Part 23

31.4K 1.4K 75
                                    

Flora POV

Tubuhku terasa melayang dan terdorong ke belakang. Kakiku tak mampu lagi untuk mempertahankan posisiku. Dan dalam sekejap tubuhku sudah terhempas ke tempat tidur. Aku memicing sesaat ketika ku rasakan tempat tidur bergerak karena dinaiki oleh seseorang yang ku percaya takkan pernah bisa menyakitiku dalam keadaan apapun. Karena sampai saat ini aku masih berkeyakinan kalau pria ini takkan pernah tega merusak ku meskipun dalam keadaan yang paling sulit sekalipun. Tuhan Lindungilah aku dan dirinya...

“Buka mata kamu.”

Suara maskulinnya terdengar bergetar. Dan ku rasakan nafas hangatnya sudah menyerbu wajahku. Aku tahu kalau dia sedang berada pada jarak yang begitu dekat denganku.

“Kak…Jangan…”

Ujarku parau. Aku menggeleng lemah saat membuka mata. Kulihat dia benar-benar sedang berada diatasku. Kedua tangannya bertumpu pada tempat tidur untuk menahan bobotnya.

“Kalau ini yang bisa membuatmu bisa lepas dari si brengsek itu aku akan melakukannya.”

Bisiknya sambil semakin mendekatkan wajahnya kearahku. Bisa kulihat dengan jelas mata nya yang memerah dan berkaca-kaca. Darah di hidung dan di sudut bibirnya sudah mulai mengering. Ingin rasanya aku membersihkan luka itu. Sehingga dia takkan merasakan sakit akibat dipukul oleh Reza lagi. Namun saat ini aku tak bisa berbuat apa-apa. Karena dia benar-benar mengurungku.

“Kak…”

 Aku masih menatapnya dengan tatapan memelas dan memohon.

“Maaf…”

Ujarnya kemudian saat aku masih bergeming.

“Kakak…!”

Teriakan tertahanku tak mampu untuk menghentikannya. Dengan sengaja dia melepaskan tumpuan tangannya. Sehingga tubuhku dihimpit olehnya. Sebelah tangannya membelai rahangku. Menyusuri setiap mili wajahku. Aku menahan nafas saat dia mengecup keningku lama. Jantungku mulai berdegup tak karuan saat merasakan kenyamanan yang begitu aku rindukan. Air mataku pun mengalir deras saat aku menutup mata. Menikmati rasa yang memang sudah mulai tumbuh dihatiku ini.

“Kalau ini juga bisa membuat papa dan mama merestui hubungan kita, maka aku akan melakukannya. Meskipun aku merenggutnya paksa darimu.”

Bisikan lembutnya di telingaku membuat tanganku mengepal. Meremas hamparan sprei tempat tidurku. Dia mengecup pelan daun telingaku. Nafasku semakin terasa sangat sesak saat aku membuka mata. Mendapati wajahnya yang sedang menatapku dalam. Kening kami menempel bagai direkat lem. Mata kami yang hanya dibatasi garis khayal beberapa senti saling menatap dalam. Hidung kamipun saling bertautan. Bisa kurasakan helan nafas hangatnya yang menyapu wajahku. Bisa ku cium aroma tubuhnya yang khas. Yang selalu membuat aku nyaman ketika berada di dekatnya. Dadanya yang keras juga menumpu diatas dadaku. Membuat aku bisa merasakan detak jantungnya berdebar kencang. Dan tanpa sadar kedua tanganku terangkat. Membelai wajahnya ringan. Menghapus darahnya yang sudah mulai mengering. Dia terpejam sesaat tepat di saat aku menyusuri alisnya yang tebal. Matanya yang kecil. Dan hidungnya yang mancung. Aku tak tahu dorongan semacam apa yang ada pada diriku sehingga aku bisa melakukan semua ini. Bukankah seharusnya aku memberontak? Bukankah seharusnya aku berusaha lepas darinya?

“Aku mencintaimu.”

Tanganku terhenti tepat di sudut bibirnya saat mendengar kata cinta tulus darinya. Dan sesaat dia mengecup bibirku dengan ritme yang sangat lambat. Bahkan ciumannya sangat lembut. Membuat sekujur tubuhku bereaksi tanpa permisi. Bulu kudukku meremang merasakan getaran dari syaraf syaraf tersembunyi yang memang sudah ku tahu ada. Salahkah aku ketika semua ini terasa wajar untuk kami lakukan? Karena tanpa sadar aku menerima ciuman darinya dengan hangat. Bahkan bibirnya yang memagut dalam bibirku membuat kepalaku sedikit terangkat. Tanganku pun mendorong belakang kepalanya agar lebih mendekat kearahku. Tapi aku masih yakin. Masih sangat sangat yakin kalau dia takkan pernah bisa menyakitiku. Lama. Kami berciuman sangat lama. Dia mencium ku dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang. Sampai aku tidak bisa membedakan lagi antara ciuman pertama, kedua dan ciuman-ciumannya yang lain. Karena otak ku tak mampu lagi untuk berkerja dengan benar. Bahkan kedua tanganku sudah berpindah ke lengan kekarnya. Mencengkramnya dengan sedikit kuat menahan rasa yang tak biasa ini. Aku tak bisa menjamin lagi pertahananku yang mungkin sebentar lagi akan runtuh. Namun aku masih berharap kalau dia bisa berpikir sedikit waras daripada ini.

Family Flower's WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang