Bab 11

1.1K 160 38
                                    

Sepi dan menenangkan. Kenyamanan begitu terasa hingga membuai. Semilir angin dengan halus menerpa kulit, menggeseknya dengan lembut. Meski gelap, ini adalah salah satu kegelapan yang menentramkan. Kegelapan yang justru terasa asih.

Kehangatan. Kesunyian.

Semesta bicara tanpa bersuara. Semesta ia kadang buta aksara. Sepi itu indah, percayalah. Membisu itu anugerah.

Hiks...

Cewek itu membenamkan tubuhnya ke kasur. Berharap kasur ini bisa menelannya bulat-bulat. Berharap kasur ini bisa membuatnya menghilang selamanya. Berharap kasur ini bisa melahirkannya ke dunia lain.

Dunia yang lebih bermartabat.

Dunia yang lebih indah.

Nirmala tidak bisa menghentikan tangisnya. Justru kamar ini membuatnya terus meluapkan emosi. Hanya kamar ini yang menjadi saksi bisu segala kelemahannya.

Pikirannya masih berlabuh di sekolah, terhenti di waktu pertikaian mereka semua. Sel memorinya terus melahirkan ingatan yang tidak ingin dia lihat. Dadanya terasa sesak, seperti diikat tali tambang dan dihimpit benda besar. Nirmala kesulitan bernapas, sesekali ia mengambil napas panjang, tapi tak mengurangi kepelikannya.

Nirmala tidak ingin bangkit saat ini.

Dia kehilangan harapan.

***

"Kedua siswa yang ada di hadapan saya telah melanggar Janji Siswa nomor lima yang telah mereka ikrarkan selama delapan tahun masa sekolah. Kamu tahu apa bunyinya, Nanda?"

Nanda memutar bola matanya. "Menjadi warga masyarakat DKI Jakarta yang baik dan pemuda Indonesia yang bertanggung jawab," jawabnya ketus.

"Benar. Dan, kamu Nuraga, kamu tahu makna dari janji tersebut?"

"Kita seharusnya memiliki budi pekerti yang luhur dan bersahaja lalu mengamalkannya menjadi sebuah sikap yang santun serta bermartabat dalam bermasyarakat sehingga tidak merusak citra Indonesia."

"Jawaban yang lugas, Nuraga." Bu Erlin sedikit tersenyum walau wajahnya masih menggambarkan kemarahan. "Jadi, sesuai dengan apa yang kalian janjikan setiap hari Senin. Ibu di sini, beserta Ibu dari kalian masing-masing, meminta pertanggungjawaban dari kalian."

"Sebenarnya di sini ada apa, sih, Er?" Arin, ibu Nanda yang merupakan tetangga dari Bu Erlin, bertanya dengan tangan yang bersedekap. "Nanda nggak mungkin salah."

"Kalo Nanda nggak bersalah, dia nggak mungkin duduk bersanding dengan temannya dalam kondisi sama-sama babak belur, Ibu Arin."

"Terus gimana?" Arin berseru kesal. "Saya nggak punya waktu buat dengerin omong kosong. Jelas, Nanda nggak bersalah. Titik."

"Nuraga yang nonjok saya duluan, Bu," ujar Nanda dengan melas. Hatinya menyeringai. Dia tahu Ibunya akan seperti ini.

"Tuh 'kan?!" Arin melotot. Ia memandang anak laki-laki beserta ibunya di sebelah. "Kamu ngapain anak saya, hah?! Kamu harus ganti rugi seluruh pengobatannya!"

"Nggak ada asap kalo nggak ada api, Ibu Arin," kata Bu Erlin menenangkan.

"Ya tetep aja dong, Er! Memangnya itu menghalalkan adegan menonjok anak saya?!"

"Lantas, apa mencemooh manusia juga bisa disebut halal, Ibu Arin?"

Arin menoleh ke arah Nuraga yang kini menatapnya lurus-lurus.

"Apa menindas orang lain, berkata 'mati' ke orang lain yang sudah nggak punya harapan hidup dengan ringannya, bersikap kasar dan tidak menyenangkan hingga menyakiti perasaan orang lain itu bisa disebut halal juga?"

Kemarau yang Diguyur HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang