10

20 4 1
                                    

Kau genggamlah tangannya
Kekasih sepertinya mungkin tak akan ada lagi esok hari

***

Perasaanku terasa sangat menyakitkan ketika melihat Alisha mengeluarkan air matanya karena aku. Sungguh bodoh. Makinya sendiri.

Evan mengacak rambutnya frustasi. Mengingat kebodohannya yang lemah melawan wanita yang ia cintai.

Ketika Alisha mengusir Evan dan Dea dari rumahnya, Dea langsung menarik lengan Evan untuk pergi menjauh dari rumah itu. Tidak ada pilihan lain bagi Evan untuk tetap berada di rumah itu selain meninggalkannya.

Yang Evan inginkan pada saat itu adalah bisa lebih lama lagi menikmati waktunya bersama Alisha sebelum kepindahannya ke Bandung. Dan berpisah dengan cara yang baik, walaupun sama-sama mengeluarkan air mata, tapi rasanya lebih berbeda dari ini.

Evan merasa pantas menerima tamparan dari Aura atas perbuatannya pada Alisha. Tamparan yang sampai sekarang masih terasa nyeri. Tamparan yang membuatnya sadar atas kesalahnnya. Aura tidak salah, dia hanya emosi melihat sahabatnya disakiti.

Setelah melewati pagar rumah Alisha, Evan langsung melepaskan tangan Dea dari lengannya dan mengantarkannya pulang. Kemudian, Evan bergegas menaiki motornya menuju taman yang berlokasi di komplek dekat rumah Dani.

***

Sesampainya Evan di taman, suasana sunyi dan sepi langsung menyelimutinya. Ia berjalan menuju bangku taman tempat dimana ia dan Dani akan bertemu.
Namun, Dani belum terlihat batang hidungnya juga. Terpaksa. Evan harus menunggunya.

Evan mengubah posisi duduknya. Ia merebahkan tubuhnya. Badannya terasa lelah dan sangat letih. Tanpa Evan sadari, matanya terpejam di bawah langit yang terang dipenuhi oleh ribuan bintang.

"Gue tau ini berat buat lo." Walaupun mata Evan terpejam, tapi telinga Evan masih bisa mendengar kan apa yang Dani bicarakan.

Evan membuka matanya dan memberikan sedikit ruang untuk Dani duduk.

"Lo belum minta maaf ?" Tanya Dani dengan hati-hati.

"Kata maaf gue gak bakalan bisa ngubah keputusan Alisha buat gak ngebenci gue." Ucap Evan datar dengan pandangan kosong yang menatap jalanan sepi.

"Tadi Alisha pingsan." Dani mencoba untuk memastikan perasaan Evan pada Alisha.

Seketika raut wajah Evan berubah khawatir.

"Maksud lo?"

"Pas lo sama Dea pergi, disitu Alisha pingsan."

"Terus gimana keadaannya sekarang? Apa dia baik-baik aja?"

"Sekarang sih kondisinya lumayan membaik, gue dapet kabar dari Aura katanya, dia udah sadar. Apa lo mau nemuin Alisha dulu sebelum lo pindah besok?"

"Gue gak bisa Dan. Walaupun gue mau itu."

Dani bingung, kenapa Evan sangat lemah? Kenapa dia tidak mendengarkan isi hatinya? Kenapa dia malah mendengarkan pikirannya?
Kadang kala hati dan pikiran itu tak sejalan, membuat kita harus pandai-pandai memilih.

Dani bangun dari bangku itu, dia mengusap wajahnya gusar.

"Kenapa Van? Oh... apa lo takut sama Dea?" Dani menggelengkan kepalanya tak percaya.
"Mana Evan yang dulu gue kenal? Karena cinta lo ke Dea, lo mau aja diperbudak olehnya. Lo harusnya tegas sama Dea bukannya lembek kaya gini." Dani benci Evan yang lemah seperti sekarang, lemah karena cintanya.

"BUKAN itu...." Evan membentak Dani.
"Gue gak mau nemuin Alisha bukan karena Dea. Ok, gue akuin gue lemah didepan Dea, gue selalu nurutin apa yang Dea pinta. Tapi bukan itu alasan gue."

Volume suara mereka naik satu oktaf.

"Terus apa alasan lo?"

"Gue gak mau liat Alisha sedih gara-gara gue. Batin gue sakit tiap kali liat Alisha nangis. Gue gak bisa Dan."

Entah sadar atau tidak, mata Evan mengeluarkan air mata. Dani melihatnya. Ini pertama kali Evan menangis didepannya. Ini semua karena Alisha. Dani melihat bahwa Evan benar-benar mencintai Alisha. Dan dia tidak melihat cinta Evan untuk Dea.

"Van, apa lo mencintai Alisha?" Tanpa Dani sadari, pertanyaan itu keluar dengan sendirinya dari mulutnya.

Evan bungkam seribu bahasa. Ia tidak tahu bagaimana perasaannya pada Alisha. Ia memikirkan setiap kata dari pertanyaan Dani. Hatinya benar-benar bimbang kali ini.

"Kenapa lo diam? Lo belum jawab pertanyaan gue."

"Apaan sih lo nanya-nanya kaya gini? Aneh banget sih lo. Lo pasti taukan orang yang gue cintai itu Dea. Kenapa gue mau pacarin Dea kalau bukan gue cinta sama dia." Evan menjawabnya dengan gugup dan salah tingkah.

"Tapi gue gak liat ada rasa cinta lo itu buat Dea. Yang gue liat malah Alisha." Evan terkejut mendengar nama Alisha disebut.

Volume suara mereka turun lagi satu oktaf.

"Dani, lo kan tau. Dari dulu gue gak pernah suka sama dia. Dia itu terlalu memperlihatkan kalau dia itu suka sama gue. Itu yang bikin gue gak pernah suka sama dia."

"Lo gak sadar sama perasaan lo karena lo masih menyimpan rasa gak suka lo sama dia. Jadi, lo masih berfikiran kalau orang yang lo cinta itu Dea. Tunggu aja. Cepat atau lambat, lo pasti bakal sadar sama perasaan lo ke Alisha."

Evan terdiam dalam lamunnya. Dani menyadari tindakannya itu terlalu menekkan Evan yang kala itu sedang terpuruk dengan keputusannya.

"Gue harap semoga lo gak menyesal nanti. Maaf kalau tadi gue terlalu kebawa emosi. Lo tetap sahabat gue Van." Dani menepuk - nepuk pundak Evan dan (bro hug) dengannya.

Dani meninggalkan Evan yang masih duduk dengan kepala menunduk.

Setelah beberapa langkah, Dani menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Evan.

"Kau genggamlah tangannya. Kekasih sepertinya mungkin tak akan ada lagi esok hari." Kali ini Dani serius dalam bicaranya.

Evan tersenyum pada Dani.

"Thanks, Dan." Dani pun ikut tersenyum pada Evan. Kemudian, ia berbalik dan pergi meninggalkan Evan sendiri di taman. Dani berniat memberikan ruang pada Evan. Karena ada kalanya seseorang butuh waktu sendiri untuk mengutarakan isi hati dan pikirannya.




Assalamualaikum....
Maaf saya baru update lagi...
Maaf bukannya sombong tapi memang kelas 9 lagi sibuk-sibuknya jadi saya juga harus memilih sesuatu yang menurut saya paling penting....

Jangan lupa untuk vote dan komen ya....
#ditunggu

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 08, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Alisha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang