"Dia akan menikah."
Kata-kata itulah yang pertama kali aku dengar dari mulut mungil saudara kembar kakak iparku. Joana.
"Tentu saja, sudah 5 tahun berlalu sejak aku meninggalkannya. Mana mungkin dia rela menungguku selama ini," sejujurnya pernikahan Bian memang selalu menjadi mimpi buruk pelarianku selama ini. Aku tidak sanggup berpisah darinya, tapi aku harus. Ini demi kebaikan kami semua.
"Kau harus menghentikannya. Kau tahu kenapa! Bian tidak pernah mencintai orang lain Agatha. Hanya kamu! Kau tidak tahu betapa hancurnya dia selama ini. Mencari keberadaanmu ke seluruh pelosok negeri."
"Kau sendiri tahu betapa hancurnya aku karena telah meninggalkannya, Jo. Tapi aku bisa apa? Aku harus pergi. Ini demi kebaikan kami semua." Aku menyela perkataan Joana.
Saat ini kami sedang duduk di sudut sebuah cafe paling tidak mencolok di kota ini. Tempat sepi pelanggan yang manjadi tempat kesukaanku selama ini. Tempat yang terletak di dekat taman bermain. Taman yang sudah tidak terpakai lagi. Disini aku dengan leluasa bisa mengamati gadis kecil yang menjerit-jerit bahagia bersama laki-laki seumuran kakakku, Abisena. Huff.... bagaimana kabar mereka saat ini? Aku sungguh merindukan mereka.
"Semua ini sudah berakhir Agatha. Tidak akan ada lagi yang bisa menyakitimu. Agni, Abisena, Bian dan Raza telah menyelesaikan semuanya. Kembalilah! Jika bukan untuk Bian, kembalilah untuk kedua kakakmu. Lepaskan mereka dari perasaan bersalah yang menghantui mereka selama ini Agatha."
"Aku tidak bisa, Jo." Aku meraih tasku yang terletak di atas meja, kemudian berjalan keluar cafe, meninggalkan Joana sendirian. Tentu saja aku ingin kembali. Tapi tidak semudah itu.
Aku telah meninggalkan mereka semua dalam kubangan rasa bersalah. Lantas dengan mudahnya aku kembali seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya?
"Bundaaaa...." teriak gadis itu, gadis berusia 4,5 tahun. Anakku dengan Bian. Ingatanku masih tercetak jelas, bagaimana mereka membayar dokter itu hanya untuk mengabarkan bahwa bayi di dalam perutku sudah mati.
Bodohnya, Bian dan kedua kakak-kakakku mempercayai hal itu. Mereka malah menuduhku stress dan tidak bisa menerima kenyataan, karena tetap bersikeras bahwa anak ini masih di dalam perutku. Aku ibunya, jadi aku bisa merasakan keberadaannya dalam perutku.
"Sayang." Aku memeluk erat gadis itu. Satu-satunya bukti cintaku yang masih tersisa dari Bian.
"Mas, anterin kami ke rumah. Habis ini Mas bisa libur seminggu." Aku memanggilnya Mas karena Beno mengingatkanku pada kakakku, Abisena.
Terkadang aku merasa sedih karena Thacifa, harus kehilangan sosok ayah sejak lahir. Sejujurnya berulang-ulang kali aku hampir menyerah dan kembali ke pelukan Bian. Sayang, ancaman mereka membuatku memilih untuk bertahan. Jika bukan untuk diriku sendiri, Thacifa lah alasanku bertahan.
Walau sering kali rindu datang menggebu.
"Siap nyonya." Beno merupakan laki-laki yang minim ekspresi, dan juga minim bicara. Akupun kadang tidak mengerti mengapa masih saja mempertahankannya sebagai pekerja setiaku. Laki-laki itu sudah bekerja menjadi sopirku hampir 2 tahun. Mungkin selain karena laki-laki itu rajin dan cekatan, nampaknya putriku menyukainya. Bagi Thacifa, Beno adalah sosok ayah yang selalu berada disisinya.
Aku menatap undangan pernikahan milik Bian dan seorang gadis bernama Dara. Gadis itu sangan cantik dengan tubuh tinggi bak seorang model. Beruntungnya gadis itu, karena bisa menjadi pengantin Bian. Posisi yang dulu hampir menjadi milikku.
Jika kau merasa bahagia dengannya, Bi... aku rela melepas dan mendoakan kebahagiaanmu. Walau sejujurnya hatiku terluka. Aku mengecup foto laki-laki itu. Melampiaskan rasa rinduku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck In Past [On Going]
Fiction généraleSTUCK SERIES 4 Sejak Agatha memutuskan pergi meninggalkan Bian, laki-laki itu mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mencari gadis itu. Bertahun-tahun berlalu, ia masih tidak menemukan keberadaan Agatha. Bahkan sahabatnya ikut membungkam membiarkann...