My Dad Is My Mom

9 1 0
                                    

Aku Radit, dan ini adalah kisah hidupku. Aku hanyalah anak biasa yang terlahir dari keluarga yang sangat luar biasa.

Keluarga yang menyayangiku dengan sempurna dan aku bahagia di dalamnya. Aku selalu berharap agar semua tetap seperti ini tanpa ada yang berubah. Harapku.

Akan tetapi aku salah, aku terlalu berharap. Semua berubah ketika negara api menyerang.

Tidak, bukan seperti itu. Semua berubah ketika mengalami kecelakaan yang menyebabkan kedua kakiku harus diamputasi karena kedua kakiku terhimpit bagian depan truk.

Kejadian itu bermula saat aku mengendarai motor pulang dari rumahnya teman ibuku yang waktu itu aku di suruh ibu untuk mengantarkan pesanan kue.

Aku kaget bukan kepalang, jarak 2 meter dari arah depanku, terjadi razia oleh polisi, karena memang aku belum memiliki SIM dan KTP alhasil aku melewati jalan tikus menuju rumahku.

Saat di tengah perjalanan, aku melewati tikungan tajam yang jalanannya juga tidak begitu lebar, saat itu aku mengendarai motor dengan kecepatan normal.

Bahkan aku mengendarai motor sembari nyanyi-nyanyi gak jelas, karena memang saat itu jalanan sepi.

Sampai-sampai aku tidak sadar bahwa di belakangku ada truk yang cukup ngebut ugal-ugalan.

Tak lama kemudian aku pun dengan sengaja melirik ke arah spion motor karena terdengar samar-samar suara kendaraan.

Dan setelah ku lirik, terlihat truk itu jaraknya sangat dekat denganku apalagi truk itumelaju dengan kecepatan tinggi, kira-kira enam langkah kaki berjarak denganku.

Aku berusaha menjauh dari truk itu, akan tetapi aku terlambat untuk menghindar kearah lebih pinggir jalan.

JGERRR!!!

Tabrakkan tak terelakkan. Dari situ aku langsung tidak sadar diri dan tak tau lagi kelanjutan kejadiannya.

“Akhirnya Dit kamu sadar juga” ucap ibuku bahagia sembari memegang tanganku erat.

Aku yang saat itu masih sulit untuk berbicara dan juga masih terasa sangat lemas, hanya terdiam diri dan mencoba untuk membuka mataku secara perlahan.

Setelah aku melihat dengan jelasnya, telihat di depan mataku sesosok ayah juga ibuku yang menangis tertunduk yang seakan menyembunyikan tangisan itu di kedua mataku.

“maafin Radit ya ibu.. ayah..” ucapku lirih.
Setelah aku berbicara seperti itu, tangisan ibuku tak dapat dia bendung lagi, ibuku menangis dengan cukup agak kencang, yang waktu itu masih ku rasa genggamannya menggenggam tanganku erat.

Aku pun melirik ke arah ayah, dia tetap terus tertunduk dengan menahan tangisannya. Aku jadi bingung tak karuan, tak tau harus berbuat apa.

Aku pun dengan sigap mencoba lebih mendekat ke depan, dengan maksud menggapai perlahan ke arah ibu dan ayahku.

Akan tetapi ada yang salah denganku. Aku merasakan sesuatu yang beda. Sesuatu yang membuatku sulit untuk menggerakkan badanku walau hanya ingin terduduk saja.

Aku memang masih terasa sangat lemas akan tetapi sensasi ini sangat berbeda dan aku merasa sesuatu itu membuatku hampa.

Aku pun mencoba bangkit dan pandanganku otomatis tertuju ke arah depan, dari situ aku mulai tidak enak hati.

“kamu ngapain nak? Udah kamu tidurin aja jangan banyak gerak” ucap ibuku yang tak hentinya menangis.

“bu, ko aku ngerasa berat banget gini ya?” ucapku lirih.

Ibuku menatapku penuh iba yang saat itu mencoba berhenti dengan tangisnya.

“N.. nak, ibu mau bicara sama kamu” ucap ibu.
“ Bicara apa bu?” tanyaku.

“Akibat kamu kecelakaan, kamu kehilangan kedua kakimu nak” ucap ibu dengan to the point walau terlihat tak tega mberitahuku tentang hal ini.

Apalagi cepat atau lambat aku pun pasti menyadari dengan keadaanku yang saat ini.

Aku syok seketika, seakan semua ini hanyak mimpi buruk semata, aku pun tak dapat berkata-kata yang hanya dapat menitikan air mata.

“Bu, ibu.. jangan bercanda bu, ini semua gak mungkin!” ucapku dengan tidak percaya.

Ibu ku hanya terdiam menunduk saja, ayahku yang tatapannya tertuju kepadaku sembari mengusap air matanya yang sangat memerah.

Dengan sigap dia memelukku erat, dan mencoba menguatkanku.

“Semua akan baik-baik saja nak, kamu harus bisa menerima kenyataan dengan ikhlas” ucap ayah.

Aku hanya menangis pasrah, dan mencoba lebih menguatkan diriku untuk ikhlas menerima kenyataan.

Setelah kejadian itu, berselang tujuh hari aku sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.

Aku sangat bahagia mendengar hal itu, akhirnya aku dapat pulang ke rumah karena memang aku sendiri tidak betah di rumah sakit dan rindu rumah.

Keadaan yang sekarang membuatku sulit untuk melakukan aktivitas lainnya. Yang tak seperti  biasanya aku aktif bermain futsal bersama teman-teman lainnya, akan tetapi sekarang aku hanya bisa menjadi penonton saja.

Kehidupanku seketika berubah dengan sangat amat drastis, dan lebih mencoba terbiasa dengan keadaanku yang sekarang ini. Akan tetapi satu hal yang tak pernah berubah, sayang dan cinta orang tuaku yang selalu ada untukku. Aku bersyukur akan hal itu.

Sesekali teman-temanku menjengukku ke rumah. Teman-temanku pun menyemangatiku untuk selalu tegar menerima kenyataan.

Hari-hariku berlalu dengan begitu cepat, aku semakin terbiasa dengan keadaan ini, dan aku sendiri memang selalu cepat bangkit dari keterpurukan.

Karena memang hal itu yang selalu diajarkan oleh kedua orang tuaku untuk selalu tidak selalu mengeluh akan keadaan.

Tetapi tetap saja ada orang yang menyinyir menghinaku karena aku cacat tak mempunyai kedua kaki.

Tapi ku bungkam telingaku erat-erat dan tak pernah mendengar kata-kata dari orang-orang yang menghinaku.

Waktu pun berjalan dengan sangat cepat, semakin hari aku menyadari ibuku sering tidak ada di rumah, walau terakhir dia bilang ada urusan pekerjaan yang sampai seminggu lamanya.

Akan tetapi setelah seminggu itu dia tidak pulang ke rumah bahkan hampir tidak ada kabar sama sekali dari ibu.

Disitu aku langsung cemas, aku pun menanyakan kepada ayahku akan tetapi jawaban ayah hanya semakin membuatku semakin bertanya-tanya kemana ibu pergi.

Aku pun mencoba menghubungi ibuku lewat telfon, akan tetapi tidak ada jawaban sama sekali.

Pada esok harinya saat malam hari, saatku akan tertidur, dari kejadian itu aku selalu mengunci seorang diri dikamar, terdengar suara pintu garasi terbuka, lalu kuintip dari jendela kamarku.

Terlihat ayahku akanpergi dari rumah menggunakan mobilnya yang entah tau mau kemana, tak biasanya ayahku seperti ini, aku terheran penasaran.

Karena aku tak dapat mengejar ayahku, kau pun menunggunya di kamarku sembari pandangan terus kearah jendela menunggu datangnya ayah. Sempat ku berfikir bahwa ayah pergi mencari ibu.

Aku menunggu sangat lama sekali sampai-sampai aku tak tahan menahan kantuk. Aku pun tanpa sadar tertidur.

Selang beberapa waktu, aku pun bangun dari tidurku karena mendengar sebuah pertengkaran hebat, yang terdengar suara ayah dan juga ibuku, terdengar juga suara tangisan ibu.

Terdengar samar-samar dengan apa yang mereka pertengkarkan, hal itu juga yang sampai-sampai membuatku menangis. Tak pernah sekalipun aku melihat kedua orang tuaku bertengkar seperti ini.

Aku tak tau harus berbuat apa yang aku bisa hanya terus menangis.

Baru sekarang ini aku merasakan hancur sebegininya, aku sudah kehilangan kedua kakiku, dan lagi untuk pertama kalinya aku melihat orang tuaku bertengkar.

Sampai-sampai aku tak dapat tidur kembali sampai esok harinya dengan tatapan kosong dan mata yang sembab sehabis menangis semalam.

Aku pun mendengar suara langkah menuju kamarku, lalu dibukanya pintu kamarku dan yang datang adalah ayahku.

Saat aku melihat ayah, aku melihat raut wajahnya yang sangat putus asa sepeti tidak ada harapan.

Antologi CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang