Sebulan berlalu, Bian masih setia mengunjungi Thacifa, walau sering kali laki-laki itu hanya mendapati wajah tanpa ekspresi putrinya itu, Bian tetap menebalkan muka.
Bohong jika ia berkata ia tidak iri melihat kedekatan Thacifa dengan laki-laki yang di panggilnya papa itu. Ia terkadang marah, namun sering kali terluka dan kecewa.
Semakin lama luka itu semakin menumpuk menimbulkan panas didada. Ia jadi membenci, tidak lagi sudi menatap Agatha yang menjadi pelaku utama. Mereka saling menjauh, tepatnya Bian menghindari Agatha.
Agatha sendiri mulai merasa bersalah, namun ia tidak mampu berbuat apa. Mencoba mendekat pada Bian untuk memberi semangat, tapi laki-laki itu tidak mengidahkannya. Memilih menjauh sampai tiada lagi titik temu. Ya, mereka tak mungkin bersatu. Pada akhirnya ia menyerah pasrah, membiarkan saja Bian berbuat sesuka hati untuk menarik perhatian putri mereka.
Agatha juga tidak begitu mengerti mengapa Thacifa begini sulit. Gadis itu biasanya gadis yang ceria, masih seperti itu kecuali pada Bian. Gadis yang mudah disogok, semua orangpun tahu, bahkan kedua orang tua Bian mengakui, tapi pada Bian, eskrim kesukaannya menjadi hal paling menjijikan dimata Thacifa.
Hubungan Thacifa dengan Bimopun terlihat aneh bagi Agatha. Ia tahu putrinya menyukai Bimo. Namun tidak pernah sekalipun ia mendengar putrinya memanggil Bimo dengan sebutan Papa. Tidak pernah juga ia melihat Thacifa menangis meraung-raung seakah amat tersiksa jika Bimo pergi. Seperti saat ini, pukul sepuluh malam lebih... banyak, dan sudah lewat dari waktu tidur gadis empat tahun itu. Thacifa menangis karena Bimo harus pulang, merengek dengan suara sememelas mungkin agar tidak ditinggalkan.
Agatha dan Bian sampai kesulitan menenangkan putri mereka. Akhirnya tepat pukul dua belas malam, Thacifa menyerah dengan kantuk, gadis itu tertidur masih dengan isak kecil yang tersisa.
Agatha menyentuh bahu Bian menenangkan, tapi laki-laki itu menepisnya kasar. Menimbulkan denyut menyakitkan pada hati Agatha melebihi nyeri pada tangannya yang memerah.
Bian menatap Agatha dengan manik birunya, menyimpan luka dalam yang Agatha yakini disebabkan olehnya. Laki-laki yang terlihat sabar itu kini sudah menyerah, ia menyerah kalah dan tidak lagi ingin berjuang.
"Apa yang sebenarnya telah kulakukan padamu? Apakah aku menyakiti mu? Apakah aku sudah melukaimu? Tidakah bagimu aku telah cukup berkorban selama ini? Apakah menurutmu, ketidak tahuanku mengenai anak kita yang masih hidup dirahimmu, membuatmu pantas menghukumku seperti ini?" pertanyaan bertubi-tubi itu tidak mengharap jawaban. Bian hanya ingin Agatha tahu ia terluka. Amat sangat. Agatha yang mendengarnya juga merasa teriris. Ingin menjawab tapi tidak bisa.
"Hei..." kini air mata mengalir dipipi laki-laki itu, "apa karena aku terlalu mencintaimu, kau berfikir bisa berbuat semaumu? Menginjak-injak harga diriku? Merenggut semua milikku? Pergi membawa anakku, hidup dengan laki-laki lain, sampai-sampai anakku...darah dagingku sendiri lebih mengharapkan dia menjadi ayahnya?" Bian tidak membentaknya, tidak pula memberi tatapan benci seperti sebulan terakhir ini. Tapi raut kecewa itu, nada-nada penuh luka itu menyakiti Agatha lebih dan lebih.
Tidak mendapat jawaban dari dari Agatha, Bian mendesah "Kau hebat Agatha. Kau memang gadis paling hebat sejagat raya. Pergi dengan melempar kesalahan padaku. Hidup bahagia dengan keluarga barumu. Sementara aku. Aku disini menanggu semua rasa bersalah, hidup selebat dengan kepala menunduk." Bian berdiri dari duduknya. Tidak ingin ribut dikamar tempat putrinya tertidur akibat kelelahan. Besok akan menjadi hari yang panjang untuk mereka.
Agatha menyusul Bian, alangkah terkejutnya ia melihat Bian merokok. Ia tidak pernah tahu laki-laki itu merokok. Seingatnya ia sudah pernah memberitahu Bian bahwa ia benci perokok.
"Sejak kapan kau merokok?" tanya Agatha.
"Sebulan." singkat jawaban yang diberi Bian. Mereka terdiam dalam hening.
Agatha mendesah, "Bian ini tidak seperti yang kau kira."
"Tidak seperti yang kukira? Benarkah? Kalau begitu aku tanya padamu.
Kau tinggal dengan laki-laki itu dibawah atap yang sama, ya atau tidak?" Bian menatap Agatha, kali ini Agatha bisa melihat kilat kebencian.Bukan kebencian sebenarnya, itu adalah mata yang menaruh harapan. Bian berharap Agatha menjawab tidak. Tidak apa-apa gadis itu berbohong. Bian akan percaya. Namun diam Agatha merupakan jawaban. Jawaban yang tidak diharapkan Bian. Tidak ingin ia dengarkan.
"Jawab aku Agatha! YA ATAU TIDAK!" berbohonglah padaku, pinta Bian melalui tatapan matanya.
"Ya...tapi..." Bian memejamkan mata, menyerap rasa nyeri yang menyebar dari dada ke seluruh tubuhnya.
"Sudah berapa lama?" Bian bertanya berbisik.
"Apa?"
"Sudah berapa lama kau tinggal bersamanya?" ulang Bian sekali lagi.
"Sejak 3 tahun yang lalu."
"Tepat setelah semua masalah diselesaikan!" Bian berbicara sendiri, "Bukannya kembali, kau memilih pergi." Benar, tiga tahu lalu mereka sudah berhasil mengalahkan musuh mereka. Kini hidup mereka sudah aman, tidak lagi takut akan ancaman. Tapi wanita itu memilih pergi, mengacuhkannya. Dan tinggal dengan laki-laki lain. Hebat sekali.
"Bian, tidak seperti itu." Agatha berusaha menggapai Bian, tapi laki-laki itu menjauh.
"Agatha, kini kuserahkan pilihan padamu. Anggap ini sebagai penebusanmu atas semua perbuatanmu padaku. Berikan putriku kembali." Agatha terisak, Namun Bian tak lagi peduli. Kenapa ia harus peduli pada gadis yang memikirkannya saja tidak pernah?
Kemana dulu Agatha saat ia menggila? Agatha pergi tanpa peduli, meninggalkan Bian dengan perasaan bersalah. Tidak bisa tidur, takut akan kenyataan ia tidak bisa melindungi anaknya yang tidak bisa apa-apa. Meninggalkannya dengan lubang besar menganga dalam dada. Bian bisa mengerti bila itu dilakukan Agatha dengan alasan ingin menenangkan diri karena kehilangan putri mereka, atau takut akan ancaman para mafia itu jika berada didekatnya.
Tapi Agatha pergi bukan untuk menenangkan diri atas kepergian anak mereka, dia juga tidak kembali saat para mafia itu berhasil ia basmi. Agatha pergi membawa anaknya untuk tinggal bersama laki-laki lain.
Percuma saja selama ini ia setia, memikirkan apakah Agatha akan membencinya jika ia melakukan kesalahan. Jatuh cinta pada wanita lain misalnya.
"Kita bisa merawat Thacifa berdua... tanpa laki-laki itu. Atau kau serahkan Thacifa padaku dan kau bebas pergi dengan siapa saja, aku muak melihatmu!" Bian memberi pilihan
TBC
Hai...hai
Update spesial buat kalian, selamat hari kasih sayang.
Makasih udah komen di part sebelumnya, komen yang banyak di part ini
Oh ya, 100 komentar hari ini = part bonus nanti malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck In Past [On Going]
Fiksi UmumSTUCK SERIES 4 Sejak Agatha memutuskan pergi meninggalkan Bian, laki-laki itu mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mencari gadis itu. Bertahun-tahun berlalu, ia masih tidak menemukan keberadaan Agatha. Bahkan sahabatnya ikut membungkam membiarkann...