05. Problem & Wedding

43 3 1
                                    


  Jimin cukup royal. Bukan berarti aku bilang sedemikian jadi ada hal baik yang patut dibanggakan darinya. Sejalan waktu sampai hari H kami menikah, ia benar-benar terlalu berlebihan menyiapkan segalanya untuk sekedar pernikahan kontrak ini. Dari undangan, gedung resepsi, sampai masalah gaun pengantin yang telah ia kirim ke rumah. Karena saking menjuntainya sampai memenuhi lantai rumahku dengan bertengger di mannequin. Begitu anggun serta elegan namun masih terkesan glamor dengan banyak diamond putih transparan tertata rapi di bagian dada.

Lupakan itu. Sebelumnya aku tak menyangka akan mengenakan gaun pengantin semahal dan semegah ini, jika mengingat impian sederhanaku dulu menikahi pria bergaya hidup damai dan sungguhan. Bukan kontrak.

Saling sayang. Bukan pemaksaan.

Bahagia. Bukan sengsara..

Ya, inilah takdirku. Aku menulisnya sendiri dan orang lain yang memainkannya. Untukku tau hari esok saja masih entah. Keinginanku tak pernah tersanggupi 'bukan, hanya orang lain yang mengatur hidupku dengan dinamis tanpa permisi. Aku seakan tak berhak mulai sekarang menoreh harapan. Cukup menurut dan memanipulasi seakan semua tampak bahagia. Terutama prioritas utamaku adalah ayah.

Aku masih betah berbohong mengenai kehamilan palsuku, yang Jimin sendiri belum tau.

Tubuhku meringkuk di ranjang dengan balutan selimut tebal. Suhu di negara ini semakin keterlaluan, aku semalaman menggigil menahan dingin. Wajarlah, penghangat di rumah ini sudah minta di museumkan lalu di ganti dengan yang baru.

Kring! Kring!

Aku nyaris terperanjat karena bunyi alarm yang ku setting begitu keras memperingatkanku agar segera bangun untuk menyongsong realita kehidupan lagi. "Iya, iya aku bangun," aku menggerutu sendiri sambil mematikan jam bulat berwarna hijau di narkas dekat ranjang.

Tubuhku kuangkat dengan paksa. Rasanya tak ada gairah untukku bangun, bukan masih mengantuk. Hanya saja hari ini jadwalku adalah mengantar Jimin memilih cincin pernikahan, walau sudah ratusan kali aku bilang itu tak penting, cukup cincin biasa saja. Namun alhasil ia malah bersih keras menyuruhku untuk ikut.

Andai jari manisku bisa di copot dan di pasang lagi, biar Jimin jalan sendiri membawanya supaya aku tak perlu repot-repot mengurusi acara tak berguna ini.

Perlu diingatkan juga, hari ini Jimin juga harus menemui ayah. Orang tua itu selalu ngomel-ngomel minta dipertemukan dengan calon menantunya, dan berarti hari ini aku harus memberitahu Jimin masalah ayah yang mengira aku hamil. Yang di mana Jimin lah ayah anakku.

Yups, naluriku berkata hari ini tak akan berjalan baik.

Aku mulai bangun dan menuju kamar mandi. Penampakanku di cermin wastafel membuatku ngeri sendiri. Banyak guratan kemerahan di sekitar area mataku dan juga kantung mata yang mengendur. Sial, hanya karena kegilaan yang luar biasa ini hidupku jadi semakin sengsara, terbukti, dari wajahku yang tampak kelelahan bahkan kurang tidur karena terlalu pusing memikirkan bahwa diriku benar akan menikah dengan Jimin.

Suara kran terdengar bergemericik ketika hendak ku nyalakan. Segera kuset ditingkat terderasnya dan membasuh wajahku. Sekian menit aku membasuh diri di kamar mandi dengan berada tepat di bahwa shower yang menyala. Telingaku menangkap cukup jelas suara ponsel berdering, cepat-cepat segera ku sudahi acara mandiku dan beranjak dari kamar mandi.

Park Jimin.

Ya, tentu itu ia. Semenjak drama kolosal ini dimulai, hanya ialah pengisi utama dari log panggilan sampai pesan massage di ponselku. Menyebalkan.

"Yeoboseyo." Suaraku yang berusaha matian-matian untuk terdengar manis.

"Kau di mana? Aku sudah siap,"

My Destiny [Park Jimin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang