Part 1

47K 519 205
                                    

Burung-burung Robin mematuki serangga di dahan pohon plum, menjatuhkan beberapa tangkai daun di antara rumpun bunga bakung yang melingkar di bawahnya. Salah satu tangkai itu jatuh di atas komik klasik ternama asal Prancis dalam pangkuan seorang gadis yang duduk di bangku panjang. Kampusnya terletak di sebelah kiri, sedang sebelah kanannya perusahaan penerbitan. Dipisahkan oleh taman yang kira-kira sama lebar dengan seperempat panjang lapangan bola, kedua bangunan itu merupakan bagian dari Fox Group yang tersohor.

Beberapa kali gadis itu melengkungkan senyum disertai rona merah di wajah. Ia nampak asik, tak terusik oleh angin musim dingin yang menerbangkan beberapa helai rambutnya. Mungkin karena sangat suka dengan komik di pangkuannya.

Dentuman sepatu seorang wanita bertubuh ramping berambut pirang mengalihkan sejenak perhatian. Gadis itu menatap seksama, seperti berkaca pada sebutir embun. Wanita berambut pirang berhenti tepat di depan pintu ruangan yang menjadi pusat segala aktifitas di perusahaan. Dihuni seorang pria lajang yang pernah menjadi model majalah fashion kala remaja dan menjelma menjadi pengusaha muda tersukses di Eropa ketika berada di pertengahan kepala tiga. Aaric Fox, namanya.

Tetiba salah satu dari dua daun pintu yang menghubungkan ruangan tersebut dari dunia luar serta merta terbuka, membentur dinding hingga bergetar. Gadis di taman terperanjat seperti dibangunkan dari tidurnya pukul empat.

"Bereskan ini! Revisi dalam sepuluh menit!" bentak Aaric seraya membanting tumpukan berkas di hadapan si wanita tadi. Menimbulkan suara gaduh yang menyita perhatian para karyawan yang lalu lalang di sekitarnya. Beberapa di antara mereka berbisik-bisik, beberapa yang lainnya berjalan cepat menjauh dengan bijak.

Aaric Fox berbalik dan hilang ditelan pintu berukir serupa hiasan renda khas gaya gotik yang dulu populer di abad pertengahan. Gadis itu langsung bangkit dengan mengernyit. Ia membantu si wanita mengumpulkan kembali berkas-berkas yang berserakan.

"Tidak perlu repot-repot, Nona. Aku sudah biasa," ucap wanita dengan name-tag bertulis Ashley William di dadanya. Nada bicara yang cepat menunjukkan bahwa ia selalu berlomba dengan waktu.

"Tidak masalah. Daripada aku diam saja menunggu supir menjemput," jawab gadis itu. Kedua bibir ranumnya rekah.

"Sungguh baik hatimu, Miss Mary Rose." Ashley membalas senyum itu sembari mengusap peluh di dahinya.

Mary hanya menanggapinya dengan senyum. Ia bergerak gesit mengumpulkan kertas-kertas itu. Wajahnya gusar setiap kali menemukan lembaran yang kotor. Sepertinya dia pandai berempati pada kesusahan orang lain.

"Aku tadi melakukan kesalahan fatal. Itulah mengapa Tuan Fox membentak. Biasanya tidak seperti itu," sambung Ashley. Ada getaran aneh di tiap akhir kalimatnya.

Mary tertawa menampakkan deretan gigi putihnya. Lalu, "apa katamu, Mrs. William? Setiap hari aku menunggu supir di taman dan setiap hari pula melihat Mr. Fox marah-marah padamu. Katakan itu pada media masa, padaku tidak perlu."

Ashley tersenyum kaku. Seperti ketahuan mencuri sapu. Detik berikutnya tawanya membahana, meski wajahnya masih terlihat tegang.

"Mrs. William, sepertinya kau akan dapat masalah. Lihat ini!" seru Mary seraya meraih selembar kertas yang mengapung di kolam berhias bebatuan andesit.

Angin membuat air kolam terus bergerak hingga ia kesulitan mengambil kertas itu. Ikan-ikan yang kelaparan mengira benda putih tersebut santapan. Makin jauhlah dari jangkauan. Saat gadis itu hendak mengambil ranting kering sebagai perpanjangan tangan, ia terperanjat mendapati Aaric Fox sudah berdiri di belakangnya.

"Pekerjaanku sudah kacau dan kau menambah masalah dengan menjatuhkan laporan penting ke dalam kolam, Nona? Jadi, kau ini pahlawan kesiangan untuk sekretarisku. Begitu?" cerca Aaric membuat gadis itu tergegap.

Dibaca, Dosa!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang