Desiran angin panas menerpa wajah sedih ku yang sedang menatap nanar kearah ledakan yang terjadi di beberapa kilometer dari tempat ku merenung. suara ledakan yang hampir setiap hari ada, seakan menjadi backsound yang sudah biasa, kami tidak takut hanya karna ledakan, kematian adalah takdir yang pasti, tidak tahu berapa banyak korban luka-luka ataupun meninggal disana.
Gedung-gedung yang terlihat indah hanya menjadi imajinasiku. Aku masih ingat, dikala malam yang mencekam, sebelum kedua orang tua ku di tangkap pihak pemberoktak. Ayah dan ibu pernah saling saut-sautan mengenai betapa indahnya negeri ini dahulunya. Gedung tinggi, jalan terang yang dipenuhi kegiatan mencari nafkah, dan juga kabut yang sering datang saat pagi tiba, seolah lenyap hanya karena keegoisan para petinggi negara.
Aku menundukkan kepalaku, perlahan rasa egois itu muncul kembali dengan diringi air mata yang meluncur begitu deras. Kenapa? Kenapa hanya aku yang masih bertahan disini? Mereka orang-orang yang aku sayang, ibu, ayah, kak ahmed, paman, semua meninggalkan ku.
Bagaimana aku tidak sedih. Barusaja sahabat ku - fachrie meninggal dimedan perang saat berusaha melawan pemberontak yang ingin mengganti dasar negara ini. Aku masih ingat bagaimana fachrie mengajak ku untuk bersama-sama mengganti cita-cita menjadi penyelamat negara. Sungguh, aku tidak tahu bagaimana caranya agar aku bisa menjadi penyelamat negara.
"HIZAM!" Seseorang tiba tiba memanggilku, membuat jantungku tersentak kaget, "ada apa bibi?" Tanya ku bingung saat dia berlari kearah ku, lalu memelukku kuat-kuat
"Kita harus mengungsi! Bibi mendapat kabar bahwa daerah ini akan menjadi sasaran bom mereka" ucap bibi aisyah dengan keringat yang bercucuran didahinya dan bibirnya sedikit pucat. " cepatlah hizam, siapkan peralatan ibadahmu, ayo!" Bibi menarik ku dengan cepat, membuat aku berlari lari kecil.
Mengapa bibi menyuruhku membawa peralatan ibadah termasuk al-qur'an? Karna kami sudah tidak punya kekuatan apapun. Hanya kekuatan Allah yang maha kuasa, yang mampu membuat mereka para pemberontak secara tiba-tiba berjalan mundur.
Setelah merapihkan peralatan ibadahku termasuk Al-Qur'an, bibi langsung membawa ku pergi meninggalkan tempat dimana aku berada dari kecil sampai sekarang aku berumur 14 tahun.
"Kita ikuti rombongan yang disana, Insha Allah zam, Allah akan menolong kita semua" ucao bibi sambil berjalan mendekati rombongan beberapa keluarga yang berada di seberang jalan sana.
Aku berlari mendekat kearah rombongan, namun bunyi sniper menghentikan langkah ku. Sejenak aku terdiam, lalu melanjutkan langkah ku tanpa memperdulikan bunyi itu. Namun lelaki tua yang berada paling belakang rombongan tumbang dan berteriak kesakitan.
Tangan ku bergetar, namun bibi dengan sigap berlari kencang dan menarik tangan ku untuk segera bersembunyi. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Seakan suhu menurun, namun aku berkeringat. Ya Allah, lindungi hamba,
Suara tangisan anak kecil berhasil menusuk telingaku, ditambah lagi mereka yang berteriak kesakitan membuat jantungku berpacu lebih kencang. Bahkan suara sniper itu terus dan terus saja terdengar, lalu sedetik kemudian suara tangisan dan rintihan itu berhenti. Genggaman tangan kasar bibiku terus menganggam ku dengan erat, seolah dia takut kehilanganku. Sama seperti ku, keluarganya yang tersisa hanyalah diriku. Aku sudah dianggap seperti anaknya, karena sebelum aku dilahirkan beberapa hari setelah anak bibiku lahir, anaknya telah diculik oleh orang lain pada saat mulainya kerisuhan dinegara ini.
Bibi terus membawa ku lari, sampai bibiku terjatuh aku memutuskan untuk menompangnya dan membawanya menjauh dari daerah itu. Hanya satu yang kuharap, tentara itu tidak mengejarku.
"Ssttt.... kita berlindung disini" bibi menyuruhkuu untuk diam dan menikmati tempat yang sangat sunyi, tempat ini dipenuhi jerami dan juga runtuhan bangun yang terbuat dari bata tanpa cat. Terlihat aman, namun kematian tidak ada yang tahu. Tanah-tanah yang dulunya coklat, kini berubah menjadi puing puing bangunan yang runtuh karna bom. Untuk sementara aku dan bibi beristirahat disini, nanti malam bibi akan menunjukan jalan menuju pos tempat pengungsian.
Bibi mengusap kepalaku " masa depan mu masih panjang zam, dan bibi yakin kamu mampu membuat negeri ini damai kembali atas izin Allah SWT, makanya bibi berusaha melindungi mu dan berusaha membawa mu jauh agar kamu suatu saat nanti dapat kembali dan merebut pemerintahan dari tangan-tangan orang jahat itu" gumam bibi pelan.
Aku hanya mampu tersenyum, ada ruang dihati ku yang terketuk dan membuat harapan yang telah ku simpan jauh dilubuk hati menggebu-gebu hingga muncul kembali. "Insha Allah bi, terima kasih bi" ucapku sambil tersenyum
Entah mengapa hari ini begitu berat bagiku, sama seperti hari-hari kemarin tanpa kehadiran keluarga tercintaku. Inilah ujian dari Allah SWT, jika aku bisa melewatinya, maka Allah akan mencintai ku. Perlahan aku menutup mataku karena rasa perih diperutku dan juga kantuk ku. Hingga terlelap dibawah suara reruntuhan seakan menjadi lagu penghantar tidur ku.
***
"Tetaplah berjalanlah di jalan Allah meski itu sulit zam, karna balasan Allah sangat indah untuk orang yang sabar dan berjuang dijalannya zam!" Kabut putih itu menutupi pandangan ku, bahkan setelah suara itu berhenti.
"Siapa, kau siapa?" Pekik ku sambil mengusap kedua kelopak mata ku. " kau siapa?" Tanya ku lagi karna aku tidak segera mendapatkan jawabannya.
Tangan ku terulur kedepan, ku harap aku dapat meraihnya agar dia tidak pergi. Namun genggaman tangan hangat dan guncangan yang bibi layangkan untuk ku berhasil membangunkanku dari mimpi yang membuat ku penasaran
" kau barusaja bermimpi?" Tanya bibi sambil menahan senyumnya.
"Iya, aku tidak tahu siapa dia" jawab ku sambil menganggaruk tengkuk ku. Aku heran.
"Yasudah, ayo kita solat magrib dulu, kau tidur dengan lelap sekali tadi" ucap bibi sambil tersenyum ramah.
Aku menatap kearah sekitar dengan bingung, gelap, sangat gelap. Hanya bulan yang menjadi penerangan ku. "Dimana kita akan mengambil air wudhu bi?" Tanya ku
Bibi menunjuk kearah utara, "dulu disana ada sumur, ayo kesana" ucap bibi sambil berjalan didepan ku.
Tiba tiba bibi menarik baju ku dengan cepat "sttt diam" bisiknya.
Entah mengapa jantungku kembali berpacu, aku hanya mampu berdoa Allah dapat menyelamatkan ku dan bibi ku. "Sumur disana ternyata dijaga pasukan tentara" bisik bibi dan kembali berjalan ketempat tadi.
Perlahan aku menangis, tidak ada suara hanya saja air mata ku yang menetes. Semua amat sangat berat bagiku, apakah rakyat diluar sana sama seperti kami? Seharusnya tentara sebagai pelindung rakyat dari serangan luar, namun kini tentara sebagai pelindung pemerintah dari rakyat. Padahal akupun tidak tahu apa kesalahanku, hingga mereka sepertinya ingin membunuhku juga.
"Hizam! Hizam! Kau melamun?"
Aku mengusap wajahku, "tidak bi, ayo kita tayamun saja, tapi aku tidak tahu dimana kiblatnya"
Aku melihat air mata bibi yang menetes walaupun terlihat samar, namun cahaya bulan yakinkan aku bahwa bibi juga merasakan apa yang aku rasakan.
"Bibi tau diarah mana, dengan seadanya, semoga Allah menerima solat kita dan mengampuni dosa-dosa kita, atas kelalaian waktu kita, aamiin"
aamiin. Aku memulai solat ku dengan alas seadanya. Saat ku mulai bacaan solat ku, angin berhembus dengan lembut. Seperti berada di negeri yang damai, padahal kenyataannya keadaan masih kritis.
Setelah selesai solat, tiba-tiba saja ada suara mobil ambulan yang berkerumun beberapa kilometar dari tempat ku berada. Dengan pencerahan yang mereka bawa, mereka berhasil menemukan aku dan bibiku, namun kami menghidar. Kami takut mereka adalah suruhan pemerintah untuk menyiksa kami. "Jangan takut" teriak seseorang yang sedang mengejar kami.
"Aku dari PBB, ikutlah kami mengungsi" ucapnya lagi. Aku dan bibi tidak memperdulikan ucapannya, kami terus berlari sampai kaki ku tersandung reruntuhan bangunan, aku terjatuh dan bibi siap menopang ku, namun lelaki yang menemukan kami sudah lebih cepat mendekat, "ikutlah bersamaku, sumpah aku tidak akan menyakiti kalian, kami dari PBB, kami tau, pertolongan kami terlambat, ku mohon ikutlah, aku tau daerah ini sudah dikuasi sepenuhnya, hanya kami yang diizinkan membawa kalian pergi" ucap lelaki yang bername tag azmi.
"Terima kasih" ucap bibi dengan wajah yang memerah, aku yakin bibi menahan tangisnya. Dan benar, sedetik kemudian, bibi mengapus air matanya dengan kasar. Lalu dengan baiknya lelaki itu menompang tubuhku yang berjalan picang karena tersandung cukup keras
***
Hai !! Assalamualaikum
Semoga aku bisa menyelesaikan tulisan ku ya? Aamiin ...Minggu, 15 April 2018

KAMU SEDANG MEMBACA
HIZAM
SpiritualDahulunya negara ini hidup tentram sama seperti negara lain. Namun ketika pemberontak itu berhasil menduduki kursi pemerintahan. Mereka mencoba mengganti dasar negara. Banyak pendemostran yang menolak sikap pemimpin negara dengan menggelar demo besa...