Lapisan 4 : Menyusun kepingan Antares

213 14 1
                                    

Ily menuruni satu per satu anak tangga dengan semangat, Ia menghampiri kedua kurcacinya yang sedang asik membaca buku. Bulan dan Bintang sangat suka membaca, begitu pun sang kakak, Walau begitu Ayah dan Bundanya selalu membiasakan putri putri nya membaca kisah kisah nabi. Tetapi hal itu sudah tak berlaku bagi seorang Afsheena. Ya dia sudah remaja, sudah bisa memilih bacaan mana yang layak dibaca dan bermanfaat.

"Kurcaci cantik. Lagi pada sibuk baca yaa"

Hening. Takada yang menyahut.

"Kalian baca apa sih? Sampai setega itu mengabaikanku " ucap Ily dengan nada yang mendramatisir

Mereka masih tak menyahut.

" Bulaann..Bintaangg "

"Kakaaaak jangan ganggu" teriak keduanya dengan bersamaan.

"Kalian kok gitu sama kakak. Kakak kan cuma kangen sama kurcaci kurcaci kakak yang cantik jelita ini" balas Ily seraya memeluk Bulan dan Bintang

"Bulan sayang kakak" Ungkap Bulan seraya mengecup pipi kanan Ily.

"Bintang juga" seraya mengecup pipi kiri Ily.

"Apalagi kakak.. Kalian Bulan dan Bintang kakak, kakak adalah langit yang takada artinya tanpa kalian berduaa" Ucap Ily seraya mengecup pipi mereka bergantian.

Bunda menghampiri ketiga putrinya dan memeluk mereka "Dan Bunda adalah bumi. Bumi sangat membutuhkan Langit, Bulan dan Bintang. Tanpa ada mereka Bumi tak ada artinya", Mereka semua tersenyum mendengar ungkapan bundanya. Mereka berpelukan dan tertawa bersama. Kebahagiaan seolah tak pernah absen dalam keluarga ini. Ily sangat bersyukur memiliki mereka. Ia bahagia. Sangat bahagia.

***

Seika berjalan gontai menuju rumahnya. Rumah megah nan sepi yang sudah 16 tahun ini menjadi tempat pulangnya.
Saat memasuki pintu, tak ada ucapan salam ataupun ucapan basa basi darinya. Karena percuma tak ada penghuni. Pasti tak akan ada yang menjawab kan? Ia terus melangkah hingga suara berat itu menghentikan langkahnya.

"Seika...." , panggilnya dengan suara baritonnya.

Seketika Seika membeku, suara itu. Ah, lama ia tak berjumpa dengan suara itu.

"Seika...", kali ini suara itu terdengar semakin meninggi.

"Papah...", ucap Seika seraya menoleh. Tak perlu, melihat pun sebenarnya Seika tahu. Itu pasti Papah nya. Seika heran ditambah terkejut bukankah Papahnya sedang mengurus pekerjaan di Surabaya? Mengapa papahnya kini ada dirumah?

"Sei.."

Seika masih bergeming..

"Sei, udah berapa kali Papa peringatin kamu? Ngapain sih kamu pake benda itu lagi? Gak ada gunanya! Norak!!!"

"Pah, ini kewajibanku sebagai seorang wanita yang memeluk agama islam. Papa tau itukan? " balas Seika dengan dingin.

"Tau apa kamu soal islam? Open your eyes, Sei!! Kamu masih muda. Gak perlu lah pake kayak gitu gituan. Ngeribetin kamu aja"

"Pah, Seika mohon. Kali ini aja, tolong biarin Seika pake jilbab. Seika ingin berubah. Menjalani kewajiban Seika. Seika gak mau terkurung sama masa lalu yang kelam." ,kali ini pertahanan Seika tak cukup membuatnya terlihat biasa saja, kini air matanya luruh. Jatuh, bersama keinginan mulia nya itu.

"Udah Sei, sekarang kamu lepas benda itu!Sekali lagi Papah liat kamu pake jilbab itu. Papa gak akan pernah segan-segan bakar semua jilbab kamu, baju panjang kamu, semuanya! Sekarang pergi ke kamar! Papah muak liat benda dikepala kamu!!"

Sesak, Sakit. hanya itu kata yang mampu mendeskripsikan perasaannya. Dadanya seperti tertimpa berton-ton baja. Seika berlari ke kamarnya diiringi air mata yang tak pernah berhenti mengalir.

AntaresTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang