Bab 18

1.4K 188 34
                                    

Niena Romeesa.

Parasnya tak akan terlupa meski kini sudah ditelan tanah. Wajahnya bulat menggemaskan dengan semburat merah jambu di kedua pipi. Matanya bulat besar, persis seperti adik laki-lakinya. Rambutnya panjang sedada dan selalu disematkan jepitan berpita merah di belakang. Rambutnya selalu terurai, sekali duakali diikat kuda di belakang. Tubuhnya kecil, tingginya tak sampai 160 cm. Lesung pipinya dalam saat tertawa dan tersenyum. Dia terlihat amat anggun, selalu berbicara dengan lembut.

Semua orang tak akan pernah lupa seorang perempuan yang menjelma jadi bidadari.

Dan, semua orang tak akan pernah lupa.

Bidadari itu tewas.

Mengenaskan.

Bunuh diri, di toilet sekolah.

Darah bersimbah dimana-mana.

Ada pesan yang ia tulis di dinding.

Saya mati dengan bahagia, kalian hidup dengan menderita.

***

"Kak Niena meninggal karena seorang laki-laki brengsek, Nirmala."

Nirmala masih membisu. Degup jantungnya berdetak tak karuan.

"Cowok itu mirip dengan Nanda, bedanya Agri jauh lebih brengsek lagi." Nuraga mendesah, dadanya kian berat. Menyebut nama Agri sudah berarti membuat kenangan pahitnya terbuka. Sakit hatinya melebar. "Agri awalnya juga suka bercanda, tapi lambat laun jadi keterlaluan. Beberapa kali dia datang ke rumah, saya kira itu pacar Kak Niena. Tapi, tiap dia ke rumah, Kak Niena selalu menampilkan raut tertekan. Beberapa kali ia meminta saya untuk mengusir Agri dengan berbagai alasan. Tiap kali saya usir, Agri justru tertawa cekikikan. Mengerikan, Nirmala. Sampai detik ini saya bisa merasakan tawanya."

Nuraga menelan salivanya. Ia menyentuh dadanya yang sakit.

"Ka-kamu nggak perlu ngelan⸺"

"Suatu hari saya datang ke sekolah Kak Niena." Nuraga memotong ucapan Nirmala, ia tetap melanjutkan. Tatapannya masih berlabuh pada entah apa di depannya. Otaknya memutarkan memori pahit yang sudah berdebu. Memori itu diletakkan di ujung sana, tertimbun dengan kenangan lain.

"Saya tunggu di tempat biasa, Kak Niena tidak kunjung datang. Saya khawatir, Kakak tidak pernah telat bahkan semenit. Sedetik pun tidak. Saya tanyakan ke satpam, beliau bilang belum melihat Kakak keluar. Saya semakin cemas, Nirmala. Saya bergegas ke kelasnya, di dalam sana hanya ada tiga teman Kakak. Satu di antaranya saya kenali, saya panggil dan tanyakan. Wajahnya pias, Nirmala!"

Nuraga tersengal akibat letupan emosinya sendiri. "Kakak itu bertanya ke yang lain, satu orang bilang tak tau, satu lainnya ... dia membisu. Dia tau, Nirmala. Namun, dia takut. Saya paksa laki-laki itu, saya nyaris menghajar dia meski saya nggak pernah memukul orang. Akhirnya dia mengaku dengan jaminan identitas dia nggak akan dibongkar. Saya sanggupi. Dan, kamu tau Kak Niena ada di mana, Nirmala?"

Nirmala menggeleng pelan. Mata Nuraga mengirisnya begitu tipis dan perlahan.

"Di bawa ke warung belakang, Nirmala," ujar Nuraga dengan pilu. Matanya berlinang. "Saya lari ke warung belakang, keadaannya ramai tapi saya nggak lihat sosok Kak Niena, tapi ... saya lihat sepatunya. Saya memaksa masuk. Satu temen Kakak mengekori saya, satu orang lagi meminta bantuan satpam sekolah. Saya dihadang banyak orang, saya dikeroyok masal, bahkan teman perempuan Kakak pun juga kena getahnya. Saya baru bisa selamat saat warga sekitar dan satpam datang membantu, mereka nggak berkutik."

Cowok itu menarik napasnya sesaat. Deru napasnya memburu sejak tadi. Disekanya air mata yang muncul di pelupuk mata. Ia memejam untuk sejenak. "Saya menerobos masuk, Nirmala. Warung itu bersatu dengan rumah. Sang pemilik kebetulan sedang tidak ada. Warung sejatinya tutup, tapi mereka bisa hadir di sana kapan saja. Saya masuk dan membuka seluruh pintu, hingga pintu terakhir. Suara Kak Niena ada di sana, Nirmala."

Kemarau yang Diguyur HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang