"Dani!" Pekik Phin dengan suara keras. Sosoknya dengan tubuh tinggi dan rampingnya terlihat begitu mencolok di pelabuhan. Apalagi wajah Inggris dengan kesan aristroktrat di setiap incinya semakin menambah kesan yang sangat kentara di antara pekerja-pekerja pelabuhan daratan Perancis.
"Dani Dani Dani Dani!" Pekik Phin lagi sembari berjalan dengan langkah-langkah lebar ke arah sang adik yang baru beberapa menit lalu menginjakkan kakinya di sana. Daniel yang baru menyesuaikan dirinya tampak terkejut. Bersiap untuk melarikan diri dari tingkah gila kakak sulungnya dan kalah cepat dibandingkan Phin yang bergerak dengan lincah.
"Astaga! Kau mau kabur?" ujar Phin dengan kekehan. Dia lalu menepuk-nepuk lengan Daniel dan membawanya ke dalam pelukan singkat khas pria. "Kau sudah dewasa!" ujarnya dengan mata memicing. Phin sudah mengulurkan tangannya untuk mengacak kepala Daniel sebelum pria itu beringsut menjauh. Mendengkus kesal dan berdecak terhadap sikap Phin.
Kakaknya memang gila. Bertingkah seolah mereka sudah satu dekade tidak bertemu padahal kenyataannya, mereka hanya baru tiga bulan belakangan ini tidak bertegur sapa secara langsung.
"Hentikan tingkah konyolmu, Phin!" Gerutu Daniel sembari memerintahkan pelayan pribadinya, Fudge, yang mengekor di belakangnya untuk memasukan tas berpergiannya ke dalam kereta di mana ada lambang keluarga Wood di atasnya. Daniel lalu segera masuk ke dalam kereta itu, mengabaikan kakaknya yang tampaknya sedang menyapa pekerja pelabuhan dengan ramah.
"Yeah. Dia adalah adik kecilku," ujarnya dengan bahasa Perancis yang fasih. "Ya. Dia memang sedikit pemarah. Tetapi dia baik," jawab Phin lagi kepada beberapa orang yang menanyakan mengenai pria muda yang terlihat tidak ramah itu.
Daniel mengusap wajahnya kesal. Jika orang lain berada di posisinya, dengan seorang kakak yang gila dan terlalu berlebihan, dia pasti akan sama kesalnya seperti apa yang Daniel rasakan. Orang-orang itu, yang hanya tahu bahwa Phin menyenangkan telah terlalu disesatkan dengan perangai manis Phin. Astaga.
"Hey, kau terlihat lebih kurus," sebelah alis Phin terangkat. Dia menatap Daniel penuh penilaian yang semakin membuat sang adik kesal.
"Ah! Apakah itu karena kau sudah dewasa sekarang?" ujar Phin lagi sembari terkekeh. Dia lalu mengetuk atap kereta yang segera melaju ke kediaman Wood yang ada di Paris.
"Kudengar kau bertemu dengannya," mulai Phineas dengan bersemangat. "Jadi, kau kemari untuk mengejarnya, kan?"
Daniel mengernyit. "Aku hanya berlibur dan bertugas menyeretmu pulang," gerutu Daniel sementara Phin semakin tergelak.
"Kau ternyata masih suka menyembunyikan apa yang terjadi, ya? Orang bijak memang pernah mengatakan bahwa sikap yang sudah lama dimiliki memang sulit diubah. Tetapi kupikir kau akan lebih terbuka apalagi setelah kau bertemu dengan peri hujanmu."
Daniel terdiam. Peri hujan. Dia seperti familiar dengan istilah itu.
"Kalian sudah bertemu di pesta dansa yang Mama dan Bela buatkan, bukan? Dan harus kuakui, peri hujanmu memang sangat cantik."
Daniel menyipit menatap Phin. Rasa lelah akibat perjalanan panjangnya entah bagaimana menguap setelah Phin membahas mengenai peri hujan.
Dan sesungguhnya, Daniel tidak begitu paham mengenai peri hujan karena itu hanyalah ilusi masa belaka. Peri hujan itu tidak nyata. Dia tidak ada.
"Kabar baiknya adalah, sore nanti kau mungkin akan bertemu dengannya. Istriku baru menemuinya tadi pagi dan-" Phin menjeda ucapannya. Wajahnya lalu terlihat mendung. "Aku tidak tahu apakah kau sudah terlambat atau belum. Tetapi apapun yang akan kau lakukan, aku akan selalu mendukungku. Lagi pula, perjuanganmu masih boleh dilakukan sebelum dia telah resmi menjadi milik orang lain, kan?" Phineas menggaruk tengkuknya. Kemudian dia mengangkat wajahnya dan menemukan wajah bingung Daniel yang terlihat bodoh.