Scene Three

87 10 16
                                    

Chapter ini agak anu.

Selamat membaca!

***

Kegiatan belajar-mengajar sudah dimulai sejak tiga puluh menit yang lalu. Melihat bangku di sebelahnya masih kosong, Dimas menoleh ke belakang. Mengetuk pelan meja di belakangnya, mencoba menarik perhatian dua sahabatnya. Yuda yang asyik bermain game sontak menatap Dimas. Sedangkan Aris yang pura-pura menulis padahal sedang menggambar abstrak di bukunya, hanya mengangkat sebelah alisnya sebagai tanda dia menyimak apa yang akan disampaikan Dimas.

"Boss ke mana?" bisik Dimas.

Yuda menggeleng. "Dia nggak ada ngontak gue. Bolos kali."

"Ris?"

Aris berhenti sejenak dari aktivitas menggambarnya lalu mengecek ponsel di kolong meja. "Nggak ada kabar."

Dimas menghela napas. Biasanya kalau mau bolos sekolah, Rocky pasti bilang sebelumnya. Kalau pun telat, tuh anak nggak akan mau masuk kalau udah lebih dari tiga puluh menit KBM berlangsung. Rocky biasanya lebih memilih ke kantin. Katanya, "Mending nggak masuk sekalian daripada kuping gue panas diomelin guru." Itu pun masih ada kabar meskipun sekadar chat "Gue telat." Tapi, kali ini sama sekali tidak ada kabar.

"Dimas, kamu ngapain?! Papan tulisnya pindah ke belakang?"

Dimas lantas kembali menghadapkan tubuhnya ke depan, menatap Bu Intan yang tengah memelototinya. "Semalem saya salah bantal, Bu. Leher saya sakit," jawabnya asal yang langsung direspons kekehan teman-temannya.

Bu Intan menyipit. Guru itu baru sadar jumlah muridnya berkurang satu hari ini. "Terus, kenapa bangku di sebelah kamu kosong? Teman kamu ke mana, si biang kerok itu?"

Dimas melirik bangku sebelahnya. "Nah, itu saya juga bingung, Bu. Kira-kira Ibu tau nggak dia ke mana?"

Bu Intan kembali membesarkan bola matanya. "Kamu ini, ditanya malah balik nanya!"

Dimas mengatupkan bibirnya menahan tawa.

"Ya sudah. Fokus lagi ke sini!" Bu Intan mengetuk-ngetuk papan tulis. Enggan memikirkan Rocky lebih lanjut. Karena muridnya yang satu itu lebih sering membuatnya migrain. Seharusnya dia bersyukur karena tidak ada yang membuat ulah di jam pelajarannya.

Setelah Bu Intan kembali menjelaskan materi dan sesekali menulis di papan tulis, Dimas mengetikkan sesuatu di ponselnya.

Boss, posisi?

Dan setelah beberapa lama pun tetap tidak ada jawaban.

***

Giza tersenyum antusias melihat punggung cowok yang membelakanginya. Cowok itu miliki rambut yang dipangkas pendek dan rapi, panjangnya barangkali tidak lebih dari 3 cm. Tanpa repot-repot menaruh tasnya lebih dulu, Giza segera menghampirinya.

Dengan jail, ditutupnya kedua mata cowok itu dengan jari-jari mungil Giza. Obrolan cowok itu dengan Rio, yang duduk di hadapannya otomatis terhenti. Giza memberi isyarat supaya Rio pergi.

Cowok itu menyentuh tangan Giza lembut. Lalu terkekeh pelan. "Gi...."

"Sebel, deh! Kamu selalu bisa nebak saya dengan cepat," ucap Giza dengan nada sok merajuk. Lalu dia menjauhkan tangannya dari cowok itu.

Cowok itu menghadap Giza. "Karena nggak ada lagi cewek yang berani ngelakuin hal kayak gitu ke saya selain kamu."

Giza mencibir. Lalu mengeluarkan uang lima ratus rupiah dari saku kemeja putihnya dan memberikan uang tersebut untuk cowok di depannya. "Receh!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 23, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Badboy SupremeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang