoo dan sedetik kemudian matanya membulat.

Laki-laki itu sedang bersama ibunya.  

no matter. - Meanie | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang