Satu persatu aku memasukkan lembaran berkas ke mesin printer. Entah sudah yang ke berapa kali kertas-kertas ini ter-copy. Aku menyambinya dengan melamun. Seperti tak ada semangat untukku berada di kantor.Masih jelas kejadian semalam. Aku harus menyikat deretan gigiku berkali-kali tak lupa kumur-kumur hingga nyaris menghabiskan air satu bak.
Bisa-bisanya mahluk astral itu menciumku. Dasar dedemit ingusan! Aku bahkan rela jika harus men-vacum cleaner mulutku ini agar tak tertinggal benih penyakit secuilpun darinya. Ya, karena bagiku ia itu racun- lebih ganas dari sianida.
Aku kapok mengiyakan permintaan Jimin jika jalan ceritanya seperti semalam. Seperti ini saja jengkelku sudah minta ampun, bagaimana dengan pernikahan tak masuk akal yang kulontarkan waktu itu. Bisa-bisa aku mati berdiri nanti.
"Ehem, ehem," dehem seseorang memecah semua umpatanku terhadap Jimin.
Aku sontak berbalik mencari tau siapa gerangan yang datang tak diundang.
"Eh, Yoongi-ssi,"
"Sudah selesai? Aku juga ingin menggandakan proyek-proyekku,"
"Eh, sudah-sudah."
Segera kurapikan berkas-berkasku dan menyilahkannya untuk bergantian. Aku tidak tau sudah berapa lama ia menunggu di belakangku.
Aku menyuguhkan senyum ramah padanya ketika hendak pergi namun ia membalasnya dengan senyuman tertahan seperti ada hal yang menurutnya lucu. Aku menggaruk tekuk leherku yang tidak gatal.
"Airyn-ah apa semalam kau tidak kesulitan mencari apartemen Jimin?" Tanya Yoongi yang langsung menyambar ke inti.
Ya ampun! Bisa-bisanya aku lupa semalam telah menghubungi pria ini hanya untuk mencari informasi. Bodohnya lagi aku tak berpikir konsekuensi jika saja Yoongi menganggap aku dan Jimin memiliki hubungan khusus.
"Eh, itu ya? Ah, tidak-tidak," ucapku dengan gelagat salah tingkah. Aku seperti maling yang tertangkap basah saja.
Yoongi masih tersenyum, kali ini senyumannya memojokkanku. Mata sipitnya seperti menuduh: Kau kencan dengan Jimin ya?
"Baguslah. Aku takut memberi arahan yang berbelit-belit jika itu membuatmu kesusahan." ujar Yoongi.
Salah. Meski ia tak menodongku dengan pertanyaan aneh, aku yakin ia sudah mengada yang macam-macam. Tampak jelas di raut wajahnya.
"Tidak Yoongi-ssi, aku cukup hapal apartemen itu sebenarnya. Hehehe," penuturanku tak bohong.
Senyum manisku tersimpul lagi. Lebih baik kuakhiri pembicaraan ini, takutnya mengarah ke pertanyaan yang tidak-tidak.
"Em, Yoongi-ssi aku duluan ya, Jimin sudah menunggu berkas-berkas ini." pamitku seraya pergi dari peredaran Yoongi yang tentunya hanya sekedar alibiku saja.
Sebenarnya Jimin belum menampakkan batang hidungnya. Ini bukan tugasku. Untuk sekedar mencari kesibukkan karena Jimin belum datang aku membantu teman sekantor wanitaku tadi. Setelah menaruh berkas-berkas, aku menuju ruang kerjaku.
Bisa dikatakan aku satu ruangan dengan Jimin. Di pintu pertama masuk akan ada meja kerjaku tepat di samping pintu ke ruangannya.
Anggaplah aku ini tangan kanan yang wajib menempel selama waktu berkerja, seperti mencatat hasil rapat- menjadi juru bicara- bahkan sekedar membuat jadwal tak penting. Kencan Jimin misalnya. Ya, memang sudah diatur sejak awal sedemikian. Bodohnya aku menurut, selalu patuh tanpa berhenti hanya demi uang.
Setibanya diriku semua berjalan normal, sampai ketika aku mendapati seorang wanita keluar dari ruangan Jimin. Mata kami saling memandang sebentar. Mimik wajahnya tampak kesal, seperti baru saja mengutuki orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Destiny [Park Jimin]
FanfictionIa adalah takdirku.. alasan untukku menangis, tertawa, dan jatuh cinta. Airyn Lim.