[Bian] Kejutan tak terduga

3.8K 376 48
                                    

Harapanku tidak sepenuhnya tidak dikabulkan tuhan. Meteor memang tidak jatuh untuk memporak porandakan bumi, alih-alih meteor, Tuhan lebih mengirimkan angin puting beliung.

Kecil, Namun mampu meluluh lantahkan pernikahanku. Aku masih mengingat seluruh kekacauan yang terjadi setelah kemunculan Agatha di Altar.

Dara yang menangis histeris, Orang tua Dara yang mengamuk, Mama yang hampir menampar Agatha jika saja reflekku tidak begitu cepat. Para undangan yang berasal dari keluargaku dan keluarga Dara yang tidak bisa dikontrol. Berbisik keras membuat kupingku sendiri kepanasan saat mendengarnya. Intinya, pernikahan kami di tunda untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Kuharap untuk selamanya.

Tatapanku tidak bisa kualihkan dari wanita yang duduk disebelahku. Menatap kedepan tanpa berani melirikku sedikitpun. Memangnya wajahku begitu menakutkan?

Seorang perawat mengambil darahku entah untuk apa. Jangankan darah, hati juga jantungpun rela kuberikan jika itu untuknya.

Gadis itu masih sama seperti dulu, kulitnya masih putih bersinar, alisnyapun sudah terbentuk tanpa harus menggunakan alat apapun yang sering mama dan dara gunakan, bulu mata gadis itu tidak terlalu panjang namun lentik membingkai manik gadis itu pas.

Aku menelan ludah melihat bibir penuh gadis itu, merah merona tanpa harus menggunakan lipstick. Sial, bahkan setelah lima tahun gadis itu masih mampu membangkitkan hasratnya tanpa berbuat apa-apa.

"Bi..." aku menatap manik gelap Agatha. Kelam dan penuh misteri. Sarat akan kesedihan.

"Hm?" Dan entah kenapa mulut jahanam ini masih sulit membuka saat berhadapan langsung dengan Agatha. Padahal banyak yang ingin kukatakan.

Mungkin karena aku takut Agatha membenciku. Sehingga aku memarahinya sebelum ia memarahiku. Biar bagaimanapun aku sudah merebut kesuciannya, walaupun kali pertamanya juga merupakan kali pertamaku. Kemudian saat dia pergi, dan kembali, ia kami bertemu di tempat yang tidak tepat. Di altar, dengan diriku yang menggunakan jas hampir bersumpah menikahi wanita lain. Brengsek sekali.

"Maafkan aku karena telah menghancurkan pernikahanmu." Lalu buat apa dia datang jika memang bukan berniat menghancurkan pernikahanku?

"Bukannya kau datang karena tahu aku akan menikah hari ini?" sedikit berharap aku bertanya. Jangankan menghancurkan pernikahan yang tidak kuharapkan. Menghancurkan kewarasanku pun, dia kubiarkan.

Agatha menggeleng sabagai jawaban. Apa yang ia takutkan dariku? Wajah jutekku? Aku memang begini sejak lahir. Tapi semua tahu cintaku padanya tak berakhir. Dia tahu aku tidak akan pernah menyakitinya, tapi kenapa dia takut padaku.

"Ada apa sebenarnya?" Sudah kuusahakan selembut mungkin untuk bicara, tapi lima tahun lamanya kami berpisah membuatku tidak mudah kembali seperti dulu.

Sejujurnya aku sudah ingin mendekap gadis itu dari tadi, hanya saja aku takut membuatnya jijik. Lima tahu dia pergi, dengan kebencian menggebu padaku karena tidak mampu menyelamatkan nyawa anak kami, tidak mungkin aku bisa memeluknya tanpa merasa bersalah.

Aku ingin bertanya banyak hal. Apakah ia sudah memaafkanku? Apakah ia sudah bisa merelakan anak kami yang dulu? Apakah kami bisa kembali bersatu? Masihkah ia menyimpan cinta untukku?

"Aku ingin kau menemui seseorang." Siapa? Kuharap bukan seorang laki-laki.

"Dan mengapa aku harus menemui orang itu?" ia tidak lagi menunduk. Mendengar pertanyaanku yang menurutku tidak aneh, Agatha mendongak dengan mata membulat.

"Nanti kau akan tahu." jawabnya kemudian berdiri setelah mereka mengambil darahku sebanyak dua kolf. Aku berjalan pelan, kepalaku sedikit sempoyongan akibat darahku yang diserap paksa.

"Are you okey?" tanyanya saat melihat langkahku yang lebih kecil dari biasanya.

"No, I'm not." Kemudian dengan telaten Agatha menuntunku, memapah pubuh besarku dengan tubuh mungilnya yang sialan selalu terasa pas dalam dekapanku. Kepalaku semakin pening, darah yang tersisa sedikit di tubuhku dengan kurang ajar, mengalir dari kepala menuju selangkangan. Membuat sesak.

Tubuhku mematung saat melihat tubuh mungil seorang gadis ditempeli berbagai selang. Mata gadis itu tertutup, bahkan lebam dan luka gores menyebar tidak rata di tubuhnya.

Kuperkirakan usia gadis itu 4 tahun, hampir lima. Aku tidak ingin bertanya, tidak sampai gadis disebelahku ini membuka mulutnya, walau sedikit pemahaman menghantap kepalaku yang sudah pening ini. Hanya saja satu pertanyaan yang terus menghantuiku. Apakah apa yang kupikirkan benar atau salah?

Sehari, dua hari, seminggu berlalu dengan cepat. Kami masih menatap tubuh tidak sadar gadis itu.

Mama tidak lagi membenci Agatha, hanya saja beliau tidak ingij ditinggalkan berdua dengannya. Ia dan papaku juga sering menjenguk gadis secantik malaikat ini. Bahkan menurutku kecantikan Agatha kalah melawan gadis yang masih menutup matanya ini.

Dengan tangan gemetar aku mencoba meraba rambutnya. Lembek dengan darah mengering yang tidak bisa kami bersihkan sebelum ia sadar.

Gerakan kecil pada bola matanya tidak membuatku bahagia, karena sejak kemarin gerakan itu selalu terjadi, namun ia tetap tidak membuka matanya.

"Buka matamu sayang," aku menyentuh kelopak mata gadis itu dengan lembut. Thacifa, nama yang seindah penampilannya.

Manik biru kami bertubrukan, mengunci satu sama lain. Lama kami terdiam sampai akhirnya aku tersadar. Aku menekan bel perawat yang ada ditembok dekat kepala tempat tidur. Bahkan saat perawat melepas alat-alat penunjang hidupnya, hanya menyisakan cairan infus, mata kami masih bertemu. Masing-masing dari kami tidak ingin mengalihkan pandangan.

Thacifa seratus persen menjiplak wajahku. Alis, hidung, bibir, mata bahkan bulu mata kami tampak serupa.

"Hai..." sapaku kaku. Hanya ada kamu berdua, yang lain entah pergi kemana sejak sejam yang lalu.

Ha..us... gerak mulutnya masih terbaca tanpa aku mendengar suaranya. Aku berani bertaruh gadis itu memiliki suara semerdu burung pipit.

Setelah mendapat persetujuan dari Joana dan janjinya untuk datang sejam lagi, aku memberi gadisku air. Ia meminum pelan, dengan kernyitan didahi. Ia sakit, dan aku tidak bisa menggantikannya. Benar-benar lelaki tidak berguna.

Dalam tiga hari, perkembangan gadisku sedemikian pesat. Kini suara merdunya terdengar setiap detik. Saat berbicara dengan Agatha, kedua orang tuaku, kedua orang tua Agatha, Agni, Abi, Sisi, Juwita, Joana, bahkan Raza pun mampu membuatnya banyak bicara. Hanya denganku ia tidak ingin membuka mulutnya. Mungkin nanti.

"Papa..." aku tersedak air minum saat tiba-tiba Thacifa memanggilku papa. Tidak, ternyata bukan padaku ia mengarahkan panggilan itu.

Di pintu tempat ruangan Thacifa dirawat, Agatha berdiri mematung dengan seorang laki-laki yang entah siapa. Laki-laki itu juga terlihat kaget. Mungkin karena keberadaanku yang tidak ia harapkan.

Thacifa merentangkan tangan meminta laki-laki itu memeluknya. Yang dilakukan dengan senang hati olehnya. Tentu saja, jangankan hanya memeluk. Memberi bulan sekalipun akan kulakukan jika Thacifa memintanya.

Mataku tidak bisa terlepas melihat interaksi antara laki-laki itu dan putriku. Bagaimana Thacifa terlihat berbeda, mengadu dengan isak tangis yang menyayat hati. Menolak melepas pelukannya pada laki-laki itu.

Setelah bermenit-menit akhirnya kubalas tatapan Agatha yang menatapku kasihan. Aku mendengus. Kenapa barus sekarang ini aku mengetahui keegoisan gadis itu.

Mengapa? Mengapa laki-laki itu mendapatkan pelukan hangat putriku yang seharusnya menjadi milikku sejak dulu?

TBC

Stuck In Past [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang