Mobil terus melaju menyusuri jalanan Egham yang cukup lengang. Sesekali Mary melirik Aaric yang masih lekat memandangnya. Tatapannya membangkitkan sisi seorang gadis remaja pada diri Mary. Malu, itulah yang bercokol di dadanya.
"Kau suka bunga, Mary?" tanya Aaric memecah kesunyian.
"Iya. Aku suka warna-warni dan wanginya," jawab Mary seraya menatap pantulan wajahnya sendiri pada kaca mobil di belakang Aaric lalu beralih memandang pemuda itu dan berkata, "di dekat kolam renang di sekitar gazebo aku menanam banyak anggrek, lili, bakung juga mawar."
"Bunga di depanku ini lebih indah dari semua itu," tukas Aaric. Mata birunya berkilau di antara temaram lampu membuat pipi gadis itu merona.
"Apa kau juga suka bunga dalam arti yang sesungguhnya, Mr. Fox?"
"Kenapa bertanya begitu?" Aaric terkejut hingga alis sebelah kirinya terangkat.
"Aku melihat bunga lavender di meja kantormu."
"Oh itu, hadiah dari ibuku. Aku meminta Ashley merawatnya," jawab Aaric dengan tawa kecil. Pertanyaan Mary sebuah kekonyolan baginya. Namun, bagi Mary itu tentang kedalaman perhatian Aaric. Seberapa peduli Aaric pada sekitarnya.
Saat Aaric membenarkan letak dasinya Mary menyadari pakaian mereka berwarna serupa. Chemistry kah? Tentu saja bukan, Alice yang memilihkan gaunnya. Betapa heboh Alice jika tahu ia pergi bersama Aaric malam itu, pria yang selalu jadi bahan gosip yang menarik.
Mereka menyusuri Denman Street kota Westminster, melewati Piccadilly Circus dan berhenti di sebuah hotel megah di dekat Piccadilly Theatre West End. Beberapa pengawal berdiri di pintu utama. Para tamu undangan berjejer di pintu masuk. Seorang petugas memeriksa undangan para tetamu yang berpakaian mewah-mewah. Seperti sebuah pesta. Merasa janggal Mary pun bertanya, "kita akan kemana, Mr. Fox?"
"Ini pesta peresmian hotel baruku. Kau pegang tanganku dan bersikaplah normal," jawab Aaric seraya mengulas senyum dan langsung menggamit lengan Mary yang tengah terkejut. Ini sebuah acara resmi, bukan sekedar makan malam. Seharusnya ia diundang secara terhormat untuk acara ini, bukan sekedar hukuman karena mengotori jas, pikirnya lagi. Belum keluar dari kubangan rasa terkejut mendadak Aaric malah mengecup bibirnya sekilas, meninggalkan rasa panas di sana.
"Tenanglah," ujar Aaric menyadari ketegangan gadis istimewanya.
Ketika melihat dua orang konglomerat itu berjalan beriringan para pengawal yang memakai setelan jas hitam dengan kemeja putih satu ragam langsung memberi hormat. Mereka memang petugas keamanan khusus, bukan anggota kepolisian. Mary merasa seperti berjalan di red carpet pada sebuah premier film dimana ia dan Aaric adalah tokoh utamanya sampai Aaric menemui beberapa kenalannya pun, Mary Jenkinson masih dalam khayalan dikenalkan sebagai wanitanya. Ia terlalu berharap untuk hal itu sehingga cukup kecewa ketika Aaric hanya mengenalkannya sebagai putri keluarga Jenkinson. Entah apa yang direncanakan Aaric untuknya sampai-sampai belum genap satu jam bersama hati Mary sudah dibolak-balik sedemikian rupa.
Di tengah ruangan telah disiapkan panggung setinggi setengah meter. Aaric membawa Mary ke salah satu meja di depan panggung itu. Beberapa orang tengah berbincang di meja lainnya. Aaric menuang wine yang tak dapat ditolak oleh Mary. Mary lalu meneguknya, berharap bisa meredakan gelora di hatinya.
"Kau lihat, Mary," ujar Aaric sembari menunjuk seseorang yang duduk dua meja di seberang mereka.
"Adam Green, penyanyi yang disebut-sebut sebagai plagiat. Ratusan juta orang berbondong membeli albumnya untuk membuktikan sebutan tersebut. Itulah yang membuatnya terkenal. Lalu yang di sampingnya, Ellizabeth Jones. Penulis yang terkenal karena dia adalah anggota dari sebuah forum besar beranggota lima puluh juta orang dari seluruh dunia. Jumlah orang di forum itu saja sudah cukup menjadikannya terkenal. Yang memakai kemeja putih di meja sebelahnya, Daniel Zolotoy. Seorang pencetus teori paling tidak masuk akal. Banyak ilmuwan membuat bantahan akan hal itu yang justru membuatnya semakin terkenal. Kadang aku meragukan kemampuan dan kecerdasan mereka," tambahnya.