"Aku tidak mau, Ma!" bentakku pada Mama yang duduk dengan tangan terlipat di depan dada menatapku tidak suka.
"Mama tidak mau tahu! Kau sudah 36 tahun Bi, sampai kapan mama harus menunggu?"
"Menunggu apa Ma? APA YANG MAMA MAU DARIKU!" bentakku kehabisan kesabaran. Tidak. Aku sangat tidak menyukai ide mama kali ini.
"Mau sampai kapan kau menunggu gadis itu, Bi? Dia sudah pergi! Dia meninggalkanmu tepat satu bulan sebelum pernikahan kalian! Sudah 5 tahun dan gadis itu belum kembali. Dia tidak akan pernah kembali! Seandainya pun dia kembali, mama tidak akan pernah merestui pernikahan kalian!" Ini pertama kalinya aku mendengar mama membentakku sejak usiaku 20 tahun.
"Sayang!" tegur Papa pada Mama yang mulai terlihat tidak mampu mengontrol emosinya.
"AGATHA! NAMANYA AGATHA! Gadis itu punya nama, Ma! Tolong mengerti. Bian hanya mencintai Agatha, percuma saja Mama meminta Bian menikah dengan orang lain bila di hati Bian masih menjadi miliknya." Entahlah, Agatha selalu menjadi titik terlemahku. Hanya gadis itu yang mampu membuatku menguras airmataku. Menguras emosi dan ketenangan jiwaku.
"Cinta tidak seperti ini, Bi. Cinta tidak akan membuatmu mencoba bunuh diri perlahan. Mabuk setiap hari, mengigaukan namanya dalam setiap tidurmu," aku mencintai mamaku. Sangat! Aku juga paling benci melihatnya menangis, tapi jika harus melepaskan Agatha hanya untuk membuat mama tersenyum. Aku lebih memilih menjadi seorang anak durhaka.
Aku tidak bisa membayangkan menghabiskan sisa hidupku dengan wanita lain. Hanya Agatha. Aku hanya ingin hidup dan menua dengannya.
"Bi, ini akan menjadi permintaan terakhir Mama. Besok temui gadis itu." ucap mama dengan nada final. Tak terbantahkan.
"Anna!" tengur Papa.
"Ayo mas, Bim." Mama menarik Papa menjauh. Menuju kamar mereka, meninggalkanku termenung dalam diam memikirkan segalanya.
Aku mendesah kemudian menarik napas dalam. Hanya bertemu tidak lebih.
3 bulan kemudian
"Bagaiman kalau kartu undangannya berwarna emas?" tanya Mama sambil mengulurkan sebuah kartu undangan pernikahan berwarna emas padaku.
"Terserah mama saja," jawabku malas. Mama menatap kearahku tidak suka. Akupun tidak suka. Aku tidak ingin menikah dengan gadis ini.
"Dara, kamu saja yang pilih nak."
"Dara ikut mau Mama saja." Bah! Tidak memiliki pendirian, aku sangan benci tipe perempuan seperti itu. Mencari muka dengan berpura-pura bersikap lembut.
Mengurus persiapan pernikahan membuatku mau tidak mau kembali mengingat Agatha. Gadis pemilik hidupku ini.
Flashback
"Hmmm...." Bian menatap Agatha yang terlihat sangat serius.
"Mikirin apa sih, Yang?"
"Kartu undangan kita enaknya warna putih apa hitam ya?" tanya Agatha sambil mengangkat kedua undangan itu tinggi. Kepalanya sudah bersandah indah dibahu bidang Bian.
"Yang hitam aja," jawab Bian mencoba membantu.
"Tapi aku suka yang warna putih." Bian mencoba menahan senyumnya saat melihat wajah memberenggut Agatha. Mungkin karena terlalu fokus dengan kartu undangan pernikahan mereka, Agatha tidak menjadari bahwa gadis itu telah menjadi pusat perhatian Bian.
"Ya sudah, kita pakai yang putih saja." Sejujurnya Bian tidak peduli mau undangan berwarna hitam atau putih atau bahkan merah muda sekalipun yang akan di pilih Agatha. Bian hanya peduli akhirnya ia akan menikahi gadisnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck In Past [On Going]
Ficção GeralSTUCK SERIES 4 Sejak Agatha memutuskan pergi meninggalkan Bian, laki-laki itu mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mencari gadis itu. Bertahun-tahun berlalu, ia masih tidak menemukan keberadaan Agatha. Bahkan sahabatnya ikut membungkam membiarkann...